Jumat, 15 April 2011

Pelayanan Bandar Udara

Kegiatan pelayanan operasi Bandar Udara memiliki karakteristik tersendiri, baik dilihat dari segi pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa kebandarudaraan maupun dalam hal penanganan operasionalnya. Hal ini diantaranya disebabkan karena begitu beragamnya jenis pelayanan yang diberikan serta banyaknya pihak yang terkait dalam proses penanganannya. Kegagalan atau keterlambatan dalam memberikan pelayanan dalam pelaksanaan kegiatan operasi bandara secara langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan terganggunya kelancaran operasi penerbangan.
Namun demikian, walaupun kegiatan operasi bandara sangat kompleks, faktor keselamatan dan keamanan penerbangan serta kepuasan pelanggan harus tetap menjadi prioritas pertama. Standarisasi pelayanan operasi bandara pada dasarnya dibuat untuk dijadikan pedoman pelaksanaan tugas bagi para pelaksana agar kualitas pelayanan yang diberikan dapat memenuhi standar yang telah ditentukan, sekaligus memenuhi aspek aviation safety & security,kelancaran operasional dan optimalisasi penggunaan sumber daya.
Operation management concept, yaitu konsep yang diterapkan dalam manajemen operasi yaitu keterpaduan pola tindak dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan lalu lintas udara dan pelayanan operasi bandara yang mendukung adanya peningkatan kinerja operasional secara keseluruhan guna meningkatkan aspek aviation safety & security dan kualitas pelayanan serta aspek komersial melalui optimalisasi penggunaan sumber daya.
Airport operation philosophy, pelaksanaan kegiatan pelayanan operasi bandara memiliki prinsip dasar yang harus dilaksanakan, yaitu berorientasi kepada keamanan, keselamatan dan kelancaran operasi penerbangan namun dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan dan aspek komersial.
Airport service performance, kualitas pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa bandara memiliki persyaratan khusus yang pada intinya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para penumpang pesawat udara. Persyaratan khusus tersebut sebagai tolok ukur pelayanan (quality of service control) yang memiliki batasan-batasan dengan nilai yang telah disepakati, misalnya : proses check-in penumpang maksimum 2,5 menit, jumlah trolley yang tersedia minimal 60% dari jumlah penumpang, suhu udara didalam terminal antara 23-27 derajat celcius, dan lain-lain.
Ramp operation, kegiatan ramp operation meliputi pelayanan terhadap pesawat udara selama berada di ramp (apron), termasuk menyiapkan fasilitas untuk loading-unloading penumpang, bagasi, kargo dan barang-barang pos dari dan ke pesawat udara. Kegiatan tersebut dilakukan sebelum pesawat udara tiba, setelah berada di apron dan pada saat pesawat udara melakukan persiapan lepas landas. Dalam melaksanakan kegiatan pesawat di ramp, ada kegiatan yang dapat dilakukan secara terpisah/ tidak tergantung satu sama lainnya. Tetapi ada juga kegiatan yang berhubungan satu sama lainnya atau kegiatan yang harus dilakukan secara berurutan (in sequence). Kegiatan ini tidak dapat dilaksanakan bersama-sama , sebelum kegiatan yang satu dikerjakan maka kegiatan yang lain belum dapat dilakukan.
Selain itu terdapat sistem informasi operasi penerbangan yang merupakan rangkaian sistem pelayanan kepada para pengguna jasa bandara dalam hal pemberian informasi penerbangan, baik melalui media elektronik,media cetak maupun langsung berhubungan dengan petugas informasi dan penerangan umum.

Potret Training & Man Powering Issue Penerbangan Indonesia

Umum

Undang - Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pada Bab IX mengatur tentang Sumber Daya Manusia. Tersurat dengan jelas bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap penetapan kebijakan penyediaan dan pengembangan SDM di bidang penerbangan (angkutan udara, kebandarudaraan, navigasi penerbangan, keselamatan penerbangan dan keamanan penerbangan) dari mulai perencanaan, pendidikan dan pelatihan, perluasan kesempatan kerja dan pengawasan pemantauan serta evaluasi untuk mewujudkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 juga mengatur bahwa dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang pekerjaannya. Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan kepada peserta didik yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.

Perkembangan Penerbangan di Indonesia

Peningkatan permintaan atau kebutuhan (demand) terhadap moda transportasi udara belum seiring dengan peningkatan penyediaan (supply) jasa transportasi udara secara menyeluruh. Peningkatan taraf ekonomi dan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan fungsi waktu mempengaruhi pola transportasi masyarakat pada negara kepulauan tercinta ini kepada transportasi udara yang lebih efisien.

Makin menggeliatnya bandara-bandara di daerah-daerah berkembang, meningkatnya jumlah dan rute operasi serta jumlah pesawat menyebabkan tuntutan kebutuhan sumber daya manusia yang berkompeten makin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pemerintah dituntut untuk segera dapat memenuhi kebutuhan tersebut untuk tetap menjaga tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pendidikan dan pelatihan merupakan pintu awal yang harus dilalui oleh sumber daya manusia yang akan berkecimpung dalam dunia penerbangan untuk mendapatkan kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya, kebijakan yang tepat di bidang pengembangan sumber daya manusia terutama untuk pendidikan dan pelatihan merupakan kunci utama suksesnya penyediaan sumber daya manusia yang berkompeten.

Prediksi perkembangan ke depan berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam beberapa puluh tahun ke depan, perkembangan positif tetap akan terjadi di dunia penerbangan, yang artinya akan semakin meningkat baik dari sisi capital/asset maupun dari sisi operasionalnya. Pertumbuhan jumlah penumpang, pesawat, rute penerbangan, bandar udara dan lain-lain yang berimplikasi pada penambahan jumlah sumber daya manusia berkompetensi pada bidang masing-masing.

Kesiapan sumber daya manusia di tingkat daerah juga perlu dipersiapkan dalam rangka antisipasi perkembangan penerbangan. Sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah menuntut pemerintah harus dapat memberikan ilmu pengetahuan terkini tentang peraturan penerbangan menyangkut operasional penerbangan berkaitan dengan keselamatan penerbangan agar kebijakan pemerintah daerah dapat sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat terutama di bidang transportasi udara.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang melimpahkan urusan transportasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menuntut tersedianya SDM berkompeten di bidang penerbangan di tiap-tiap propinsi atau kabupaten/kota yang mengelola atau di dalamnya terdapat pengelolaan transportasi udara. Namun dalam pembinaan SDM teknis masih merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang harus membina dan memenuhi kompetensi teknis SDM di tiap-tiap daerah.

Pendidikan dan Pelatihan Penerbangan

Merupakan tugas tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan SDM penerbangan yang berkompetensi dan profesional di bidangnya untuk melaksanakan tugas teknis operasional dalam rangka mewujudkan transportasi udara yang aman, nyaman, teratur dan berkesinambungan.

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan merupakan institusi dibawah Kementerian Perhubungan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyediakan SDM berkompetensi tersebut.

Sampai dengan saat ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan dan Unit Pelaksana Teknis bersinkronisasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah menjadi institusi pencetak dan pengembang SDM penerbangan yang mensuplai kebutuhan tenaga teknis penerbangan untuk pihak Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melalui program-program diklat yang dilaksanakan.

Matrik Permasalahan Pendidikan dan Pelatihan di bidang Penerbangan

No.

Permasalahan

Uraian

Rencana Aksi

Tindak Lanjut

1.

Kompetensi Awal (Input)

Kompetensi awal bisa dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dengan kompetensi sejenis;

Perlunya kajian tentang program pendidikan yang sudah bisa diselenggarakan oleh masyarakat;

Sinergi program diklat awal yang kompetensinya sudah bisa diselenggarakan masyarakat;

2.

Kompetensi Teknis Penerbangan dan SKP

SKP bisa diperoleh apabila sudah mengikuti program pendidikan pelatihan teknis (sertifikat kompetensi) serta lulus uji kompetensi;

BPSDM Perhubungan dan UPT seharusnya lebih fokus kepada pendidikan dan pelatihan teknis;

Pengembangan program pendidikan dan pelatihan kompetensi;

3.

Pola Diklat

Sekarang pola yang digunakan untuk diklat awal adalah pendidikan diploma, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan pendidikan non diploma/short course;

Perlunya kajian tentang kemungkinan pola pendidikan non diploma untuk kompetensi awal yang belum bisa diselenggarakan masyarakat (CASR memfasilitasi untuk pola non diploma dengan memperhatikan input kompetensi awal);

Perombakan pola diklat dari program diploma menjadi non diploma/short course untuk efisiensi;

4.

Pola Pembiayaan

Tidak diketahui secara pasti komponen biaya diklat secara rinci sehingga banyak komponen pembiayaan diklat yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk diklat yang beroutput ke masyarakat (swasta);

Penghitungan ulang komponen biaya diklat dan tinjauan output diklat dan telaah terhadap output diklat;

Pembuatan Standar Biaya Khusus (SBK) Diklat yang komprehensif serta pemberhentian subsidi pemerintah untuk program diklat yang beroutput ke masyarakat;

5.

Ineficiency

Perlu tetap dipertahankan penyelenggaraan diklat penerbang untuk fungsi control namun tidak efisiennya biaya diklat yang ada mengurangi daya saing dengan diklat masyarakat terutama untuk pendidikan penerbang;

Perlunya studi komparasi dan penghitungan yang jelas terhadap komponen biaya diklat penerbang yang berdaya saing;

Penyesuaian biaya diklat penerbang (pilot) yang efisien dan berdaya saing;

6.

Pengguna lulusan

Output diklat penerbangan yang dibiayai pemerintah seharusnya bermuara (output) untuk mensuplai kebutuhan pemerintah namun banyak diklat yang bermuara kepada swasta;

Pendataan penyerapan lulusan diklat untuk mengetahui daya serap dan target pasar;

Masukan untuk perencanaan diklat pada tahun-tahun mendatang kepada Direktorat Jenderal dan Pemerintah;

7.

Partisipasi Swasta

Pihak swasta (perguruan tinggi dan lembaga diklat swasta) banyak yang sudah mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pada kompetensi penerbangan; (sesuai UU No. 1 Tahun 2009 ttg Penerbangan dimungkinkan)

Pemilahan pendidikan dan pelatihan yang sudah bisa dilaksanakan masyarakat, market share dan rencana pembinaan serta pengawasan;

Pengambilan sikap atas beberapa jenis kompetensi yang sudah bisa dilaksanakan oleh masyarakat sehingga tidak kelebihan kuota (misal: penutupan/penghentian pelaksanaan pendidikan yang kompetensinya sudah bisa diselenggarakan oleh masyarakat;


Demand vs. Supply SDM Penerbangan (Link and Match)

Tuntutan pemenuhan sumber daya manusia berkompetensi yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penerbangan dihadapkan dengan kapasitas lembaga pendidikan dan pelatihan. Di sisi lain tuntutan SDM penerbangan berkompeten di lapangan sesuai amanah UU No. 1 tentang Penerbangan dihadapkan dengan permasalahan kepegawaian. Hal tersebut menuntut kebijakan baru di bidang pendidikan dan pelatihan penerbangan.

Berdasarkan evaluasi dan pemantauan yang dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan serta data-data empiris, mengindikasikan beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan berencana membuat kebijakan terkait dengan perbaikan, efisiensi dan efektifitas dalam dunia pendidikan dan pelatihan penerbangan merespon perkembangan terkini di bidang penerbangan.

Pertumbuhan dunia penerbangan yang begitu dinamis menuntut pemenuhan SDM yang real time untuk menangani operasional penerbangan di Indonesia. Program penyediaan SDM berkompetensi melalui pendidikan dan pelatihan dituntut untuk bisa link and match dengan kebutuhan saat ini, sehingga perlu dikaji apakah program pendidikan yang dilaksanakan saat ini akan menjawab kebutuhan lapangan pada saat ini atau atau paling tidak untuk jangka pendek, karena kebutuhan SDM beberapa tahun mendatang akan sangat mungkin berbeda dengan kebijakan yang saat ini diterapkan apabila tidak diserta dengan research and development yang berkesinambungan.

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengungkapkan data bahwa terdapat kekurangan SDM yang berkompeten di berbagai bidang kerja di penerbangan baik yang ditangani Pemerintah (PNS) maupun swasta (non-PNS). Hal ini menuntut BPSDM Perhubungan untuk dapat menentukan langkah-langkah strategis terkait dengan strategi perencanaan dan pengembangan SDM penerbangan dalam memenuhi tuntutan tersebut.

Analisa terhadap kebutuhan kompetensi lapangan saat ini terkait dengan banyaknya kompetensi baru yang dibutuhkan dan jurusan pendidikan yang sudah tidak signifikan untuk diselenggarakan juga perlu dilakukan untuk menghindari tidak terserapnya lulusan pada jurusan tertentu yang pada saat ini terjadi (match), sehingga perlu diadakan pemetaan kompetensi, kebutuhannya dan selanjutnya dibuatkan rencana program pendidikan yang sesuai dan sesuai kebutuhan pada masa mendatang.

Perombakan dan perubahan paradigma mungkin akan muncul sebagai implikasi dari hasil perubahan kebijakan yang terjadi, namun hal tersebut paling tepat untuk diambil dalam rangka efisiensi dan efektifitas di bidang pendidikan dan pelatihan khususnya perhubungan udara menjawab tuntutan pemenuhan SDM di masa mendatang.

Capital vs. Outcomes

Pemerintah memberikan modal atau sumber daya kepada institusi pendidikan dan pelatihan dalam hal ini Pusdiklat Perhubungan Udara dan UPT dalam hal penyiapan dan pemenuhan kebutuhan SDM berkompetensi di bidang penerbangan agar operasional penerbangan di Indonesia dapat tertangani dengan baik oleh SDM yang berkompeten di bidangnya, yang pada muara akhirnya adalah keselamatan dapat terjaga pada tingkatan yang diinginkan oleh pemerintah.

Tingkat keselamatan penerbangan yang intangible serta sistem perencanaan pemerintah yang cenderung tidak memperhitungkan Break Event Ratio seringkali membuat kita terlena akan investasi (capital) yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dibandingkan dengan manfaat (outcomes) yang dapat diterima sehingga seringkali arah pengembangan pendidikan dan pelatihan cenderung meningkatkan capital namun tidak diserta dengan evaluasi yang komprehensif terhadap manfaat (outcomes) yang dihasilkan. Outcomes bukanlah hanya gambaran kuantitas atau jumlah gap yang sudah terpenuhi namun lebih kepada target akhir berupa kinerja atau performance yang ada dilapangan sebagai hasil dari pendidikan dan pelatihan dalam rangka menunjang dan mempertahankan keselamatan penerbangan.

Perkembangan teknologi di bidang penerbangan memang tidak bisa dipungkiri menuntut sistem pendidikan dan pelatihan yang lebih canggih sehingga lulusan diklat dapat lebih cepat untuk beradaptasi dengan kondisi nyata di lapangan, dalam hal ini pengembangan sarana dan prasarana diklat seperti kurikulum yang up-to date serta penggunaan simulator sangat diperlukan. Namun tentunya perlu kajian yang lebih komprehensif disesuaikan dengan kondisi faktor terkait lainnya untuk hasil yang lebih optimal. Contoh kasus adalah apabila mengadakan satu alat simulator maka perlu dipertimbangkan tingkat penggunaan (utilitas) SDM instruktur yang berkompeten serta SDM dan program perawatan yang reliable, sehingga alat tersebut benar-benar dapat berguna proses belajar mengajar dibandingkan dengan sistem konvensional berdasarkan evaluasi dan studi komparasi yang harus dilakukan secara periodik.

Pembiayaan yang dikucurkan oleh pemerintah untuk pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan (subsidi) juga perlu dikaji efisiensi penggunaannya terkait dengan output dan outcomes yang dihasilkan. Pengguna lulusan UPT diklat Penerbangan adalah pihak Pemerintah (Direktorat Jenderal Perhubungan Udara) dan pihak swasta (BUMN, Perusahaan Penerbangan, Perusahaan Ground Handling, dll), terkait dengan pengguna lulusan subsidi pemerintah adalah lebih tepat digunakan untuk para peserta pendidikan dan pelatihan yang penempatannya pada pemerintah atau dengan kata lain investasi kembali kepada investor , namun pada saat ini kenyataan yang terjadi adalah pemerintah juga mensubsidi program pendidikan yang outputnya adalah kepada pihak swasta.

Mekanisme serah terima (transfer) memang ada dan dilakukan namun dalam kenyataannya investasi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pengembalian yang diterima oleh pihak pemerintah akibat tidak bisa terperincinya komponen biaya diklat secara mendetail sehingga ada komponen-komponen biaya diklat masih melekat pada komponen biaya lain yang harus ditanggung oleh pemerintah dan perlu penghitungan dan pemilahan lebih lanjut, semisal komponen biaya listrik, air, perawatan, penyusutan, dan biaya lainnya.

Peran masyarakat dan pihak lain

Tujuan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan oleh pemerintah adalah untuk memenuhi kebutuhan SDM berkompetensi di dunia penerbangan selama belum dapat dipenuhi atau diselenggarakan oleh masyarakat. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut andil dalam penyediaan SDM penerbangan berkompetensi melalui pendidikan dan pelatihan baik formal maupun informal. Perkembangan saat ini banyak bermunculan dari masyarakat yang ingin dan mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan baik formal maupun non formal, sebagai contoh adalah universitas yang membuka jurusan di bidang penerbangan, lembaga pendidikan dan pelatihan yang mendidik penerbang/pilot, teknik pesawat udara, ground handling, aviation security, dll. yang saat ini bermunculan.

Kajian terhadap kompetensi yang sudah bisa dilaksanakan oleh swasta/masyarakat perlu dilakukan secara akademis dan yuridis sebagai penentu kebijakan selanjutnya. Penyediaan SDM berkompetensi yang sudah bisa dilakukan oleh pihak swasta tentunya tetap dalam pengawasan dan kendali pemerintah, sehingga untuk kompetensi tertentu yang tetap memerlukan campur tangan pemerintah maka perlu dikaji market share yang ada.

Kajian akademis adalah sejauh mana muatan kurikulum pendidikan pada diklat formal dan non formal yang diselenggarakan oleh pihak swasta dapat memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan baik secara nasional maupun internasional, sehingga dapat diketahui kekurangan dan langkah pemenuhan selanjutnya.

Kajian yuridis atau hukum adalah sejauh mana dimungkinkan dalam aturan baik nasional maupun internasional suatu kompetensi pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh masyarakat dapat disesuaikan atau disetarakan.

Kamis, 07 April 2011

KAPASITAS BANDAR UDARA

Bandar udara (aerodrome) adalah kawasan di tanah atau air tertentu (termasuk setiap bangunan, instalasi-instalasi dan peralatan) yang dimaksudkan untuk digunakan seluruh maupun sebagian untuk pendaratan, keberangkatan dan pergerakan pesawat udara di permukaannya. Bandar udara (airport) dapat dibagi menjadi 2 bagian berdasarkan kegunaan fasilitasnya, sisi udara atau air side dan sisi darat atau land side. Fasilitas yang termasuk dalam sisi udara adalah landasan pacu, landasan hubung dan landasan parkir.

Perencanaan fasilitas sisi udara tergantung pada 2 hal yaitu jenis dan komposisi pesawat, serta frekuensi penerbangan. Untuk merencanakan bandar udara di masa yang akan datang, ke-2 parameter di atas harus diketahui. Dalam kurun waktu tertentu selalu dilakukan evaluasi terhadap kondisi yang ada. Harus diketahui bagaimana model permintaan pada masa yang akan datang, berapa frekuensi penerbangan yang akan memanfaatkan fasilitas sisi udara, Nurhadi, dkk., (2002).

Kapasitas bandar udara dipengaruhi oleh variasi pesawat yang beroperasi (mix of aircraft), aturan penerbangan (flight rules) yang diterapkan (visual atau instrument), alat navigasi yang digunakan serta konfigurasi serta penggunaan landasan pacu yang juga digunakan untuk landasan hubung. Bandar udara tanpa landasan hubung yang terpisah maka landasan pacu dengan konfigurasi tunggal mungkin hanya dapat melayani 10 pergerakan pesawat dalam 1 jam namun dengan landasan hubung sejajar landasan pacu untuk pesawat lepas landas dan mendarat kapasitas pelayanan akan meningkat menjadi 40 pergerakan setiap jam, Poole (1990) dalam Hilling (2006).

Untuk menghitung dan membandingkan runway demand (dalam arti pergerakan pesawat) dengan runway capacity, komposisi pesawat pada perkiraan demand dan perhitungan kapasitas, Urbatzka dan Wilken (2004). Perbandingan berdasar data tahunan hanya bisa digunakan untuk perencanaan kasar bandar udara, sedangkan untuk menjabarkan kapasitas yang lebih detail dari runway system akan lebih bagus dihitung berdasarkan kapasitas per jam.

Terdapat 2 formulasi perhitungan kapasitas landasan pacu yang dikembangkan yaitu

a. Menggunakan teori antrian, pada teori ini berpedoman pada ”first come first served” atau ”first contact first served” atau datang dahulu maka akan mendapat pelayanan dahulu. Teori ini dapat ideal digunakan apabila suatu bandar udara memiliki landasan pacu yang berbeda untuk operasi lepas landas dan operasi pendaratan pesawat. Bandar udara yang hanya memiliki 1 landasan pacu yang digunakan untuk operasi lepas landas dan pendaratan, maka keberangkatan dihitung dengan menggunakan distribusi Poisson, sedangkan proses pendaratan lebih pada teori antrian. Hal ini dapat dirumuskan apabila jadwal keberangkatan dan kedatangan pada suatu bandar udara diketahui secara tepat dan pasti.

b. Menggunakan teori ruang waktu atau ”space-time concept”, konsep ini berpedoman pada jarak pisah aman, dimana 2 pesawat tidak mungkin dilayani bersamaan, baik untuk lepas landas maupun pendaratan, serta pendaratan akan mendapatkan prioritas dibanding dengan lepas landas. Sehingga perhitungan yang digunakan adalah konsep jarak pisah aman yang diperlukan yang dinyatakan dalam waktu tempuh. Waktu yang diperlukan untuk operasi masing-masing pesawat akan dihitung hingga dapat diketahui berapa banyak operasi pesawat yang dapat ditangani oleh landasan pacu pada setiap satuan waktu tertentu. Konsep ini memerlukan data yang real time, penghitungan dengan kondisi tidak secara langsung melihat operasi di lapangan hampir tidak mungkin dilakukan.

1. Penghitungan kapasitas metode FAA

American Federal Aviation Administration (FAA) sudah menyediakan petunjuk penghitungan kapasitas bandar udara untuk komposisi pesawat yang berbeda-beda dan dengan konfigurasi landas pacu yang berbeda-beda dalam Federal Aviation Administration (FAA) Advisory Circular (AC) 150/5060-5, Airport Capacity and Delay tahun 1983 dengan revisi tahun 1995. Penghitungan kapasitas bandar udara menurut FAA merupakan gabungan dari kapasitas komponen landasan pacu, landasan hubung dan landasan parkir.

Penghitungan kapasitas menurut metode yang dikembangkan oleh FAA dalam AC. 150/5060-5 adalah untuk menghitung kapasitas bandar udara maka diperlukan penghitungan menyeluruh untuk setiap komponen sisi udara, yaitu:

a. Runway atau landasan pacu, istilah landasan pacu termasuk permukaan untuk mendarat, ditambah dengan bagian dari jalur pendekatan dan keberangkatan yang secara umum digunakan oleh semua pesawat. Penghitungan kapasitas dari komponen landasan pacu berdasarkan konfigurasi landasan pacu dari bandar udara yang ada.

b. Taxiway atau landasan hubung, istilah landasan hubung termasuk landasan hubung sejajar (parallel taxiway), landasan hubung keluar dan masuk, serta landasan hubung yang berpotongan dengan landasan pacu. Kapasitas dari komponen landasan hubung perlu diperhitungkan apabila terdapat landasan hubung yang memotong landasan pacu, karena dapat mengurangi kapasitas operasi landasan pacu.

c. Gate Group atau kelompok pintu kedatangan/keberangkatan merupakan istilah yang menyatakan jumlah pintu yang ada di terminal yang digunakan oleh suatu perusahaan penerbangan atau digunakan secara bersama-sama antara 2 atau lebih perusahaan penerbangan atau pesawat berjadwal lainnya yang beroperasi secara rutin. Secara umum istilah ini tidak digunakan untuk pintu yang digunakan oleh pesawat penerbangan umum (general aviation). Istilah yang dipakai di Indonesia lebih dikenal dengan aircraft parking stand atau tempat parkir pesawat. Istilah yang digunakan untuk bandar udara yang diteliti, gate group dinyatakan dengan jumlah aircraft parking stand pada apron. Hal ini disebabkan kondisi pada bandar udara yang diteliti yang tidak memiliki gate group, dimana setiap pesawat yang beroperasi di bandar udara dapat memilih atau ditempatkan pada suatu tempat parkir di landasan parkir dan tidak selalu sama pada setiap periode operasi. Kapasitas tiap jam dari apron atau parking stand tergantung dari jumlah dan jenis pesawat yang beroperasi, jumlah tempat parkir pesawat (parking stand) dan waktu yang diperlukan pesawat untuk bongkar muat penumpang dan barang (gate occupancy time). Gate occupancy time (GOT) yang diperlukan oleh pesawat merupakan gabungan dari Scheduled Occupancy Time (SOT) yang biasa disebut waktu bongkar muat yang diperlukan sesuai jadwal penerbangan yang ada ditambah dengan Positioning Time (PT) atau waktu yang diperlukan pesawat untuk bergerak atau manuver keluar dan masuk tempat parkir.

Kapasitas atau kapasitas yang dihasilkan oleh sistem sisi udara (throughput capacity) merupakan ukuran dari jumlah maksimum operasi pesawat yang bisa diakomodasi oleh bandar udara atau komponen bandar udara dalam 1 jam. Melalui penghitungan kapasitas tiap komponen sisi udara tersebut dapat diketahui kapasitas bandar udara tiap jam dan dihitung volume tahunan yang mampu dilayani oleh suatu bandar udara (annual service volume). Langkah dan data masukan yang diperlukan untuk menghitung kapasitas bandar udara metode FAA. AC. 150/5060-5 .

2. Faktor yang mempengaruhi kapasitas

Tujuan dari perhitungan kapasitas bandar udara adalah untuk menjelaskan kapasitas dari suatu bandar udara sebagai dasar untuk pengembangan bandar udara di masa mendatang dalam menghadapi pertumbuhan lalulintas udara. Pertumbuhan penumpang udara yang telah diperhitungkan sebelumnya berakibat kepada semua komponen transportasi udara termasuk bandar udara. Mengantisipasi dan menangani kenaikan penumpang, penambahan fasilitas dan pengembangan bandar udara diperlukan untuk memenuhi permintaan akan transportasi udara di masa yang akan datang.

Metode pertama yang digunakan adalah dengan mengevaluasi komponen-komponen utama dari bandar udara termasuk sisi udara, fasilitas dan gedung serta ruang udara yang tersedia. Melalui studi perencanaan, maka akan diketahui komponen yang perlu mendapatkan penanganan lebih lanjut untuk menghadapi kenaikan permintaan akan transportasi udara.

Langkah penghitungan kapasitas sisi udara

Hasil

Data masukan

Kapasitas tiap jam dari komponen landas pacu (Hourly capacity of runway component)

a. Cuaca; tinggi dasar awan dan jarak pandang (VFR, IFR atau PVC)

b. Konfigurasi landas pacu

c. Variasi pesawat (Aircraft Mix)

d. Persentase kedatangan

e. Persentase Touch and Go

f. Lokasi dari landas hubung keluar/exit taxiway

Kapasitas tiap jam dari komponen landas hubung (Hourly capacity of taxiway) component

a. Lokasi persimpangan degan landas hubung

b. Intensitas penggunaan landas pacu (Runway operation rate)

c. Variasi pesawat pada landas pacu yang bersilangan

Kapasitas tiap jam dari apron (Hourly capacity of gate group components)

a. Jumlah dan tipe gate pada tiap grup

b. Gate mix

c. Gate occupancy time

Kapasitas bandar udara tiap jam (Airport hourly capacity)

Hasil dari perhitungan 1, 2 dan 3 di atas dipilih yang terendah

Komponen utama yang harus dihitung dan diketahui sebagai dasar menentukan kapasitas sisi udara adalah konfigurasi landasan pacu, panjang landasan pacu, dan jumlah dan letak landasan hubung keluar dari landasan pacu. Sebagai tambahan, kapasitas dari sistem sisi udara lebih lanjut dipengaruhi oleh karakteristik operasi seperti cuaca, variasi pesawat yang beroperasi dan sistem pengendalian lalulintas udara. Masing-masing komponen tersebut harus dianalisa sebagai bagian dari perhitungan kapasitas sisi udara.

a. Konfigurasi Bandar Udara

Faktor utama untuk menghitung kapasitas operasi suatu bandar udara adalah tata letak (layout) dan geometri dari landasan pacu serta landasan hubung bandar udara. Menurut FAA dalam Air Circular 150/5060-5 Airport Capacity and Delay ada sekitar 64 konfigurasi landasan pacu yang digunakan sebagai dasar penghitungan kapasitas landasan pacu. Masing-masing konfigurasi mempunyai kapasitas yang berbeda sehubungan dengan jarak pisah aman (separation) antar pesawat baik yang berangkat maupun mendarat.

Dalam penghitungan kapasitas sisi udara terkait dengan konfigurasi bandar udara adalah exit factor atau faktor yang diakibatkan oleh jumlah landasan hubung dan jarak landasan hubung keluar dari awal pendaratan atau keberangkatan pesawat. Hal ini berpengaruh terhadap penghitungan kapasitas, jumlah landasan hubung keluar dari landasan pacu untuk pendaratan dan keluar dari landasan parkir untuk keberangkatan yang lebih banyak akan memperbesar kapasitas sisi udara, sedangkan jarak keluar yang sesuai dengan banyak landasan hubung keluar juga akan memperbesar kapasitas yang ada.

b. Cuaca

Fenomena cuaca yang berpengaruh terhadap operasi penerbangan terutama di bandar udara adalah ceiling (tinggi dasar awan) dan visibility (jarak pandang). Terdapat 3 kategori untuk kondisi tersebut, yaitu:

1). Visual Flight Rules (VFR), tinggi dasar awan di atas 1000 kaki dan jarak pandang lebih dari 3 mil.

2). Instrument Flight Rules (IFR), tinggi dasar awan 670 sampai 1000 kaki dan atau jarak pandang 1 sampai 3 mil.

3). Poor Visibility Condition (PVC) atau kondisi cuaca di bawah minimum, dimana tinggi dasar awan di bawah 670 kaki dan atau jarak pandang kurang dari 1 mil.

Kondisi cuaca di atas menyebabkan kapasitas yang berbeda akibat operasional pesawat yang terganggu, kapasitas pada kondisi IFR atau di bawah minimum akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi VFR. Perbedaan kondisi tersebut digunakan untuk menghitung kapasitas operasi bandar udara pada masing-masing kondisi cuaca.

c. Mix Index

Mix Index adalah fungsi matematis yang digunakan dalam penghitungan kapasitas bandar udara untuk mengetahui tingkat pengaruh pesawat berbadan lebar terhadap sistem bandar udara. Hal ini terkait dengan perbedaan kecepatan pesawat saat melakukan pendekatan (approach) sehingga waktu yang diperlukan berbeda untuk setiap kelas pesawat, selain itu adalah adanya pengaruh udara yang berputar di belakang mesin pesawat (wake turbulence) terutama apabila beroperasi di belakang pesawat berbadan lebar sehingga harus ada jarak yang aman antar pesawat. Semakin besar perbedaan kelas pesawat yang beroperasi, maka semakin besar jarak aman yang diperlukan dan berarti semakin sedikit kapasitas operasi yang dihasilkan.

Untuk penghitungan kapasitas, maka pesawat dikategorikan menjadi 4 kelas seperti dapat dilihat pada Tabel 2.2. Perhitungan Mix Index adalah persentase operasi dari pesawat kelas C (pesawat berbadan sedang) ditambah 3 kali persentase operasi pesawat kelas D (berbadan lebar), atau % (C+3D).

Klasifikasi pesawat

Kelas pesawat

Maximum Take Off Weight (pounds)

Jumlah mesin

Kelas turbulen

A

≤ 12.500

Tunggal

Kecil/Small(S)

B

Jamak

Kecil/Small(S)

C

12.500 - 300.000

Jamak

Sedang/Large(L)

D

≥ 300.000

Jamak

Lebar/Heavy(H)






d. Percent Arrivals

Persentase kedatangan atau persentase pendaratan pesawat adalah perbandingan antara jumlah pendaratan dengan seluruh operasi pesawat, dengan perhitungan sebagai berikut.

Percent Arrivals =

A + 1/2 (T&G)

x

100

A + DA + (T&G)









Semakin besar persentase kedatangan maka akan semakin kecil kapasitas yang dihasilkan, hal ini dikarenakan prosedur kedatangan memerlukan waktu yang lebih lama daripada prosedur keberangkatan atau lepas landas pesawat terkait dengan separasi atau jarak pisah aman yang harus disediakan kepada pesawat.

e. Percent Touch & Go

Persentase Touch and Go atau pesawat yang melakukan latihan pendaratan dengan hanya menyentuh landasan tanpa berhenti adalah perbandingan antara jumlah Touch and Go dengan seluruh operasi pesawat, dengan perhitungan sebagai berikut.

Percent T&G =

(T&G)

X

100

A + DA + (T&G)

dengan,

A = Jumlah kedatangan pesawat dalam 1 jam

DA = Jumlah keberangkatan pesawat dalam 1 jam

T&G = Jumlah Touch and Go dalam 1 jam

Operasi Touch and Go memperkecil kapasitas sisi udara terutama komponen landasan pacu, hal ini disebabkan pesawat yang akan mendarat dan lepas landas harus memiliki jarak pisah yang aman terhadap operasi Touch and Go yang berarti waktu tunggu yang lebih lama dan kapasitas yang semakin berkurang.