Jumat, 21 November 2008

KNOWLEDGE BASED SOCIETY

Memasuki abad milenium baru, maka Indonesia harus dengan cermat memilih strategi pembangunannya. Perlu dilihat konstalasi dunia saat ini, posisi tawar Indonesia di dunia, kekayaan yang dimiliki dan berbagai sumberdaya yang ada dan berbagai model atau teori pembangunan yang telah berhasil dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang yang kemudian berhasil mentransformasikan dirinya menjadi negara maju.
Salah satu pilihan strategi adalah apa yang dikenal dengan Pembangunan Masyarakat Berbasis Pengetahuan (PMBP, Knowledge Based Society, KBS). KBS dilustrasikan sebagai suatu kondisi penciptaan, penyebaran dan penggunaan pengetahuan menjadi faktor kunci dalam upaya memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat.
Konsep pembangunan ini pada hakekatnya adalah membangun institusi yang
menghasilkan pengetahuan, kemudian mendistribusikan pengetahuan dan penggunaannya pada sektor-sektor produktif. Namun demi kian, tentu saja produksi, diseminasi, dan penggunaan pengetahuan dapat pula terjadi pada unit-unit produktif lain dalam masyarakat.
Oleh karena itu, daya inovatif dan daya saing perusahaan tidak terlepas dari hasil interaksi berbagai aktor kelembagaan (institutional actors) atau unit-unit produktif dalam system tersebut, termasuk suasana inovatif dan kompetitif yang tercipta.
Pada saat kondisi sebuah perekonomian yang menjadi faktor kunci dalam upaya
memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat – mencakup perusahaan dan unit-unit produktif lainnya – yang secara langsung didasarkan pada produksi, distribusi, dan penggunaan pengetahuan, maka perekonomian seperti itulah yang didefinisikan oleh OECD (1996) sebagai ekonomi berbasis pengetahuan (EBP).
Sudah menjadi anggapan umum bahwa pengetahuan dan penerapannya diakui sebagai salah satu kunci utama dalam pengembangan ekonomi suatu negara. Sebagai contoh, perkembangan ekonomi dua negara, yaitu Korea Selatan dan Ghana . Korea Selatan telah menerapkan pengetahuan secara intensif sebagai landasan ekonominya, Ghana bertumpu pada hal yang lain dalam pengembangan ekonomi negara.
Pada pertengahan tahun 50-an pendapatan per kapita dari kedua negara tersebut sebesar 700 US$ (World Bank, World Development Report 1998/1999). Namun, memasuki tahun 1990-an pendapatan per kapita Korea Selatan mencapai hampir 6 kali pendapatan per kapita Ghana. Perbedaan kinerja ekonomi antara kedua negara ini disebabkan oleh adanya pemanfaatan dan penerapan pengetahuan, terutama pengetahuan teknis dan kebijakan.
Dalam empat dekade Korea Selatan membangun ekonominya melalui pembangunan sains dan teknologi yang pada hakekatnya adalah meningkatkan kemampuan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi. Keberhasilan yang diperoleh Korea Selatan memang menakjubkan, pada awal tahun 1960an pendapatan per kapita masyarakat masih USD 80,0 meningkat menjadi USD 9.676 pada tahun 2000 atau mengalami peningkatan sebesar 120 kali lipat dalam kurun waktu 4 dekade. Pada awal pembangunan, Korea Selatan masih mengandalkan pendapatannya pada hasil-hasil tambang atau sumber daya alam dan aktivitas pertanian, namun dalam kurun waktu tersebut Korea Selatan telah mampu mensejajarkan diri menjadi negara industri baru.
Ekspor Korea Selatan kini mengandalkan pada kandungan teknologi tinggi seperti barangbarang elektronik dan komponen komputer serta otomotif.
Selama empat dasawarsa tersebut Korea Selatan telah menginvestasikan sumberdayanya di berbagai proyek infrastruktur pengetahuan atau sains dan teknologi serta pembangunan sumberdaya manusia. Investasi di litbang pada tahun 1999 mencapai USD 10.2 milyar, dimana 27% didanai pemerintah dan publik, 73 persen dari swasta. Potret ini terbalik ketika diawal tahun 1960an dimana investasi litbang lebih dari 90% masih dikuasai pemerintah dan sisanya swasta. Perubahan indikator ini menunjukan bahwa pihak swasta Korea telah berperan aktif dalam litbang sains dan teknologi. Keberhasilan Korea dalam membangun industri yang berbasis teknologi bukan hanya terletak pada campur tangan pemerintah tapi juga merupakan partisipasi aktif dari pihak swastanya. Implikasi dari fakta ini menunjukkan bahwa pengetahuan dapat diterapkan untuk
menciptakan peluang pengembangan ekonomi bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Jika pengetahuan diterapkan dan diadaptasikan dengan sebagaimana mestinya terhadap lingkungan perekonomian yang ada dan didiseminasikan secara efektif, maka ia dapat menjadi penggerak utama dalam pembangunan. Untuk menciptakan dan mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, suatu negara harus menerapkan suatu tindakan yang tepat untuk menstimulasi, mendorong, dan menumbuhkan penerapan pengetahuan dalam perekonomiannya agar daya saing negara tersebut dapat meningkat.
Prinsip penting Knowledge Based Society adalah membangun negara dengan menggunakan modal ilmu pengetahuan lebih besar dibandingkan dengan modal apapun yang mereka miliki. Dalam rangka menciptakan masyarakat pengetahuan di suatu negara, maka ada empat pilar penting yang perlu dibuat, yaitu penciptaan, pemeliharaan, diseminasi, dan pemanfaatan pengetahuan. Keempat pilar ini perlu dilandasi oleh keberagaman serta kebutuhan dan hak asasi manusia.
Untuk dapat membangun keempat pilar tersebut, langkah strategis membangun masyarakat berbasis ilmu pengetahuan di Indonesia adalah dengan melakukan strategi transformasi budaya melalui pola pendidikan, termasuk manajemen dan kurikulum pendidikan yang pro-pengetahuan serta peningkatan alokasi biaya pendidikan untuk masyarakat. Negara berbasis pengetahuan yaitu salah satu kemakmurannya dihasilkan melalui aktivitas intelektual dari warganya yang mereka peroleh dari pendidikan yang benar sehingga secara relatif warga tersebut mempunyai keunggulan di atas rata-rata warga negara bangsa lain pada umumnya. Sementara itu, lembaga litbang yang sebagian besar menjadi tempat terkonsentrasinya masyarakat berpengetahuan yang minoritas ditantang untuk lebih meningkatkan perannya dalam meningkatkan produktivitas sektor industri melalui berbagai hasil litbang. Peningkatan produktivitas inilah yang akan mengarah pada peningkatan daya saing dan pencapaian kondisi perekonomian dimana pengetahuan menjadi faktor kuncinya atau disebut juga dengan knowledge based economy (KBE).
Dalam membangun masyarakat berpengetahuan, pilar-pilar KBS diatas juga menjadi spirit bagi keenam fokus utama pembangunan bidang iptek yaitu pembangunan ketahanan pangan, pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan teknologi pertahanan dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan.

Rabu, 19 November 2008

Badan Layanan Umum : Sebuah Pola Pemikiran Baru atas Unit Pelayanan Masyarakat


Paradigma baru pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan RUU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (disetujui dalam sidang paripurna DPR tanggal 21 Juni 2004) setidaknya mengandung tiga kaidah manajemen keuangan Negara, yaitu: orientasi pada hasil, profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi.
Paradigma ini dimaksudkan untuk memangkas ketidakefisienan. Memang sudah menjadi persepsi masyarakat bahwa pemerintah selama ini dinilai sebagai organisasi yang birokratis yang tidak efisien, lambat dan tidak efektif. Padahal dalam manajemen modern unit pemerintahan harus profesional akuntable dan transparan. Seperti dikatakan Max Weber, bapak sosiologi modern bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting. Ditinjau dari mechanic view pemerintah sebagai regulator dan sebagai administrator, sedangkan dari organic view pemerintah berfungsi sebagai public service agency dan sebagai investor. Peranan sebagai regulator dan administrator erat sekali kaitannya dengan birokrasi sedangkan sebagai agen pelayang masyarakat dan sebagai investor harus dinamis dan dapat diitransformasikan menjadi unit yang otonom.
Pola transformasi fungsi tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu rightsizing (cut the government), corporatization dan privatization. Namun tidak semua kegiatan pemerintah bisa ditransformasikan sebagai unit yang otomon dengan pola di atas. Transformasi fungsi kegiatan sebagai unit yang otonom dapat dilakukan pada berbagai kegiatan, antara lain: kegiatan pelayanan pendidikan, kesehatan masyarakat, administrasi kependudukan, pembibitan dan pembenihan, pengolahan data, administrasi kendaraan, pengelolaan dana bergulir, pembinaan olahraga, pemeliharaan jalan, pemungutan pajak dan retribusi, pembinaan calon tenaga kerja, pertamanan dan kebersihan. Sementara itu kegiatan yang tidak bisa ditranformasikan sebagai unit yang otonom antara lain: kegiatan legislasi, pengaturan (regulasi), penetapan kebijakan pelayanan, penganggaran, peradilan, penindakan, dan pertanggungjawaban.
Karakteristik dan Jenis Badan Layanan Umum (BLU)
Bermula dari tujuan peningkatan pelayanan publik tersebut diperlukan pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang saat ini bentuk dan modelnya beraneka macam. Sesuai dengan pasal 1 butir (23). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan: ”Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.” Penjelasan tersebut secara spesifik menunjukkan karakteriktik entitas yang merupakan Badan Layanan Umum,yaitu:
1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan Negara
2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat
3. Tidak bertujuan untuk mencarai laba;
4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;
5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;
6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung;
7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil.
8. BLU bukan subyek pajak
Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain;
2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan
3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.
Lingkup Keuangan BLU
Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut. BLU dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula, berbeda dengan entitas yang merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD).
Perbedaan tersebut terletak pada hal-hal sebagai berikut:
1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan
3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
5. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan
6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah;
7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah;
8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan;
9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari msyarakat atau badan lain;
10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah.
Dengan pemikiran baru tersebut diharapkan bukan bentuknya saja suatu unit pemerintah menjadi Badan Layanan Umum yang melayani masyarakat tetapi tingkat pelayanan masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara yang profesional, efektif dan efisien oleh pengelola unit tersebut dengan otonomi pengelolaan yang akan diberikan.

Minggu, 02 November 2008

Deskripsi Kebijakan Transportasi Udara Nasional

Pembangunan sektor transportasi diarahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional yang handal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara efektif dan efesien dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa, mendukung pola distribusi nasional serta mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan hubungan internasional yang lebih memantapkan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara. Jaringan transportasi dapat dibentuk oleh moda transportasi yang terlibat. Masing-masing moda transportasi memiliki karakteristik teknis yang berbeda dan pemanfaatannya disesuaikan dengan kondisi geografis daerah layanan. Moda transportasi udara mempunyai karakteristik kecepatan yang tinggi dan dapat melakukan penetrasi sampai keseluruh wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh moda transportasi lain. Perkembangan industri angkutan udara nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah yang ada sebagai suatu negara kepulauan. Oleh karena itu, Angkutan udara mempunyai peranan penting dalam memperkokoh kehidupan berpolitik, pengembangan ekonomi, sosial budaya dan keamanan & pertahanan. Merupakan bagian dari subsistem transportasi udara, kebijakan umum angkutan udara diarahkan untuk mewujudkan terselenggaranya angkutan udara secara selamat, aman, cepat, efisien, teratur, nyaman, dan mampu berperan dalam rangka menunjang dan mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya.Pada era tahun 1945 – 1970 kegiatan penerbangan internasional oleh perusahaan nasional hanya dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik negara yaitu PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara. Pemerintah menerapkan kebijakan penunjukkan perusahaan penerbangan (designeted airlines) yang bersifat tunggal (single designated) dimana PT. Garuda Indonesia ditunjuk untuk melayani penerbangan internasional jarak jauh (long haul) sedangkan PT. Merpati Nusantara untuk jarak dekat (regional flight).
Kebijakan prinsip dasar dalam pelaksanaan perjanjian udara relatif tidak mengalami perubahan sampai sekarang masih menganut prinsip resiprocal (timbal balik) dan cabotage (perusahaan penerbangan asing tidak dapat melakukan penerbangan domestik di wilayah Indonesia). Pada era tersebut pengaturan kapasitas pada penerbangan internasional kurang fleksibel.
Untuk pengaturan tarif masih bersifat proteksi dengan kebijakan tarif double approval, dimana perusahaan angkutan udara yang ditunjuk dari Indonesia dan negara mitra melakukan kesepakatan tarif sesuai dengan kebijakan IATA dan selanjutnya kesepakatan tarif tersebut harus mendapat persetujuan dari pejabat penerbangan sipil kedua negara tersebut. Dimana tanpa adanya kesepakatan, tariff tersebut tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh kedua perusahaan penerbangan yang telah ditunjuk.
Sedangkan sejak era 1990 sampai dengan era 1999 perkembangan dunia penerbangan mengalami sedikit perubahan pada kebijakan penunjukkan perusahaan angkutan udara menjadi multi designated airline. Perubahan kebijakan ini memberi peluang swasta berpartisipasi dalam mengembangkan industri angkutan udara nasional.
Adapun kebijakan pelaksanaan rute untuk penerbangan long houl adalah PT. Garuda Indonesia sedangkan untuk rute regional untuk PT. Merpati Nusantara dan perusahaan swasta lainnya, untuk pengaturan kapasitas telah mengalami perubahan dari yang bersifat protektif menjadi cukup fleksibel.
Mulai era tahun 1999 sampai 2005, banyak terjadi peristiwa buruk yang menimpa dunia dan juga Indonesia sebagai contoh peristiwa pemboman WTC pada tanggal 9/11/2001 dan pada tahun 2002 terjadi kejadian pemboman Bali I serta peristiwa Bom Bali II pada tahun 2005, peristiwa – peristiwa tersebut cukup mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan ke arah penurunan permintaan. Hal tersebut, mendorong pemerintah untuk melakukan pengetatan peraturan terkait dengan keselamatan dan keamanan penerbangan. Disamping itu, Pemerintah juga melakukan kebijakan relaksasi dan perubahan kebijakan angkutan udara dimana pengaturan rute lebih mendorong swasta untuk dapat lebih berperan dalam melakukan penerbangan internasional. Rute relatif dibuka dan lebih bebas sepanjang masih terdapat right (hak angkut) yang belum digunakan. Penentuan kapasitas hak angkut lebih fleksible didasarkan atas jumlah tempat duduk. Sedangkan pada masalah tarif kebijakan, mekanisme tarif yang diterapkan yaitu Double Disapproval (dimana tarif dapat ditetapkan meskipun hanya satu negara anggota yang menyetujui) dalam rangka meningkatkan pariwisata dan perdagangan.
Kebijakan Angkutan Udara Dalam Negeri :
Kebijakan angkutan dalam negeri diarahkan sebagai berikut :
a. Rute penerbangan dalam negeri dapat menghubungkan dan menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia yang terdiri dari rute utama, rute pengumpan dan rute perintis.
b. Memperhatikan aspek pemerataan pelayanan di seluruh wilayah, dengan menerapkan prinsip subsidi silang (keseimbangan rute) yaitu perusahaan penerbangan selain menerbangi rute sangat padat dan padat juga menerbangi rute kurang padat dan tidak padat
c. Menerapkan Multi Airlines System dimana satu rute penerbangan dilayani lebih dari satu perusahaan penerbangan untuk menciptakan iklim usaha yang berkompetisi secara sehat dan kondusif
d. Memperhatikan keterpaduan antar rute penerbangan dalam negeri atau rute penerbangan dalam negeri dengan rute penerbangan luar negeri
e. Mendukung iklim usaha terhadap Pemegang Ijin usaha kegiatan angkutan udara niaga dan bukan niaga, pada situasi tertentu, untuk dapat melayani rute – rute tertentu yang tidak dilayani oleh angkutan udara niaga berjadwal guna mendukung iklim usaha yang kondusif dan kegiatan penduduk setempat.
Kebijakan Angkutan Udara Luar Negeri :Kebijakan angkutan udara luar negeri secara umum saat ini diarahkan sebagai berikut:
a. Pertukaran hak angkut dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Kebijakan angkutan udara internasional dilakukan secara bertahap dan progresif dengan memperhatikan perkembangan industri angkutan udara regional maupun global, dan tetap memperhatikan kepentingan dan kemampuan perusahaan angkutan udara nasional dalam bersaing di pasar internasional.
b. Liberalisasi hak-hak angkutan udara (traffic rights) dimulai dari kerjasama sub-regional seperti IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle) dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipine-East ASEAN Growth Triangle).
c. Evaluasi dan penerapan rute – rute penerbangan internasional didasarkan atas pertimbangan aspek komersial, politik dan memperhatikan keterkaitannya dengan rute domestik.
d. Memberikan kepastian terhadap perusahaan penerbangan asing dalam melaksanakan penerbangan langsung ke Daerah Tujuan Wisata di Indonesia.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan hak angkut yang dimiliki melalui kerjasama diantara perusahaan angkutan dalam negeri dengan perusahaan angkutan udara asing.
Implementasi dari kebijakan terkait parjanjian bilateral atau multilateral dalam hal perjanjian hubungan udara adalah sebagai berikut :
a. Penetapan rute penerbangan bersifat fleksibel dan berdasarkan letak geografis, bukan market demand. Pengaturan frekuensi dan kapasitas berdasarkan asas resiprositas.
b. Penetapan Penunjukan perusahaan penerbangan (designated airline) diarahkan pada multy designated sistem (dimana semua perusahaan penerbangan nasional mempunyai kesempatan yang sama untuk melayani semua rute penerbangan internacional).
c. Penetapan 27 bandar udara internasional agar perusahaan penerbangan nasional atau asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung.
d. Penunjukan perusahaan angkutan udara berdasarkan kriteria “substancial ownership and effective control” yaitu perusahaan yang dapat ditunjuk sebagai designated airlines Indonesia adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum atau negara Indonesia.
e. Pengaturan kapasitas, frekuensi dan rute angkutan kargo dilakukan secara fleksible. Mendorong kerjasama antar perusahaan penerbangan dalam bentuk joint operation atau bilateral atau third party code sharing.
f. Mekanisme penetapan tarif secara bertahap dan selektif mengarah pada Double Disapproval. Mendorong airlines asing untuk dapat mengembangkan pasar di wilayah Indonesia Timur melalui kerjasama dengan airline nasional; Charter Flights tetap diperlakukan sebagai supplement dari Scheduled Flights;
g. Indonesia telah menandatangani perjanjian angkutan udara dengan 71 negara, salah satu diantaranya berdasarkan pendekatan liberal.

Kebijakan Angkutan Haji :
a. Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia adalah merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Departemen Agama bertindak sebagai koordinator dan pengawas pelaksanaan kegiatan tersebut.
b. Departemen agama menetapkan perusahaan penerbangan dan spesifikasi pesawat yang akan mengangkut jemaah haji dari Indonesia menuju Arab Saudi atau sebaliknya melalui tender terbuka.
c. Departemen Perhubungan mengevaluasi kelaikan pesawat yang telah ditetapkan untuk mengangkut jemaah haji.
d. Pelaksanaan kegiatan penerbangan haji adalah penerbangan charter yang wajib memiliki persetujuan terbang (flight approval) dari Departemen Perhubungan
e. Perusahaan penerbangan yang melayani angkutan haji harus memiliki landing permit dari Presidency of Civil Aviation, Kingdom Saudi Arabia dan “Hajj Control” untuk mendapatkan arrival times dan departure times (slot time) di Bandar Udara King Abdul Azis – Jeddah.
Kebijakan kepengusahaan di bidang angkutan udara
a. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan oleh :
1) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berbentuk Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero)Badan Usaha Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas; atau,
2) Koperasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b. Persyaratan permohonan izin usaha angkutan udara niaga adalah sebagai berikut:
1) Memiliki akte pendirian perusahaan yang salah satu kegiatannya harus memuat usaha angkutan udara niaga berjadwal dan atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab terhadap pengesahan akte pendirian perusahaan.
2) Layak ditinjau dari aspek ekonomi dan kemampuan secara finansial untuk dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga dengan menyampaikan studi kelayakan yang antara lain memuat aspek sebagai berikut :
a) jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan
b)rute penerbangan, bagi pemohon kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal, rencana daerah operasi bagi pemohon izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
c) aspek pemasaran
d)profile organisasi perusahaan dan sumber daya manusia meliputi teknisi dan awak pesawat udara
e) kesiapan dan kelayakan fasilitas untuk pengoperasian pesawat udara
f) analisis dan evaluasi dari aspek ekonomi dan finansial.
3) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NOMOR POKOK WAJIB PAJAK)
4) Surat keterangan domisili.
c. Untuk dapat beroperasi pemohon wajib memiliki Air Operator Certificate (AOC).
Dalam rangka penanaman modal asing, pemerintah memberikan peluang untuk berusaha dibidang usaha jasa angkutan udara niaga baik berjadwal dan atau tidak berjadwal melalui kerjasama joint venture dengan Badan Hukum Indonesia yang berbetuk Perseroan Terbatas (PT), dimana mayoritas kepemilikan saham berada pada warga negara indonesia dan atau perusahaan Indonesia.
Penyelenggara Bandar Udara Internasional :
Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, jumlah Bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara Internasional di Indonesia terdapat 27 Bandar Udara. andar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri ditetapkan berdasarkan pertimbangan beberapa aspek sebagai berikut :
a. Potensi permintaan penumpang angkutan udara;
b. Potensi kondisi geografis ;
c. Potensi kondisi pariwisata ;
d. Potensi kondisi ekonomi ;
e. Aksesibilitas dengan bandar udara internasional disekitarnya, dan ketentuan intra antar moda.
Pelayanan jasa angkutan udara harus memperhatikan keselamatan, keamanan, kecepatan, kelancaran, ketertiban, keteraturan dan efisiensi dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.”
Masyarakat Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati jasa pelayanan angkutan udara dengan tarif yang dapat terjangkau dan tetap memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.
Dalam hal pengaturan tentang prosedur berlakunya tarif angkutan udara internasional bilateral, hampir semua perjanjian angkutan udara bilateral Indonesia menggunakan sistem “double approval” yaitu suatu tarif yang diajukan oleh kedua perusahaan angkutan udara yang ditunjuk hanya dapat diberlakukan apabila telah disetujui oleh kedua Pemerintah. Namun demikian, Pemerintah secara bertahap dan selektif akan menerapkan sistem ”double dis-approval”.
Dengan tetap dimungkinkan Pemerintah campur tangan dalam pengaturan tarif guna :
Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
a. Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
b. Melindungi konsumen dari pengenaan tarif tinggi yang tidak wajar karena memegang posisi dominan pada suatu pasar.
c. Melindungi perusahaan penerbangan dari penetapan tarif yang rendah oleh perusahaan penerbangan lainnya karena subsidi langsung atau tidak langsung dari Pemerintah.
Pengaturan Tarif di Bidang Jasa Kebandar Udaraan :
a. Tarif pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum ditetapkan berdasarkan pada struktur dan golongan tarif serta dengan memperhatikan :
1) Kepentingan pelayanan umum ;
2) Peningkatan mutu pelayanan jasa ;
3) Kepentingan pemakai jasa ;
4) Penigkatan kelayakan pelayanan ;
5) Pengaturan biaya ; dan
6) Pengembangan Usaha.
b. Penetapan tarif pelayanan jasa kebandarudaraan :
1) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
4) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diusahakan ditetapkan oleh Direksi Badan Usaha Kebandarudaraan setelah dikonsultasikan dengan menteri Perhubungan.