Kamis, 27 Oktober 2011

Konsep Siklus SMS pada ATS Unit

SMS unit harus mengelola proses lingkaran safety, mengukur dan memonitor kinerja keselamatan untuk kelanjutan pengembangan keselamatan. Aktifitas dalam linkaran keselamatan adalah sebagai berikut : Mengidentifikasi dan menganalisa bahaya a. Sistem Pelaporan keselamatan 1) Semua laporan BOS, BOC dan bahaya harus dialamatkan ke SMS unit ATS. 2) BOS dan BOC adalah laporan yang wajib diisi oleh personil yang sedang bertugas. 3) Laporan tentang bahaya adalah pelaporan sukarela yang dilaporkan oleh personil ATS. 4) Laporan bahaya dapat bersifat rahasia yang dilaporkan kepada kepala unit SMS atau otoritas yang ditunjuk. Semua identitas pelapor dilindungi. b. Menyelenggarakan Survei keselamatan di unit ATS. c. Sistem pelaporan keselamatan terpusat di SMS unit d. SMS unit akan menyediakan format pelaporan yang dapat dengan mudah ditemukan dan diisi oleh seluruh personil. Investigasi a. Semua kejadian sebaiknya diinvestigasi oleh SMS unit dan tergantung dari kategori kejadian. b. Proses investigasi akan mengikuti metode investigasi seperti disebutkan dalam ICAO annexes 13 dan PPKS 830. c. Kategori kejadian kejadian akan akan diinformasikan dan disosialisasikan oleh unit SMS kepada seluruh personil ATS. Menetukan dan menganalisa keselamatan a. Semua perencanaan dan pengembangan di ATS unit sebaiknya melalui proses safety assessment termasuk peralatan CNS dan instalasi, SDM, implementasi prosedur baru, perubahan permanen ataupun sementara. b. Semua data pada proses investigasi akan dianalisa secara komprehensif Mitigasi Resiko Mitigasi resiko akan mempertimbangkan semua kemampuan dan kemungkinan dari sumber daya ATS Unit untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Rekomendasi Keselamatan a. Semua analisa pada langkah sebelumnya sebaiknya sudah jelas dan dapat dicarikan rekomendasi yang terbaik. b. SMS unit harus memonitor tindakan selanjutnya dari rekomendasi safety. Komunikasi & kampanye Keselamatan a. SMS unit akan menyediakan safety review kepada seluruh personil per satuan waktu tertentu. b. Safety review sebagai bagian dari komunikasi keselamatan akan disediakan melalui salah satu dari media : 1) Rapat internal 2) Rapat eksternal 3) Buletin keselamatan 4) Majalah Keselamatan 5) Internet c. SMS unit dapat menyediakan kampanye keselamatan dengan spanduk atau poster. d. SMS unit dapat menyediakan pelatihan keselamatan di Unit ATS atau dengan sesuai dengan kebutuhan lain.

Rabu, 12 Oktober 2011

STUDI DESAIN KONSEP SIMULATOR AERODROME CONTROL TOWER

Abstract: Education and training in air traffic control requires adequate infrastructure in order to achieve optimal results. Air traffic control simulator is a means of training simulation for personnel who operate air traffic control system. Nowadays, a rapid development of computer technology allowing the air traffic control simulation can be replaced by using computer-based system. The need of air traffic control simulator is considered very important to support the success of the air traffic control training program. Ability to perform design and construction of an air traffic simulator control is one element of success in supporting the raining performance of air traffic cotrol. Keywords: atc simulator, design conceipt A. PENDAHULUAN Tugas pemandu lalu lintas udara ( Air Traffic Controler/ ATC ) yang tercantum di dalam Annex 2 ( Rules of the Air ) dan Annex 11 (Air Traffic Services) Konvensi Chicago 1944 adalah mencegah tabrakan antar pesawat (separasi baik arah lateral, vertical maupun longitudinal), mencegah tabrakan pesawat dengan obstructions, mengatur arus lalu lintas udara yang aman, cepat dan teratur kepada pesawat terbang, baik yang berada di ground atau yang sedang terbang / melintas dengan menggunakan jalur yang telah ditentukan. Tugas lainnya adalah untuk memberikan gambaran keadaan lalu-lintas di udara kepada penerbang yang diperoleh baik melalui radar maupun non-radar termasuk informasi keadaan cuaca dan navigasi udara. Berdasarkan wilayah tanggung jawabnya, Air Traffic Controller terbagi atas 3 jenis yaitu: 1. Aerodrome Control Tower (TWR) Bertugas untuk mengendalikan proses kedatangan dan pemberangkatan pesawat terbang di manoevering area dan wilayah udara dalam jarak pandang yang masih mampu dijangkau secara visual biasanya dalam jarak jangkau 2 hingga 5 NM. 2. Approach and Terminal Control (APP / TMA) Bertugas melakukan panduan terhadap pesawat yang terbang di dalam terminal control zone yang memiliki jarak jangkau antara 30 sampai 50 NM dari posisi bandara. APP/TMA bertugas dalam memandu traffic climb dan descend. 3. Area Control Center (ACC) Bertugas memberikan pelayanan ATC terhadap pesawat yang terbang di dalam geographic area dengan jangkauan beberapa ratus mile dari posisi bandara pada posisi en-route / cruising level. Untuk melaksanakan tugas tersebut diperlukan seorang petugas ATC dalam pengaturan arus lalu lintas udara yang dimulai dari pesawat melakukan contact (komunikasi) pertama kali sampai dengan pesawat tersebut mendarat (landing) di bandara tujuan. Disamping itu diperlukan dukungan prasarana, sarana, serta perangkat peraturan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan International Civil Aviation Organization (ICAO) Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, yang dari hari ke hari terus dilakukan amandemen sesuai dengan pengembangan arus lalu lintas penerbangan dan teknologi. Dengan semakin tingginya frekuensi penerbangan yang melintasi ataupun mendarat di bandar udara dewasa ini, maka tugas dan tanggung jawab pelayanan Operasi Lalu Lintas Udara menjadi semakin berat. Oleh karena itu, kualitas dan kehandalan perangkat kerja dan SDM yang ada dibelakangnya harus benar-benar prima untuk menjamin terhindarnya insiden penerbangan. Salah satu cara dalam rangka mempertahankan kualitas dan kehandalan petugas ATC adalah dengan menyelenggarakan ujian License dan Rating bagi petugas ATC secara periodik. Agar penyelenggaraan ujian License dan Rating ATC ini dapat diselenggarakan secara aman dan tidak mengganggu operasional perangkat ATC, maka diperlukan suatu wahana khusus yaitu apa yang disebut dengan ATC Simulator. Selain untuk penyelenggaran ujian License dan Rating, ATC Simulator ini dapat juga digunakan untuk wahana recurrent atau refreshning training bagi petugas ATC dan sarana pengenalan atau familiarisasi bagi calon petugas ATC. ATC Simulator adalah suatu sistem terdiri dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang bertugas mensimulasikan situasi lalu lintas udara mulai dari ground control di bandara hingga ke area control termasuk mensimulasikan kondisi pesawat terbang dan lingkungan dimana pesawat yang dikendalikan berada. Dalam ATC Simulator, peserta diklat dapat dilatih hal-hal sebagai berikut: 1. Latihan mendeteksi dan mencegah sedini mungkin terjadinya tabrakan antar pesawat, mencegah tabrakan pesawat dengan obstructions dan kendaraan bandara di area bandara. 2. Latihan menangani kondisi abnormal seperti situasi urgensi dan emergensi 3. Latihan memberikan panduan bagi penerbang pesawat baik yang sedang terbang di luar dan di dalam aerodrome area seperti approach, takeoff dan landing. 4. Latihan komunikasi radiotelophony dengan penerbang sesuai dengan kaidah ATC seperti yang diatur oleh ICAO. Sesuai dengan level penggunaannya di lapangan maka ATC Simulator terklasifikasi menjadi 4 jenis yakni: 1. Aerodrome Control Simulator (ACS) Merupakan replika dari perangkat ground dan tower serta approach control sesungguhnya yang berfungsi sebagai wahana pelatihan bagi petugas ground, tower dan approach controller 2. APP/ACC Radar (Survillance) Simulator Merupakan replika dari perangkat approach dan area control center sesungguhnya yang berfungsi sebagai wahana pelatihan bagi petugas area approach dan control center area (APP/ACC) dalam memberikan service radar (sureveillance). 3. APP/ACC Non-Radar (Prosedural Control) Simulator Merupakan replikan dari perangkat approach dan area control central sesungguhnya yang berfungsi sebagai wahana pelatihan bagi petugas approach dan area control central (APP/ACC) yang memberikan service non-radar (procedural control). 4. ADS-CPDLC Automatic Dependent Surveillance-Controller Pilot Data Line Communication merupakan replikan APP/ACC Radar (Surveillance) dengan teknologi ADS-CPDLC. Secara umum manfaat penggunaan ATC simulator sebagai wahana pelatihan adalah: 1. Mengurangi biaya operasional pelatihan, karena biaya operasional ATC simulator jauh lebih murah dibandingkan dengan perangkat ATC sesungguhnya. 2. Tidak mengandung unsur resiko apabila terjadi kesalahan prosedur yang dilakukan siswa pada waktu pelatihan berlangsung. 3. Pelatihan dapat dilaksanakan setiap saat tidak bergantung kepada waktu, cuaca maupun kondisi alam B. KERANGKA TEORITIK Robinson (1966) menyatakan bahwa simulasi sering berganti nama game. Coleman (1970) mendefinisikan simulasi dan game secara berbeda. Tornyay dan Thompson (1982:24), menyebutkan beberapa penulis berikut ini memberikan petunjuk dalam mengembangkan definisi yang dapat membantu untuk mengklarifikasi dan membedakan istilah simulasi dan game (Clarlson, 1969; Tansey dan Unwin, 1969; Raser, 1969; Abt, 1971; Curtis dan Rothert, 1972; Cruickshank,1977; Rockler,1978; McKe-achie,1978; Thiagarajan dan Stolovich, 1978; Cooper, 1979). Simulation: A realistic representation (model) of structure or dynamics of a real thing or process with which the participant, as an active part of the experience, interacts with person or thing in the environment, applies previously learned knowledge to make respones (decicions and action to deal with a problem or situation, and recieves feedback about responses without the direct real-life consequences. Game: An activity governed by precise rules that involves varying degrees of chance or risk and one or more players who compete (with self, the game, one another, or a computer) through the use of knowledge, skill, strength, or luck in an attempt to reach a specified goal (gain an intrinsic or extrinsic rreward) Simulation Game: An activity that incorporates the characteristic of both a simulationand a game; a game that also models some real life situation or proces. Simulasi adalah tiruan perbuatan yang hanya pura-pura. Simulasi dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah; dan simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura. Menurut kamus Inggris-Indonesia ( Echols dan Shadily, 1975:527), simulation artinya pekerjaan tiruan atau meniru, sedang simulate, artinya menirukan, pura-pura atau berbuat seolah-olah. Dengan demikian simulasi adalah peniruan atau perbuatan yang bersifat menirukan suatu peristiwa seolah-olah seperti peristiwa yang sebenarnya. Beberapa penulis menyebutkan manfaat simulasi, diantaranya adalah berikut ini. Simulasi dapat meningkatkan motivasi dan perhatian anak terhadap topik, dan belajar anak, serta meningkatkan keterlibatan langsung dan partisipasi aktif siswa dalam belajar. Meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar kognitif, meliputi informasi faktual, konsep, prinsip dan keterampilan membuat keputusan. Belajar siswa lebih bermakna. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan guru manakala menggunakan simulasi untuk pembelajaran. a. Simulasi dilakukan oleh kelompok siswa. b. Tiap kelompok mendapat kesempatan melaksanakan simulasi yang sama atau dapat juga berbeda. c. Semua siswa harus terlibat langsung menurut peranan masing- masing. Penentuan topik disesuaikan dengan tingkat kemampuan kelas, dibicarakan oleh siswa dan guru. d. Dalam simulasi seyogyanya dapat dicapai ketiga domain psikis. e. Hendaknya yang diusahakan terintegrasinya beberapa ilmu. Petunjuk simulasi hendaknya dibuat secara jelas dan mudah dipahami anak terutama bagi pemegang peran. f. Simulasi adalah latihan keterampilan motorik maupun sosial yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa dalam menghadapi keadaan yang sebenarnya. g. Pelaksanaan simulasi perlu menggambarkan situasi yang lengkap, proses yang rinci dan urut yang sesuai dengan situasi yang sesungguhnya. Simulasi adalah program (software) komputer yang berfungsi untuk menirukan perilaku sistem nyata (realitas) tertentu. Tujuan simulasi antara lain untuk pelatihan (training), studi perilaku sistem (behaviour) dan hiburan / permainan (game). Beberapa contoh simulasi komputer, antara lain : simulasi terbang (flight simulation), simulasi sistem ekonomi makro, simulasi sistem perbankan, simulasi antrian layanan bank (service queue), simulasi game strategi pemasaran (market game), simulasi perang (war game simulation), simulasi mobil (car simulation), simulasi tenaga listrik (power plan simulation), simulasi tata kota (sim city). Simulasi waktu nyata (real time) merupakan bagian dari ilmu informatika (teknologi informasi) yang sedang berkembang sangat pesat saat ini. Studi informatika yang mendukung simulasi komputer, antara lain : pemodelan dan simulasi, teori sistem, rekayasa perangkat lunak dan grafik animasi komputer. Proses tahapan dalam mengembangkan simulasi komputer adalah sebagai berikut : 1. Memahami sistem yang akan disimulasikan 2. Mengembangkan model matematika dari sistem 3. Mengembangkan model matematika untuk simulasi 4. Membuat program (software) computer 5. Menguji, memverifikasi dan memvalidasi keluaran simulasi 6. Mengeksekusi program simulasi untuk tujuan tertentu. C. MODEL RANCANG BANGUN Berikut ini adalah beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Aerodrome Control Simulator. 1. Aspek Teknis a. Memiliki tampilan proyeksi bidang pandang (field-of-view) sebesar 360º yang dibangkitkan oleh 8 buah LCD melingkar yang membetuk ruang silinder. b. Menyediakan 360º graphical 3D terrain database. c. Pesawat, bangunan bandara dan penerangan dimodelkan dalam model 3 dimensi. d. Parameter-parameter berikut ini ditampilkan secara akurat baik dalam modeling maupun visualisasi: 1) Airfield runways dan taxiways 2) Environment Condition dan local weather effects 3) Time of day (day, dusk dan night) 4) Model Flight dimodelkan secara realistic berdasarkan flight performance pesawatnya. e. Simulator dilengkapi dengan fasilitas: 1) Zooming terhadap object maupun platform sebagai pengganti fungsi teropong (binocular). 2) Terminal Area Display dari mulai ground, tower hinggal approach area dalam presentasi display Radar 2 Dimensi. 3) Flight Strip tray - berfungsi sebagai tempat penyimpanan fligt strip. 4) Record Replay - berfungsi sebagai fasilitas dalam mengevaluasi kinerja siswa 5) Digital audio sebagai media komunikasi antar position (tower controller, approach controller, pseudo pilot dan instructor). 2. Konfigurasi Sistem Konfigurasi Aerodrome Control Simulator dibangun dengan menggunakan sistem jaringan (LAN) yang tersambung satu sama lain melalui Router Hub seperti terlihat pada gambar 1 yang terdiri dari: a. Dua unit Tower Controller masing-masing bertindak sebagai Executive dan Assistance Controller position b. Satu unit Approach Controller position c. Tiga unit Pseudo Pilot position d. Satu unit Instructor position e. Satu set Visual sistem berupa: 1) Delapan unit Image Generator 2) Delapan unit LCD 60” Setiap position dirancang dalam bentuk console atau rack cabinet yang berisi perangkat keras berikut: a. Workstation berupa computer PC lengkap dengan keyboard dan trackball mouse b. Console Display berupa 24 inch LCD monitor c. Audio Communication Sistem terdiri dari: 1) Audio Headset 2) Loud speaker 3) Telephone-set d. Soft Audio Communication Control Panel sebagai fasilitas audio control selection berupa 21.5” LCD Touch screen monitor e. Flight Strip tray 3. Spesifikasi Teknis Spesifikasi teknis sistem Aerodrome Control Simulator terklasifikasi menjadi 3 komponen meliputi hardware, software dan operasional. a. Hardware Komponen hardware Aerodrome Control Simulator terdiri dari 3 sistem yaitu: 1) Computer Sistem Computer yang digunakan untuk System Manager memiliki spesifikasi teknis sebagai berikut: a) Industrial Server Xeon E5620 b) RAM 6GB RDIMM DDR3-1333 c) GbE NIC d) VGA ATI 32MB e) DVD-ROM f) LCD Monitor 20", 1600 x 900 g) Industrial Keyboard & Mouse Rack Mount h) Tower Case i) Server Rack Computer yang digunakan untuk Tower Controller memiliki spesifikasi teknis sebagai berikut: a) Industrial PC Core i3-350M b) RAM 4GB DDR3 c) Hard Disk Drive 750GB SATA d) Dual Head Graphics Adapter VGA NVIDIA GeForce GT230M 1GB e) LCD monitor 24 inch 1920 x 1080 f) LCD monitor 21.5 inch 1920 x 1080 TouchScreen Computer yang digunakan untuk Pseudo Pilot Position memiliki spesifikasi teknis sebagai berikut: a) Industrial PC Core i3-350M b) RAM 4GB DDR3 c) Hard Disk Drive 750GB SATA d) Dual Head Graphics Adapter VGA NVIDIA GeForce GT155M 2GB e) LCD monitor 24 inch 1920 x 1080 f) LCD monitor 21.5 inch 1920 x 1080 TouchScreen 2) Audio Communication Sistem a) 21.5 inch LCD Touch screen monitor 1920 x 1080 b) Loud speaker c) Audio Headset d) Telephone set e) Sound blaster card 3) Visual Sistem a) LCD Monitor 60” 1920 x 1080 b) Visual Image Generator dengan spesifikasi sebagai berikut: i. Industrial PC CPU Core i7-2600 ii. RAM 4GB DDR3 iii. Hard Disk Drive 1TB SATA iv. VGA NVIDIA GeForce GT155M 2GB b. Software Software Aerodrome Control Simulator memiliki spesifikasi teknis sebagai berikut: 1) Database Database merupakan koleksi data yang diperlukan untuk mengeksekusi simulator yang meliputi: 2) Flight Performance 3) Flight Plan 4) Flight Procedure 5) Air Route 6) Airspace 7) Airport Condition 8) Navigation Aids (NavAids) 9) Exercise dan Scenario a) Modeling Software pemodelan yang terlibat dalam proses eksekusi simulator meliputi: i. Flight Processing – software yang memodelkan karakteristik, kinerja dan operasional pesawat terbang dilihat dari sisi ATC controller mulai dari proses take-off hingga landing baik dalam keadaan normal, abnormal, ataupun emergency termasuk pengaruh lingkungan buruk. ii. Radar Processing – software yang memodelkan seluruh aspek yang berkaitan dengan radar processing mulai dari radar detection, radar view display hingga radar tools. b) Graphical User Interface (GUI) GUI program adalah software yang dibuat berbasis Windows berisi sistem menu disamping menampilkan radar view seperti terlihat pada gambar 3. Sistem menu dirancang secara khusus disesuaikan dengan posisinya (tower controller, approach controller, pseudo pilot dan instructor). c) Sistem Management Software ini diaktifkan lewat computer instructor position, digunakan oleh sistem administrator untuk tugas atau pekerjaan yang berkaitan dengan aspek pemeliharaan sistem seperti: i. Sistem Configuration termasuk update database ii. User Account (user types, password, access rights) iii. Simulation load/unload iv. Online/Offline reporting data v. Backup dan Restore d) Voice Simulation Pada setiap position disediakan audio station yaitu fasilitas untuk berinteraksi/berkomunikasi secara verbal antar position (controller, instructor dan pseudo pilot position) dalam lingkup sistem Approach dan Tower Control Simulator. Software voice simulation ini dikembangkan dengan menggunakan teknologi VoIP (Voice Internet protocol). Audio Communication Sistem ini menyediakan fasilitas komunikasi dua arah sesuai fungsi dan kebutuhannya sebagai berikut: i. Administration Communication Berfungsi untuk koordinasi keseluruhan sistem dan hanya tersedia pada Instructor Position, digunakan untuk berkomunikasi dari Instructor Position ke Controller Position (Approach dan Tower), dari Instructor Position ke Pseudo Pilot Position atau dari Instructor Position ditujukan keseluruh position (Broadcast) dengan menggunakan tombol Admin dan memilih jenis komunikasi yang diinginkan pada sistem komunikasi di Instructor Position. ii. Ground to Ground Communication Berfungsi untuk koordinasi antara Tower Controller Position dengan Approach Controller Position seperti Hand Over, Flight Plan request dll. Fasilitas ini diaktifkan dengan memilih tombol Controller Position yang dituju pada sistem komunikasi di tiap Controller Position. iii. Ground To Air/Air To Ground Communication Berfungsi sebagai simulasi frequensi radio yang digunakan untuk berinteraksi antara Controller position sebagai Approach Controller ataupun Tower Controller dengan Pseudo Pilot Position sebagai operator pesawat. Frequensi radio telah diset sesuai dengan frequensi yang dituju di tiap airspace/sektornya. Fasilitas ini diaktifkan dengan memilih tombol yang ada di Controller Position maupun di Pseudo Pilot Position. e) Visual Simulation Software visual simulation dikembangkan untuk membangkitkan tampilan 3D object, flatform dan lingkungannya di layar. Software ini dilengkapi dengan database pesawat dan airport dalam 3Dimensi serta objek-objek yang berada di permukaan tanah. f) Record Replay RECORD adalah fasilitas bagi instruktur untuk merekam aktivitas yang dilakukan siswa selama pelatihan berlangsung baik aktivitas yang dilakukan dengan tangan (mouse dan keyboard) maupun aktifitas verbal. Rekaman aktivitas tersebut disimpan dalam bentuk file data dan audio di dalam harddisk yang disebut recorded file. Sedangkan REPLAY atau PLAYBACK adalah fasilitas untuk memutar balik recorded file sehingga semua aktivitas siswa dalam menjalankan pelatihan bisa dilihat kembali. Fasilitas ini digunakan oleh instruktur untuk menganalisa dan mengevaluasi kinerja siswa berupa komentar atau saran bila siswa melakukan kesalahan. Aktivasi replay ini bisa dilakukan pada instructor position. c. Operasional Secara garis besar aspek operasional Aerodrome Control Simulator diterangkan di bawah ini. 1) Training Preparation Persiapan proses pelatihan merupakan tanggung jawab seorang instruktur. Data yang harus dipersiapkan oleh instruktur sebelum training dilaksanakan meliputi:Exercises atau Courseware, Flight Plan, NavAids Data dan Aero Map Data 2) Training Execution i. Training Configuration Sesi pelatihan merupakan faktor utama yang menentukan berhasil tidaknya misi suatu pelatihan di Approach dan Tower Control Simulator. Sesi pelatihan mendefinisikan suatu lingkungan eksekusi yang meliputi defined airspace dan sistem parameter yang relevan untuk exercise yang akan dijalankan. Ketika seorang siswa melakukan proses login, maka siswa position akan mengidentifikasi sesi pelatihan yang telah ditentukan untuk dijalankannya. Sesi pelatihan diaktifkan, dikendalikan dan dihentikan oleh instruktur. ii. Exercise Supervision Supervisi terhadap setiap exercise dilakukan oleh exercise supervisor seperti: (1) Exercise Initiation Pemilihan suatu exercise yang akan dijalankan yang melibatkan pada instalasi dan validasi terhadap exercise tersebut. (2) Exercise Resumption Melakukan initialisasi proses eksekusi suatu exercise yang sudah terinstal. (3) Exercise Suspension Melakukan freeze atau pemberhentian sementara proses eksekusi suatu exercise (4) Exercise Termination Memberhentikan proses eksekusi suatu exercise yang sudah tidak diperlukan lagi. (5) Record Sebagai bahan evaluasi kinerja siswa setelah training selesai (post evaluation training). iii. Post Training Evaluation Setelah training selesai dilakukan, instruktur dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja siswanya dengan menggunakan fasilitas replay atau playback. 4. Design Approach Pendekatan yang dilakukan dalam proses perancangan dan pengembangan Aerodrome Control Simulator adalah sebagai berikut: a. Reference Dokumen yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan rancang bangun Simulator adalah: 1) ICAO – SARP Document 2) DGAC – CASR Document 3) User Requirements document Dokumen ICAO dan DGAC berisi regulasi yang mengatur keberadaan Aerodrome Control Simulator menyangkut semua persyaratan dan segi kualifikasi serta validasinya. Sedangkan user requirement document berisi semua persyaratan dan kebutuhan user baik software, courseware maupun hardware sehingga ATC Radar Simulator yang diterima user benar-benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh user. b. Engineering Design Standard Engineering Design Standard yang digunakan dalam pengembangan ATC Radar Simulator disesuaikan dengan jenis produknya yaitu: 1) DoD 2168 - dokumen yang dipublikasikan oleh US Department of Defence yang berisi panduan standard dalam proses pengembangan software. Adapun tujuannya adalah dalam rangka memberikan kemudahan bagi user terutama dalam hal operasi dan maintenance software tersebut. 2) ISO – dokumen yang dipublikasikan oleh International Organization for Standardization yang berisi panduan standard dalam proses pengembangan dan manufacturing hardware. Seperti halnya dengan DoD 2168, dokumen ISO juga bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi user dalam melakukan operasi dan maintenance produk hardware. c. Commercial of The Shelf (CoTS) products Semua komponen yang diperlukan dalam pembangunan Aerodrome Control Simulator diusahakan semaksimal mungkin bersifat CoTS products. Dengan maksud agar murah dalam harga beli dan murah pula dalam biaya operasional serta pemeliharaannya. d. State of the Art Technology Konsep state of the art technology adalah konsep yang menerapkan teknologi paling baru menyangkut software dan hardware. e. Human Factor Engineering Dengan diterapkannya konsep Human Factor Engineering, maka diharapkan produk yang dihasilkan akan menarik user untuk memilikinya dan nyaman dalam menggunakannya serta mudah dalam mengoperasikannya. Konsep tersebut diimplementasikan dalam bentuk: 1) Pengembangan software dilakukan dalam basis “Graphical User Interface Program“ yakni software yang berbasis Windows programming dengan memperhatikan interaksi antara sistem dengan user. Selain itu software aplikasi yang dikembangkan juga harus memiliki sifat “User Friendly”; sehingga akan memberikan panduan yang memudahkan user. 2) Perancangan console dan Windows display dilakukan sedemikian rupa dalam segi bentuk, layout dan komposisi warna sehingga akan memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam menggunakannya. f. Object Oriented programming Object Oriented Programming adalah pemrograman yang berorientasi non-linear dalam arti program itu terbentuk dari object yang terpisah-pisah dan letaknya tersebar secara modular. Microsoft Visual Studio seperti Visual Basic dan Visual C/C++ merupakan contoh bahasa pemrograman yang bersifat object oriented programming. Keuntungan penggunaan bahasa pemrograman seperti ini adalah bersifat “traceable” yang memudahkan software programmer dalam melakukan debugging process atau error finding dan error correction karena setiap object module dibuat secara independent. g. Programming language Program Compiler yang digunakan dalam pengembangan ATC Tower Simulator bergantung kepada aspek kebutuhan dan aplikasinya yang terdiri dari: 1) Operating Sistem - Windows XP SP-3 2) Graphical User Interface Program - Microsoft Visual Basic 3) Interface Program - Microsoft Visual C/C++, - Microsoft Visual C# 4) Dynamic Modeling Software - Microsoft Visual C/C++ 5) Database Program - SQL Server 5. Team Developer Tim pengembang Aerodrome Control Simulator terdiri dari beberapa orang yang ahli di bidangnya dengan tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. Courseware Developer: bertanggung jawab dalam perancangan dan pembuatan courseware. b. Software Engineer: bertanggung jawab dalam merancang dan mengembangkan: 1) Graphical User Interface program. 2) Pemodelan dan simulasi pesawat. 3) Audio Communication Sistem simulation. 4) Real-time executive dan client-server interaction program 5) Utility software 6) Visual data base berupa Aero Map Coverage c. Quality and Assurance Engineer: bertanggung jawab dalam pengontrolan dan validasi terhadap kualitas produk berdasarkan standard internasional termasuk di dalamnya pembuatan dokumentasi. d. Mechanical & Electrical Sistem Engineer: bertanggungjawab dalam merancang pembuatan console menyangkut aspek mechanical dan electricalnya. e. Support Engineer: bertanggung jawab dalam mensupport project dalam bidang: 1) Procurement, logistic dan keuangan 2) Administrasi, akomodasi dan transportasi 3) Program planning dan control f. Project Engineer: bertanggung jawab dalam mengendalikan dan monitoring day-to-day activity serta melakukan koordinasi team dalam pelaksanaan project. g. Program Manager: bertanggung jawab dalam membuat perencanaan proyek dan evaluasi terhadap pelaksanaan project. D. PENUTUP Implementasi desain konsep ATC Simulator merupakan suatu peluang sekaligus ajang bagi tenaga ahli profesional simulator Indonesia untuk membuktikan kemampuannya dalam mengembangkan sistim/perangkat pelatihan ATC simulator. Pemberian kesempatan dan kepercayaan kepada tenaga ahli lokal ini sangat penting bagi perkembangan penguasaan teknologi maju dan sekaligus menjadi model untuk mengurangi ketergantungan kepada negara maju/supplier vendor, sehingga dapat menghemat biaya pemeliharaan, update dan upgrade sistem ataupun perbaikan bilamana terdapat kerusakan sistem. PUSTAKA Gregoriades, A., Sutcliffe, A. G. and Shin, J. E. 2002. Assessing the Reliability of Socio-Technical Systems. Proceedings of the 12th Annual Symposium of the International Council on Systems Engineering (INCOSE 2002). Petricel, B. and Costelloe, C. 2007. First ATC Support Tools Implementation (FASTI) Operational Concept. Technical report, EUROCONTROL. Reiman, T. and Oedewald, P. 2006. Organizational Culture and Social Construction of Safety in Industrial Organizations. In Nordic Perspectives on Safety Management in High Reliability Organizations: Theory and Applications. Spencer, D. A., Applying Artificial Intelligence Techniques to Air Traffic Control Automation, Lincoln Laboratory Journal, Volume 2, Number 3, 1989. Dony, C., Knudsen, J. L., Romanovsky, A.B. and Tripathi, A. 2006. Advances Topics in Exception Handling Techniques. In Lecture Notes in Computer Science, vol. 4119. Thompson, S., Spencer, D., Andrews, J., An Assessment of the Communications, Navigation, Surveillance (CNS) Capabilities Needed to Support the Future Air Traffic Management System, Project Report ATC-295, MIT Lincoln Laboratory, Lexington, MA, 2001.

ATS Safety & Contingency

Tujuan dari Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan yang tersurat dalam Undang-Undang No.1 tahun 2009 pasal 278 sebagai berikut : “ Pelayanan lalu lintas penerbangan mempunyai tujuan : a) mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara di udara; b) mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area); c) memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan; d) memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan e) memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).” Indonesia adalah salah satu anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), yang mensyaratkan kepada setiap negara anggotanya untuk selalu konsekuen melaksanakan isi dari Konvensi Chicago pada tahun 1944 yang dituangkan ke dalam Annexes dan Documents. ICAO di dalam Dokumen 9426 ATS Planning Manual Chapter II Paragraf 1.3.3.1 menyebutkan “The state(s) responsible for providing air traffic service and related supporting services in particular portions of air service is (are) also responsible, in the event of disruption or potential disruption of these service, for instituiting measure to ensure the safety of international civil aviation operations and, where possible for making provision for alternative facilities and services”. Dari kalimat di atas jelas dinyatakan bahwa ICAO meminta pada suatu negara yang memberikan pelayanan lalu lintas penerbangan untuk bertanggung jawab jika pelayanan tersebut terganggu ataupun mempunyai potensi akan terganggu. Tanggung jawab tersebut bisa diwujudkan dengan membuat fasilitas dan layanan alternatif. Dalam pembuatan Contingency Plan, ICAO mensyaratkan di dalam Dokumen 9426 Paragraf I.3.5.1 “A contingency plan must be acceptable to providers and users of contingency services alike, i.e. in terms of the ability of the providers to discharge the functions assigned to them and in terms of safety of operations and traffic handling capacity provided by the plan in the circumstances.” Terjemahan bebas dari kalimat di atas adalah “Sebuah contingency plan haruslah dapat diterima oleh para penyedia layanan lalu lintas udara dan juga pengguna dari contingency plan tersebut dalam hal ini perusahaan penerbangan. Selain itu contingency plan tersebut juga harus memperhitungkan kemampuan dari penyedia layanan lalu lintas penerbangan yang diberikan tugas dalam contingency plan dalam menjalankan fungsinya terhadap keselamatan operasional penerbangan dan kemampuan dalam menangani tambahan traffic. Penambahan traffic ini haruslah sesuai dengan kapasitas yang telah ditetapkan oleh penyedia lalu lintas penerbangan tersebut. Dalam Annex 11 – Air Traffic Services halaman 2-11 menyatakan bahwa program manajemen keselamatan pelayanan lalu lintas penerbangan (ATS Safety) harus : a) Mengidentifikasi kenyataan yang ada di lapangan dan potensi bahaya serta menentukan tindakan yang benar bila diperlukan. b) Menjamin tindakan yang diambil guna tetap menjaga keselamatan lalu lintas penerbangan. c) Selalu memonitor dan tetap menilai mutu keselamatan yang dicapai. Jika telah mengidentifikasi suatu bahaya maka manajemen harus mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin keselamatan lalu lintas penerbangan. Saat ini Indonesia mempunyai potensi bahaya gempa bumi yang besar di mana sampai saat ini tidak dapat diketahui kapan akan terjadi dan menurut para ahli gempa besar tersebut pasti akan terjadi. Kunci keberhasilan manajemen keselamatan sebagaimana disimpulkan dalam ICAO Circular 247- AN/248 : Human Factors, Management and Organization (halaman 44) terletak pada kemampuan organisasi dalam mengidentifikasi dan mengelola latent failures sehingga tidak berujung pada incident / accident. Oleh karena itu manajemen pelayanan lalu lintas udara diharapkan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk selalu dapat mampu mengidentifikasi dan mengelola bahaya atau ancaman terhadap keselamatan lalu lintas penerbangan.

Senin, 03 Oktober 2011

Pelaporan Kecelakaan Penerbangan

Indonesia termasuk negara anggota ICAO, jadi prinsip-prinsip dan standar praktis penerbangan di Indonesia sesuai dengan peraturan atau dokumen yang dikeluarkan oleh ICAO. Di Indonesia terdapat Kementerian Perhubungan dalam hal ini Dirjen Perhubungan Udara sebagai regulator yang menerbitkan dan mengatur tentang prinsip-prinsip dan standar-standar praktis penerbangan yang ada di Indonesia yang merujuk dari ketentuan yang dikeluarkan ICAO. ICAO mengeluarkan Annex, Dokumen dan manual-manual yang mengatur ketentuan penerbangan Internasional sehingga terdapat keseragaman dan standar dalam pengaturan penerbangan. Sesuai dengan ICAO Annex 13 Aircraft Accident and Incident Investigation chapter 8 mengenai Accident Prevention Measures, dijelaskan bahwa, Incident reporting systems Note.— The objective of these specifications is to promote accident prevention by analysis of accident and incident data and by a prompt exchange of information. 8.1 A State shall establish a mandatory incident reporting system to facilitate collection of information on actual or potential safety deficiencies. 8.2 Recommendation.— A State should establish a voluntary incident reporting system to facilitate the collection of information that may not be captured by a mandatory incident reporting system. 8.3 A voluntary incident reporting system shall be non-punitive and afford protection to the sources of the information. Note 1.— A non-punitive environment is fundamental to voluntary reporting. Note 2.— States are encouraged to facilitate and promote the voluntary reporting of events that could affect aviation safety by adjusting their applicable laws, regulations and policies, as necessary. Note 3.— Guidance related to both mandatory and voluntary incident reporting systems is contained in the Safety Management Manual (SMM) (Doc 9859). Note 4.— Attachment E contains legal guidance for the protection of information from safety data collection and processing systems. Database systems 8.4 Recommendation.— A State should establish an accident and incident database to facilitate the effective analysis of information obtained, including that from its incident reporting systems. 8.5 Recommendation.— The database systems should use standardized formats to facilitate data exchange. Note 1.— Guidance material related to the specification for such databases will be provided by ICAO upon request from States. Note 2.— States are encouraged to foster regional arrangements, as appropriate, when implementing 8.4. yang diartikan sebagai berikut : (Chapter 8) PASAL 8. TINDAKAN PENCEGAHAN KECELAKAAN Catatan — Tujuan dan spesifikasi ini adalah untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan melalui analisis data kecelakaan dan peristiwa dan dengan pertukaran informasi yang tepat waktu. Sistem Pelaporan Peristiwa 8.1 Negara harus menetapkan sistem pelaporan peristiwa yang wajib untuk memudahkan pengumpulan informasi mengenai kekurangan keselamatan yang actual atau yang potensial. 8.2 Rekomendasi — Negara harus menetapkam sistem pelaporan peristiwa sukarela untuk memudahkan pengumpulan informasi yang mungkin tidak tertangkap oleh sistem pelaporan peristiwa yang wajib 8.3 Sistem pelaporan peristiwa yang sukarela tiak boleh mengandung ancaman hukuman dan memberi perlindungan kepada sumber-sumber informasi. Catatan I — Suasana tanpa ancaman hukuman sangat penting bagi pelaporan sukarela. Catatan II—Negara dianjurkan untuk memudahkan dan meningkatkan pelaporan sukarela mengenai peristiwa-peristiwa yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan dengan menyesuaikan undang-undang, peraturan dan kebijakan yang berlaku, sebagaimana perlu. Sistem Database 8.4 Rekomendasi - Negara harus menetapkan suatu database kecelakaan dan peristiwa untuk memudahkan analisis yang efektif dari informasi yang diperoleh, termasuk informasi dan sistem pelaporan peristiwa. 8.5 Rekomendasi — Sistem database harus menggunakan format baku untuk memudahkan pertukaran data. Catatan I — Bahan pembimbing yang terkait dengan spesifikasi untuk database demikian akan disediakan oleh ICAO atas permintaan dari Negara-Negara. Catatan 2 — Negara-negara dianjurkan untuk memperkuat pengaturan regional, sebagaimana patutnya, apabila melaksanakan paragraph 8.4. Sesuai dengan undang-undang no 1 tahun 2009 tentang penerbangan, yang tercantum pada bab XIII mengenai keselamatan penerbangan dijelaskan pada pasal 309 bahwa salah satu program keselamatan penerbangan nasional harus memuat tentang sistem pelaporan keselamatan penerbangan. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan Sistem pelaporan keselamatan penerbangan adalah tata cara dan prosedur pengumpulan data dan laporan yang bersifat laporan wajib, sukarela, dan/atau bersifat terbatas (confidential mandatory/voluntary reporting systems). Sesuai dengan UU no 1 tahun 2009 tentang penerbangan, pasal 321 setiap personel penerbangan yang mengetahui terjadinya penyimpangan atau ketidaksesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan wajib melaporkan kepada Menteri. Personel penerbangan yang melaporkan kejadian dimaksud akan diberi perlindungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan personel penerbangan yang melanggar ketentuan mengenai pelaporan tersebut akan dikenakan sanksi administratif. Sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil bagian 830 tentang Pemberitahuan Awal dan Pelaporan Kecelakaan Pesawat, Kejadian atau Pesawat yang Telah Melampaui Batas (overdue) dan Prosedur Kejadian dan Kecelakaan (CASR part 830 Notification and Reporting of Aircraft Accident, Incident, or Overdue Aircraft and Accident Incident Investigation Procedures), pada Subpart B. Initial Notification of Aircraft Accidents, Incidents, And Overdue Aircraft paragraf 830.5 tentang Pemberitahuan Segera (Immediate Notification) dijelaskan bahwa, (a) The operator of any civil aircraft, or any foreign aircraft shall immediately, and by the most expeditious means available, notify the National Transportation Safety Committee (NTSC) and the Directorate General of Air Communications (DGAC) when an aircraft accident occurs. (b) When an aircraft is overdue and is believed to have been involved in an accident, it shall be reported to both NTSC and DGAC. (c) When an aircraft is involved in the following serious incidents, it shall be reported immediately to both NTSC and DGAC. yang diartikan sebagai berikut : (a) Operator dari setiap penerbangan sipil, atau pesawat udara asing harus segera, dan dengan cara yang paling cepat yang tersedia, memberitahukan kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) ketika kecelakaan pesawat terjadi. (b) Ketika sebuah pesawat jatuh tempo dan diyakini telah terlibat dalam kecelakaan, ini harus dilaporkan kepada KNKT dan Ditjen Hubud. (c) Ketika sebuah pesawat terlibat dalam insiden serius, maka harus segera dilaporkan kepada kedua NTSC dan Ditjen Hubud. Pada Subpart D. Reporting of Aircraft Accidents, Incidents, And Overdue Aircraft paragraf 830.15 mengenai pelaporan dan pernyataan yang harus diisi (Reports and Statements to be Filed), dijelaskan bahwa (a) Reports The operator of an aircraft as specified in Paragraph 830.5, shall file a report on NTSC and DGAC Forms within 10 days after an accident, serious incident, or after 7 days if an overdue aircraft is still missing. A report on an incident for which immediate notification is required by Paragraph 830.5(d) shall be filed on DGAC form. (b) Crewmember statement Each crewmember, if physically able at the time the report is submitted, shall attach a statement setting forth the facts, conditions, and circumstances relating to the accident or incident as they appear to him. If the crewmember is incapacitated, he shall submit the statement as soon as he is physically able. (c) Where to file the reports The operator of an aircraft shall file accident and incident report with the offices of the NTSC and DGAC respectively. Note: Forms are available from the NTSC and the DGAC offices. yang diartikan sebagai berikut : (a) Laporan Operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat 830,5, wajib mengajukan laporan pada form KNKT dan Ditjen Hubud dalam waktu 10 hari setelah kecelakaan, kejadian serius, atau setelah 7 hari jika sebuah pesawat jatuh tempo masih hilang. Sebuah laporan mengenai insiden dimana pemberitahuan segera diperlukan menurut Ayat 830,5 (d) harus diajukan pada formulir Ditjen Hubud. (b) pernyataan awak Setiap anggota kru, jika secara fisik mampu melaporan pada saat kejadian, harus melampirkan sebuah pernyataan yang menetapkan fakta, kondisi, dan situasi yang berhubungan dengan kecelakaan atau kejadian seperti yang dialaminya. Jika anggota kru tersebut tidak mampu, ia harus menyerahkan pernyataan itu segera setelah ia secara fisik mampu. (c) Lokasi file laporan Operator pesawat udara wajib mengajukan laporan kecelakaan dan insiden ke kantor KNKT dan Ditjen Hubud. Catatan: Formulir tersedia dari KNKT dan kantor Ditjen Hubud.

SERIOUS INCIDENT DAN ACCIDENT PENERBANGAN

Sesuai dengan CASR 830 Subpart E Accident/Incident Investigation Procedures, pada 830.23 tentang tanggung jawab dari KNKT, dijelaskan bahwa KNKT adalah suatu organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan suatu investigasi keselamatan atas terjadinya suatu serious incident dan accident penerbangan yang terjadi di wilayah Indonesia. KNKT juga bertanggung jawab untuk melaksanakan investigasi keselamatan jika terdapat serious incident dan accident penerbangan yang terjadi diluar wilayah Indonesia jika lokasi terjadinya tidak berada di dalam wilayah suatu negara lain, seperti pada wilayah perairan internasional. Menurut Annex 13, yang dimaksud kejadian serius/serious incident adalah peristiwa yang melibatkan keadaan sekitar sehingga hampir terjadi kecelakaan. Contoh-contoh tipikal dan peristiwa peristiwa yang masuk ke dalam kategori serious incident adalah sebagai berikut, a. Tabrakan yang hampir terjadi yang mengharuskan manuver menghindar untuk menghindari tabrakan atau situasi yang tidak aman atau bila tindakan menghindar merupakan tindakan yang tepat. b. Penerbangan terkendali ke suatu daerah yang terhindar secara marginal. c. Pembatalan tinggal landas dari landas pacu yang tertutup atau dipakai. d. Tinggal landas dari landas pacu yang tertutup atau dipakai menggunakan separasi secara marginal dengan obstacle. e. Pendaratan atau upaya mendarat pada landas pacu yang tertutup atau dipakai. f. Kegagalan yang kentara untuk mencapai kinerja yang diperkirakan selama tinggal landas atau initial climb. g. Kebakaran dan asap di ruang penumpang, diruang kargo atau kebakaran mesin, meski kebakaran itu dipadamkan dengan menggunakan alat pemadam kebakaran. h. Peristiwa yang mengharuskan penggunaan masker oksigen secara darurat oleh awak pesawat i. Kegagalan struktur pesawat atau terpisahnya mesin (disintegration) yang tidak digolongkan sebagai kecelakaan. j. Beberapa malfungsi dari satu sistem pesawat terbang alau lebih yang secara serius mempengaruhi operasi pesawat. k. Ketidakmampuan awak pesawat selama penerbangan. l. Jumlah bahan bakar mengharuskan pernyataan keadaan darurat oleh pilot. m. Peristiwa tinggal landas atau pendaratan, seperti undershooting, overrunning atau melenceng keluar landasan. n. Kegagalan sistem, fenomena cuaca, operasi diluar ketentuan penerbangan yang diijinkan atau kejadian lain yang dapat menimbulkan kesulitan dalam mengendalikan pesawat. o. Kegagalan lebih dari satu sistem dalam sistem yang berlebihan sehingga harus meminta panduan terbang dan navigasi. Menurut CASR 830, yang masuk kedalam kategori serious incident adalah sebagai berikut, a. Malfungsi atau kegagalan dari sistem kendali pesawat. b. Ketidak mampuan dari beberapa kru penerbangan yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya secara normal yang diakibatkan dari sakit atau terluka. c. Penerbangan yang menimbulkan kerusakan properti. d. Untuk pesawat berbadan besar (berat maksimum tinggal landasnya/maximum takeoff weight lebih dari 12,500 pounds); i. Kegagalan sistem kelistrikan pesawat selama penerbangan yang mana membutuhkan penggunaaan emergency bus yang didukung oleh sumber cadangan lain secara berkelanjutan seperti baterai, unit daya tambahan (auxiliary power unit), atau air driven generator untuk mempertahankan kendali pesawat atau instrumen penting lainnya ii. Kegagalan sistem hydraulic selama penerbangan yang menyebabkan ketergantungan secara berkelanjutan terhadap sistem hydraulic atau sistem mekanik yang masih tersedia untuk pergerakan dari flight control surface. iii. Kehilangan tenaga atau daya dorong secara berkelanjutan yang dihasilkan oleh dua engine atau lebih. iv. Evakuasi dari pesawat yang menggunakan sistem jalan keluar darurat. e. Tabrakan yang hampir terjadi yang mengharuskan manuver menghindar untuk menghindari tabrakan atau situasi yang tidak aman atau bila tindakan menghindar merupakan tindakan yang tepat. f. Penerbangan terkendali ke suatu daerah yang terhindar secara marginal. g. Pembatalan tinggal landas dari landas pacu yang tertutup atau dipakai. h. Tinggal landas dari landas pacu yang tertutup atau dipakai menggunakan separasi secara marginal dengan obstacle. i. Pendaratan atau upaya mendarat pada landas pacu yang tertutup atau dipakai. j. Kegagalan yang kentara untuk mencapai kinerja yang diperkirakan selama tinggal landas atau initial climb. k. Kebakaran dan asap di ruang penumpang, diruang kargo atau kebakaran mesin, meski kebakaran itu dipadamkan dengan menggunakan alat pemadam kebakaran. l. Peristiwa yang mengharuskan penggunaan masker oksigen secara darurat oleh awak pesawat. m. Kegagalan struktur pesawat atau terpisahnya mesin (disintegration) yang tidak digolongkan sebagai kecelakaan. n. Beberapa malfungsi dari satu sistem pesawat terbang alau lebih yang secara serius mempengaruhi operasi pesawat. o. Jumlah bahan bakar mengharuskan pernyataan keadaan darurat oleh pilot. p. Peristiwa tinggal landas atau pendaratan, seperti undershooting, overrunning atau melenceng keluar landasan. q. Kegagalan sistem, fenomena cuaca, operasi diluar ketentuan penerbangan yang diijinkan atau kejadian lain yang dapat menimbulkan kesulitan dalam mengendalikan pesawat. r. Kegagalan lebih dari satu sistem dalam sistem yang berlebihan sehingga harus meminta panduan terbang dan navigasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun 2008, kecelakaan/accident adalah perihal celaka; bencana; kemalangan; kesusahan: mendapat celaka: kejadian (peristiwa) yg menyebabkan orang celaka. Sedangkan menurut UU no 1 tahun 2009, tentang penerbangan, kecelakaan/accident (transportasi udara) adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan: a. kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan; dan/atau b. korban jiwa atau luka serius. Menurut ICAO Annex 13, Aircraft Accident and Incident Investigation dan CASR 830, kecelakaan/accident (transportasi udara) adalah suatu kejadian yang terkait dengan pengoperasian pesawat terbang yang terjadi antara waktu seseorang menaiki pesawat terbang dengan niat terbang sampai dengan manakala semua orang tersebut telah turun dari pesawat, di mana: a. Seorang luka secara fatal atau parah akibat: i. Berada dalam pesawat terbang, atau ii. Langsung bersentuhan dengan bagian dari pesawat terbang termasuk bagian-bagian yang terlepas dari pesawat terbang, atau iii. Langsung terkena hembusan jet. Kecuali bila luka itu timbul dari sebab-sebab alami, dilakukan sendiri atau dilakukan oleh orang-orang lain, atau bila luka itu terjadi kepada penumpang gelap yang bersembunyi di luar ruang yang biasanya tersedia bagi penumpang dan awak pesawat, atau b. Pesawat terbang mengalami kerusakan atau kegagal struktur yang mana; i. Mengurangi kekuatan struktur kinerja atau karakteristik penerbangan dari pesawat terbang, dan ii. Biasanya membutuhkan reparasi besar atau penggantian komponen yang rusak. Kecuali kegagalan atau kerusakan mesin, bila kerusakan terbatas pada mesin, cowlings atau asesorisnya; atau kerusakan itu terbatas pada propeller, wing tips, atenna, ban, rem, fairing, penyokan kecil atau lubang di kulit pesawat terbang. c. Pesawat terbang itu hilang atau sama sekali tidak dapat di akses.

Selasa, 30 Agustus 2011

STUDI HUKUM PIDANA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN YANG MELIBATKAN PROFESI PEMANDU LALU LINTAS UDARA

Umum
Konvensi internasional negara-negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO) di Tokyo pada tahun 1963 melakukan pembahasan terkait “offences and certain other acts on board aircraft” atau pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara. Konvensi kemudian dilanjutkan di Hague pada tahun 1970 untuk membahas hal-hal yang terkait dengan “suppresion of unlawful seizure of aircraft”11 atau pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, hingga pada akhirnya konvensi di Montreal pada tahun 1971 kembali membahas mengenai “suppresion of unlawful act againts the safety of civil aviation” atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberantasan tindakan-tindakan melawan hukum yang mengancam keamanan penerbangan sipil. Disepakati bahwa negara-negara anggota memiliki kewajibkan untuk turut serta dalam pencegahan atas tindakan-tindakan yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan sipil secara global serta membentuk ketentuan atau aturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan substansi dari konvensi tersebut.
Pemerintah Republik Indonesia selaku anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971 menyusun serta menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana / Prasarana Penerbangan yang berlaku pada tanggal 26 April 1976 serta menambahkan sebuah bab baru setelah Bab XXIX dalam KUHP dengan Bab XXX yang dengan terperinci mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan. Dengan adanya penambahan dalam KUHP tersebut menimbulkan suatu istilah baru dalam pengertian suatu delik pidana, yaitu tindak pidana penerbangan, dimana “setiap perbuatan yang memenuhi rumusan pasal yang termuat dalam Bab XXX atau Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 479 huruf r KUHP tersebut dinyatakan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan”.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi tindak pidana menjadi dua jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Delik-delik yang termasuk kejahatan dimuat dalam Buku II dan yang termasuk pelanggaran dimuat dalam Buku III, akan tetapi dalam KUHP tidak disebutkan kriteria yang digunakan dalam membedakan antara kedua jenis delik tindak pidana tersebut. Terdapat beberapa pendapat dalam membedakan kedua jenis delik tersebut, yakni secara kualitatif dan secara kuantitatif. Secara kualitatif, kedua delik tersebut dibedakan menjadi rechtdelicten dan wetsdelicten. Yang dimaksud dengan rechtdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, namun yang menjadi tolak ukur adalah apakah perbuatan tersebut oleh masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu kejahatan. Sedangkan yang disebut dengan wetsdelicten adalah apabila suatu perbuatan yang oleh suatu aturanperundang- undangan dinyatakan sebagai suatu delik yang diancam dengan pidana, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai pelanggaran.
Sudarto memiliki pandangan terkait dengan pembedaan secara kualitatif tersebut, dimana beliau menyatakan bahwa: “perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan”
Pendapat kedua, yang membedakan antara kedua jenis delik tersebut secara kuantitatif, “hanya dengan meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, yaitu pelanggaran merupakan perbuatan yang lebih ringan daripada kejahatan”15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 yang memuat tentang kejahatan dalam penerbangan dan sarana / prasarana penerbangan dalam KUHP menunjukkan dengan tegas dalam pasal-pasalnya bahwa tindak pidana penerbangan termasuk dalam jenis kejahatan, terlebih lagi karena dimuat dalam buku II KUHP.

Ketentuan pidana dalam regulasi penerbangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penerbangan, juga memberikan ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana. Ketentuan pidana ini diberlakukan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan dalam undang-undang ini disamping sanksi administratif yang juga berlaku dan ditentukan dalam undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab XXII, yang terdiri dari empat puluh dua pasal yang secara umum menekankan bentuk-bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan selain dari tindak pidana penerbangan yang telah diatur dalam Bab XXX KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-undang ini tidak mencabut ketentuan-ketentuan pidana lain diluar dari regulasi ini.
Menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan adalah meskipun ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang ini diberlakukan bagi setiap orang, sesuai dengan rumusan pasal yang ada, namun terdapat pengecualian dalam pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penerbangan. Hal ini diatur dalam Pasal 411 ayat (1) yang menentukan dengan tegas bahwa tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh orang yang bertindak, baik untuk dan/atau atas nama perusahaan ataupun untuk kepentingan dari perusahaannya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan perusahaan tersebut, baik secara sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada perusahaan ataupun pengurusnya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa undang-undang penerbangan ini memiliki karakteristik yang khusus serta cakupan yang luas, karena tindak pidana penerbangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana penerbangan juga memiliki beberapa kekhususan yang bersifat menyimpang dari ketentuan umum KUHP. Penyimpangan terhadap ketentuan umum dalam KUHP dapat terlihat pada subyek delik yang dimana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dimungkinkan pemidanaan terhadap badan hukum, yang dalam KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subyek delik. Akan tetapi, undang-undang tentang penerbangan ini bukanlah sebagai hukum pidana khusus, karena sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang ini ditempatkan sebagai daya paksa untuk melaksanakan aturan-aturan administratif.
Terkait dengan penyidikan atas tindak pidana penerbangan, undang-undang ini menentukan bahwa yang bertindak selaku penyidik atas setiap bentuk tindak pidana penerbangan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang instansinya berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawab dalam bidang penerbangan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 399 ayat (1). Akan tetapi, penyidik yang ditunjuk tersebut tetap melakukan koordinasi dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri serta meminta bantuan dari Polri untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap tindak pidana penerbangan yang terjadi. Ketentuan tersebut didasarkan karena penyidikan terhadap tindak pidana penerbangan memerlukan suatu keahlian khusus dalam bidang penerbangan sehingga perlu adanya penyidik khusus untuk melakukan penyidikan disamping penyidik Polri.

Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak pidana

Kecelakaan pesawat udara secara umum selalu dihubungkan dengan tiga faktor penyebab, yaitu faktor kesalahan manusia (human error), faktor pesawat terbang (machine), dan faktor lain seperti cuaca, dll.
Menurut statistik, faktor kesalahan manusia mempunyai andil paling besar, disusul faktor pesawat terbang dan yang terakhir faktor cuaca. Ketiga faktor penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus.
Kesalahan manusia yang dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan telah diminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan rutin dan berkala bagi para personel penerbangan, khususnya bagi para personel yang berkaitan langsung dengan aktivitas rutin penerbangan. Pemeriksaan secara berkala tersebut merupakan suatu kewajiban bagi setiap personel penerbangan yang telah memiliki sertifikat kecakapan ataupun lisensi sesuai dengan bidangnya masing-masing, hal tersebut lebih dipertegas dalam Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Tujuan dari pemeriksaan secara berkala atas personel penerbangan tersebut adalah agar dapat diketahui secara pasti terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kinerja dari setiap personel sehingga dapat dihindari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan suatu misi penerbangan.
Dilakukannya pemeriksaan secara berkala dan rutin terhadap personel penerbangan menjadi suatu tolak ukur ataupun standarisasi bahwa suatu penerbangan bukanlah bidang yang biasa-biasa saja, melainkan dibutuhkan suatu keseriusan dan ketelitian dalam segala aspek yang berkaitan, sehingga apabila dilakukan suatu pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan secara khusus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran tersebut dapat berakibat pada timbulnya kecelakaan yang fatal.
Hukum pidana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat dalam Bab XXX KUHP, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah memberikan Pengaturan secara khusus hal-hal yang terkait dengan penerbangan.
Terkait dengan kecelakaan sebuah pesawat udara, dalam ketentuan aturan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur dengan tegas bahwa suatu perbuatan, baik dengan unsur sengaja, melawan hukum, ataupun karena kealpaan yang dapat menyebabkan suatu pesawat udara celaka (incident), hancur serta tidak dapat dipakai atau rusak (accident), merupakan sebuah peristiwa pidana.
Patut untuk dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia (human factor) sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara aspek pidana kepada pelaku tindak pidana tersebut. Agar dapat dibuktikannya, maka dibutuhkan suatu penyelidikan secara komprehensif yang dilakukan oleh Kepolisian selaku penyelidik atas suatu peristiwa yang memiliki indikasi pidana serta menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam ketentuan pidana, baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP.

Final Resume

Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian masyarakat luas dan dalam beberapa kasus diduga merupakan tindakan melanggar hukum. Namun penuntutan pidana terhadap Pemandu Lalu Lintas Udara terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang berpandangan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pemandu Lalu Lintas Udara di Indonesia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun aturan ini dimungkinkan dapat bertentangan dengan ketentuan dalam Annex 13 International Civil Aviation Organization yang menyatakan bahwa tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang karena terdapat faktor kesengajaan dan/atau kelalaian.
Dimana penerapan peraturan perundang-undangan nasional selain ketentuan dalam regulasi penerbangan internasional yaitu KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bukanlah sebagai bentuk pengesampingan dari adagium lex specialis derogate legi generalis, akan tetapi sebagai suatu langkah guna tercapainya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.

Rabu, 20 Juli 2011

Expected Approach Time

When several aircraft are arriving at the same airport within a short period of time, the controller has to arrange for a proper sequence of the traffic, since they cannot not all land at the same time.
For that purpose he may use radar vectors to the final approach course to establish a mileage interval between aircraft and keep a safe spacing on final.

However, when using procedural control (see, things are a little bit different in the sense that the spacing between aircraft will considerable be increased..... )
The controller may have to deal with traffic reaching the IAF at the same time or almost and of course can't have them starting the approach procedure all together. In addition, according to the type of procedure and to local rules, it happens that no aircraft can leave the IAF and start an approach procedure until the preceeding aircraft has landed.

Then the controller will have to keep some of the arrivals into the holding pattern(s) and give regulation times. That is times they may leave the holding pattern again.
The first one will start the procedure directly and the other ones will stay into the holding pattern(s) until they are authorized to leave it. These regulation times are called EAT (Expected Approach Time), representing the time at which ATC expects to be able to give a clearance to an aircraft to leave the IAF and start the instrument approach procedure.

When given an EAT, the pilot is responsible for managing the holding pattern so that he/she overflies the IAF at the given time. He may shorten the published legs of the pattern (say 30 seconds outbound/ inbound legs instead of the published 1 minute for instance).

If the EAT has changed by 5 minutes or more, ATC must advise the pilots ASAP!

A Pilot who experience a radio failure, should leave the Holding as close as possibel to the last received EAT.

In certain countries, the fact of assigning a time to leave the holding to start a apporach is called TIMED APPROACHES procedure.

Example :

Say, the average time between IAF and runway is 7 mins for the types of aircraft involved, and no aircraft can leave the IAF until the preceeding has landed. Say the IAF altitude is 3000 ft.
Given the following aircraft : A expecting IAF at 10:12, B expecting it at 10:14 and C at 10:17.
According to the above, 2 of them will have to wait a little bit before proceeding beyond the IAF.
A is cleared as soon as arriving and leaves the IAF at, say, 10:13 and then should land at 10:20.
Keep B in the holding at 4000 ft and give EAT 10:20. When C arrives, keep it at 5000 ft and give EAT 10:27.
B will have to wait for 6 mins and C for 10 mins.
If the pilots comply with the given times, B will reach the IAF when A has landed and will be authorized for the approach.
Make sure to have B at 3000 ft over the IAF, then give 4000 ft to C as soon as 4000 ft are released by B.
7 mins later, it should be OK for C too.
This is why it is important the pilots respect the given times. If B reaches the IAF 2 minutes late, then C will have to be given a new EAT at 10:22. If other aircraft are to come behind, such delays may involve their holding to be quite long.

This is a simple case. Things may be much more complicated if the types of aircraft are really different (small turboprops and 4-engine commercial jets for instance). The timed approaches procedure / EAT assignments have to be adapted to each airfield. Some guidelines may be indicated on divisions websites.

Normally, the rule is first at IAF, first to land. However, the controller may have to make some tactical choices like authorizing the second arriving aircraft first if this can improve the approach sequence.

Selasa, 17 Mei 2011

Kode Etik

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.
Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik engineer, dokter, guru, pustakawan, pengacara dan lain-lain.
Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh pengadilan, karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Persatuan Insinyur Indonesia terdapat Kode Etik Insinyur Indonesia. Bila seorang insinyur dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Insinyur Indonesia, bukannya oleh pengadilan.
Sifat kode etik profesional
Kode etik adalah pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan (yang membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi.
Sifat dan orientasi kode etik hendaknya singkat; sederhana, jelas dan konsisten; masuk akal, dapat diterima, praktis dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan lengkap; dan positif dalam formulasinya. Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada rekan, profesi, badan, nasabah/pemakai, negara dan masyarakat. Kode etik diciptakan untuk manfaat masyarakat dan bersifat di atas sifat ketamakan penghasilan, kekuasaan dan status. Etika yang berhubungan dengan nasabah hendaknya jelas menyatakan kesetiaan pada badan yang mempekerjakan profesional.
Kode etik digawai sebagai bimbingan praktisi. Namun demikian hendaknya diungkapkan sedemikian rupa sehingga publik dapat memahami isi kode etik tersebut. Dengan demikian masyarakat memahami fungsi kemasyarakatan dari profesi tersebut. Juga sifat utama profesi perlu disusun terlebih dahulu sebelum membuat kode etik. Kode etik hendaknya cocok untuk kerja keras. Sebuah kode etik menunjukkan penerimaan profesi atas tanggung jawab dan kepercayaan masyarakat yang telah memberikannya.

Mengapa diperlukan pendidikan etika profesi?

Kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
Dalam rangka menjunjung tinggi integritas, kehormatan dan martabat profesi sesuai dengan kode etik profesi menurut ABET terdapat 4(empat) prinsip dasar (fundamental principles) yang harus dilakukan diantaranya:
1. Using their knowledge and skill for the enhancement of human welfare;
(Menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia)
2. Being honest and impartial, and serving with fidelity the public, their employers and clients;
(Bersikap jujur dan tidak memihak, serta melayani masyarakat, pegawai dan kliennya dengan setia)
3. Striving to increase the competence and prestige of the engineering profession;
(Berusaha untuk meningkatkan kompetensi dan gengsi profesi keteknikan)
4. Supporting the professional and technical societies of their disciplines.
(Mendukung organisasi profesional dan teknis dari disiplin yang telah disepakati)
Pilar utama yang menjadi penyangga kode etik:
1. Etika kemanfaatan umum (utilitarianism ethics), yaitu setiap langkah/tindakan yang menghasilkan kemanfaatan terbesar bagi kepentingan umum haruslah dipilih dan dijadikan motivasi utama;
2. Etika kewajiban (duty ethics), yaitu setiap sistem harus mengakomodasikan hal-hal yang wajib untuk diindahkan tanpa harus mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin bisa timbul, berupa nilai moral umum yang harus ditaati seperti jangan berbohong, jangan mencuri, harus jujur, dan sebagainya. Semua nilai moral ini jelas akan selalu benar dan wajib untuk dilaksanakan, sekalipun akhirnya tidak akan menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri;
3. Etika kebenaran (right ethics), yaitu suatu pandangan yang tetap menganggap salah terhadap segala macam tindakan yang melanggar nilai-nilai dasar moralitas. Sebagai contoh tindakan plagiat ataupun pembajakan hak cipta/karya orang lain, apapun alasannya akan tetap dianggap salah karena melanggar nilai dan etika akademis;
4. Etika keunggulan/kebaikan (virtue ethics), yaitu suatu cara pandang untuk membedakan tindakan yang baik dan salah dengan melihat dari karakteristik (perilaku) dasar orang yang melakukannya. Suatu tindakan yang baik/benar umumnya akan keluar dari orang yang memiliki karakter yang baik pula. Penekanan disini diletakkan pada moral perilaku individu, bukannya pada kebenaran tindakan yang dilakukannya; dan
5. Etika sadar lingkungan (environmental ethics), yaitu suatu etika yang berkembang di pertengahan abad 20 ini yang mengajak masyarakat untuk berpikir dan bertindak dengan konsep masyarakat modern yang sensitif dengan kondisi lingkungannya. Pengertian etika lingkungan disini tidak lagi dibatasi ruang lingkup penerapannya merujuk pada nilai-nilai moral untuk kemanusiaan saja, tetapi diperluas dengan melibatkan “natural resources” lain yang juga perlu dilindungi, dijaga dan dirawat seperti flora, fauna maupun obyek tidak bernyawa (in-animate) sekalipun.
Dengan adanya kode etik profesi, maka akan ada semacam aturan yang bisa dijadikan “guideline” untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Disamping itu kode etik profesi ini juga bisa dipakai untuk membangun “image” dan menjaga integritas maupun reputasi profesi, serta memberikan gambaran tentang keterkaitan hubungan antara pemberi dengan pengguna jasa keprofesian.

Sabtu, 07 Mei 2011

TANTANGAN & PROSPEK PENDIDIKAN DIPLOMA DI ERA NEW ECONOMY

1. Pendahuluan

Sektor Pendidikan Nasional memasuki perkembangan baru setelah Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) berlaku efektif terhitung tanggal 8 Juli 2003. Dalam prosesnya UU-SPN ini telah mendapat sorotan dari masyarakat luas dan para pelaku di sektor pendidikan. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Namun demikian, berlakunya UU-SPN yang baru ini telah menjadi tonggak sejarah perkembangan Sistem Pendidikan Nasional dimasa depan yang penuh tantangan.
Perkembangan beberapa besaran makro ekonomi nasional sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda membaik, walaupun sebagian pengamat berpendapat bahwa perbaikan ekonomi kita seharusnya masih bisa lebih dipercepat lagi. Menyongsong diberlakukannya ekonomi pasar bebas dimana kompetisi dan globalisasi menjadi ciri utama, maka tuntutan tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dengan daya saing tinggi menjadi suatu keharusan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih diperlukan berbagai usaha dan kerja keras untuk meningkatkan kualitas SDM, khususnya tenaga kerja yang mampu bersaing secara regional maupun internasional.
Angka pengangguran secara perlahan namun pasti terus merayap naik mencapai, termasuk yang berstatus setengah penganggur. Hal ini semakin menjadi tantangan dalam menyiapkan tenaga kerja terdidik dan berkeahlian. Dalam kondisi seperti ini sudah seharusnya jajaran pelaku Pendidikan Nasional terus melanjutkan pengembangan SDM nasional secara terpadu dan terarah.
Program Pendidikan Diploma menjadi semakin penting mengingat kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang semakin ditentukan oleh beberapa faktor, terutama yang bertumpu kepada kemampuan atau berbasis kompetensi dalam menjawab berbagai tantangan dalam tatanan ekonomi baru. Tatanan ekonomi baru ditandai antara lain dengan terjadinya transformasi ekonomi industri kepada suatu bentuk ekonomi baru yang didukung oleh telekomunikasi, teknologi informasi (IT), dan jaringan multimedia yang semakin pintar.
Dalam situasi seperti inilah akan makin terasa pentingnya keahlian yang dimiliki oleh SDM serta semakin pentingnya peranan mereka dalam memanfaatkan berbagai momentum ekonomi yang bisa datang secara mendadak dan tidak sempat diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya. Beberapa negara yang juga tergolong developing countries seperti India, China dan Phillipines telah memetik hasil dan lebih inovatif memanfaatkan fenomena new economy untuk kemajuan bangsanya.

2. Sekilas Kondisi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Walaupun belum mempunyai sejarah yang cukup panjang, sektor Pendidikan Tinggi di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan. Sejarah pendidikan tinggi dimulai dengan hanya dua universitas yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta yang berdiri pada tahun 1949 dan Universitas Indonesia di Jakarta pada tahun 1950. Sekarang hampir setiap ibukota provinsi telah mempunyai perguruan tinggi baik swasta maupun negeri dengan berbagai jurusan dan jenjang pendidikan mulai dari Program Diploma hingga Program Doktoral.
Selanjutnya guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja, telah di kembangkan pula jalur pendidikan Diploma II dan Diploma III di 19 sekolah politeknik kerekayasaan dan tata niaga serta 6 sekolah politeknik pertanian. Sistem sekolah politeknik dibangun untuk menampung 23 ribu mahasiswa, yang maksimal dapat menghasilkan 7.300 lulusan di bidang rekayasa, tata niaga dan pertanian.
Berikut ini adalah kutipan dari misi Sistem Pendidikan Tinggi untuk jenjang diploma dan S-1 yang telah disesuaikan dengan wawasan masa depan hingga 2018. Yaitu menyelenggarakan fungsi kelembagaan pendidikan tinggi untuk “Menghasilkan anggota masyarakat yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak tinggi, berbudaya Indonesia, bersemangat ilmiah, serta memiliki kemampuan akademik dan suatu profesional dan sanggup berkinerja baik di lingkungan kerjanya, serta mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengembangkan kemampuan diri terhadap tuntutan kemajuan di bidangnya, dan berperan dalam pemeliharaan dan operasi proses produksi, bagi lulusan jenjang Diploma dan S-1. “
Sayangnya, mencermati perkembangan pendidikan diploma akhir-akhir ini dan berdasarkan penelitian di berbagai instansi terkait ternyata belum terlihat adanya rencana pengembangan jenjang pendidikan diploma menyeluruh atau komprehensif baik yang ada di PTN, PTS, maupun di berbagai Politeknik. Hal ini tercermin dengan dikelompokkannya program pendidikan diploma kedalam kelompok vokasional.


3. Memahami Paradigma New Economy

Banyak sekali jargon yang dilekatkan kepada new economy. New economy dikenal dengan banyak istilah seperti digital economy, information economy, knowledge economy, cyber economy, internet economy, network economy dan lain sebagainya. Information and Communication Technology (ICT) telah menjadi faktor pemicu utama timbulnya fenomena new economy. ICT dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah telematika.
Berbagai kemajuan di bidang telematika telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan ekonomi suatu bangsa, selanjutnya kualitas hidup manusia. Sebagai suatu bentuk konvergensi dari teknologi informasi, telekomunikasi, dan multimedia, ternyata telematika telah menciptakan berbagai peluang dalam pembangunan ekonomi sekaligus tantangan.
Beberapa ciri utama new economy seperti diuraikan oleh Don Tapscott dalam Digital Economy (1996) meliputi: (1) knowledge based; (2) digital; (3) molecular; (4) virtual; (5) networking; (6) immediacy; (7) disintermediation; (8) globalization; (9) innovation based; (10) discordance; (11) prosumption; dan (12) converging industry.
Jika ditinjau dari sisi ilmu ekonomi, maka perbedaan mendasar antara new economy atau lebih dikenal dengan economics of information dengan “old” economy atau economics of things terletak pada 5 hal prinsip seperti dijabarkan oleh Phillip Evans dan T.S. Wurster (2000). Perbedaan tersebut adalah (1) jika mereplikasi sesuatu produk dalam ekonomi konvensional memerlukan ongkos cukup besar, maka informasi dapat direplikasi dengan ongkos mendekati nihil; (2) sesuatu itu akan cepat aus, sementara informasi tidak; (3) sesuatu harus eksis atau ada di suatu tempat tertentu untuk dilihat dan diperdagangkan, tetapi informasi bisa datang dari mana saja; (4) ekonomi konvensional memiliki sifat diminishing return, tetapi ekonomi di era informasi tidak memilikinya; dan (5) sesuatu produk akan konsisten untuk pasar yang sempurna, sementara ekonomi informasi tidak memerlukan pasar yang sempurna (perfect market).
Dengan demikian kehadiran new economy di era globalisasi dan kompetisi ini pada gilirannya juga akan merubah struktur berbagai industri.

4. Tantangan dan Prospek Program Diploma dalam Mengisi Pasar Tenaga Kerja di Era New Economy

Struktur ekspor Indonesia hingga saat terjadinya krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1997 masih saja mengandalkan produk-produk bernilai tambah rendah dari industri padat karya. Sedangkan pada saat yang sama China, India, Phillipines bahkan Vietnam telah beranjak kepada produk IT dan produk lain yang bernilai tambah tinggi. Negara-negara tersebut telah mempersiapkan langkah-langkah yang telah disesuaikan dengan paradigma ekonomi baru seperti diuraikan pada Bagian 3. Akibatnya tenaga kerja Indonesia menjadi tidak murah lagi dibandingkan dengan tenaga kerja yang dimiliki negara lain yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih baik. Hal ini menjadi tantangan utama di era ekonomi baru.
Tantangan berikutnya adalah berlakunya AFTA maupun WTO pada saat kita masih belum pulih dari krisis ekonomi. Hal ini diperkirakan menjadi tantangan yang tidak mudah karena produsen tidak harus berlokasi di Indonesia. Untuk jenis produk dan proses pemasaran yang telah mampu memanfaatkan telematika, maka mereka akan mencari negara dengan tingkat keamanan yang lebih baik dan risk yang lebih rendah. Industri tidak lagi bertumpu kepada murahnya tenaga kerja. Sementara kita masih cenderung hanya menjadi pasar.
Dalam 20 tahun kedepan diperkirakan struktur perekonomian Indonesia akan didominasi oleh sektor jasa, mencapai sekitar 48 % . Sementara itu pengelolaan suatu jenis jasa dan industri sudah tidak lagi bertumpu kepada satu mata rantai produksi. Maka menjadi tantangan pula untuk mengisi lapangan kerja di sektor industri yang mengutamakan berbagai kegiatan outsourcing yang semakin banyak.
Sementara itu diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, tidak pelak lagi semakin membuka akses partisipasi ekonomi ke daerah. Kekurangan SDM di daerah pada umumnya akan dapat diisi oleh SDM yang sudah berpengalaman dan mempunyai kompetensi baik disuatu daerah yang sama atau dari daerah lain.
Penetrasi tenaga kerja dari satu wilayah ke wilayah lain akan sangat ditentukan oleh skill yg sudah dimiliki. Hal ini hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang sudah terasah pengalaman prakteknya. Dengan kata lain, peluang SDM berkeahlian yang bisa disediakan oleh pendidikan program diploma semakin besar.
Semakin gencarnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bisa dijawab antara lain melalui perilaku clean government dan clean corporate governance yang menekankan kepada perbaikan mutu pelayanan publik. Hal ini salah satunya dapat diwujudkan dengan mempraktekannya melalui kebijakan e-government.
Program e-government yang bertumpu kepada kegiatan di bidang telematika kembali membutuhkan tenaga terampil mulai dari menyiapkan sistem, database atau pun hanya sekedar membuat dan mengupdate suatu situs web atau website. Dengan kata lain, tenaga kerja yang dibutuhkan nanti akan bertambah secara lebih signifikan dari kelompok program diploma.
Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan di atas, serta memperhatikan pula keseimbangan pasokan tenaga kerja, maka prospek SDM program Diploma memasuki pasar kerja cukup besar.
Hal ini didukung oleh berbagai fakta dan kenyataan yang ada selama ini yang telah diberikan oleh program Diploma, meliputi: (1) waktu study yang relatif lebih pendek; (2)flexibilitas lamanya study yang dipilih bisa disesuaikan dengan preference mahasiswa masing-masing; (3) Gaji awal yang tidak terlalu besar sehingga memudahkan untuk masuk pasar kerja (kompetitif); dan (4) mutu lulusan selama in tidak kalah bersaing karena kebanyakan mahasiswa program diploma memang terlatih, terampil dan banyak dari lulusan SMU yang memang relatif lebih baik dibanding yang dari kejuruan.

5. Kesimpulan dan Saran

Memperhatikan kondisi pendidikan diploma yang ada selama ini, peluang yang dijanjikan di era new economy, serta tantangan dan prospek yang ada di berbagai sektor industri dan jasa, dapat dikatakan bahwa pendidikan program diploma telah menjadi pengisi gap tenaga kerja terampil dan berkompeten di bursa tenaga kerja.
Namun demikian untuk lebih meningkatkan partisipasi lulusan program diploma dalam pasar dan bursa kerja nasional, regional maupun internasional ada beberapa langkah yang sebaiknya diperhatikan oleh perguruan tinggi penyelenggara maupun oleh pemerintah. Hal itu adalah: (1) perlunya didirikan lembaga pemerintah sebagai pusat pengembangan industri terkait, lembaga regional sebagai pusat pengembangan industri di daerah, dan lembaga pemeriksa dan testing; (2) perlu pula didorong pendirian beberapa instansi yang menjadi inisiatif swasta tetapi didukung pemerintah seperti pusat promosi small medium industry, dan pusat teknologi informasi industri; serta (3) pendirian berbagai asosiasi terkait dengan kompetensi lulusan program diploma, pusat R/D untuk industri spesifik, pusat analisis produktivas; (4) perlu terus dicarikan cara untuk medudukkan pendidikan program diploma ke tempat yang lebih tepat dan benar dalam kerangka SPN. Kelihatannya para dosen yang mengabdikan diri di program diploma harus lebih banyak berkomunikasi dan saling tukar pengalaman kerja antar sesama penyelenggara program diploma. Perlu kiranya dibentuk Forum Pengelola Pendidikan Program Diploma yang dapat menyampaikan masukan dari berbagai lapisan masysarakat kepada pembuat keputusan dan regulator pendidikan tinggi di Indonesia.
Diharapkan dengan kerjasama antara komponen pemerintah, masyarakat pelaku industri serta masyarakat pengguna jasa, maka diharapkan kontribusi lulusan program diploma yang dapat masuk pasar tenaga kerja di era reformasi akan menjadi lebih besar serta semakin bermutu.

PUSTAKA
1. Ditjen Dikti, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1995-2005, dapat juga di down load di http://www.dikti.org/kpptjp/kpptjp.html
2. Saunders, et.all. Telecommunication and Economic Development. John Hopkins Univeristy Press, Baltimore, 1994
3. Hornik, R. "Communications as Complement in Development". Journal of Communications, Vol. 30. No.2, Spring 1990.
4. Wellenius, B. Telecommunications, World Bank Experience and Strategy. Washington, 1994
5. Gore, Al. Plugged into the world's knowledge, Financial Times, September 19th, 1992.
6. Tapscott, Don, Digital Economy 1996, New York, USA
7. Evans, Phillip and T.S Wurster, Blown to Bits, 2000, HBSP

Jumat, 15 April 2011

Pelayanan Bandar Udara

Kegiatan pelayanan operasi Bandar Udara memiliki karakteristik tersendiri, baik dilihat dari segi pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa kebandarudaraan maupun dalam hal penanganan operasionalnya. Hal ini diantaranya disebabkan karena begitu beragamnya jenis pelayanan yang diberikan serta banyaknya pihak yang terkait dalam proses penanganannya. Kegagalan atau keterlambatan dalam memberikan pelayanan dalam pelaksanaan kegiatan operasi bandara secara langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan terganggunya kelancaran operasi penerbangan.
Namun demikian, walaupun kegiatan operasi bandara sangat kompleks, faktor keselamatan dan keamanan penerbangan serta kepuasan pelanggan harus tetap menjadi prioritas pertama. Standarisasi pelayanan operasi bandara pada dasarnya dibuat untuk dijadikan pedoman pelaksanaan tugas bagi para pelaksana agar kualitas pelayanan yang diberikan dapat memenuhi standar yang telah ditentukan, sekaligus memenuhi aspek aviation safety & security,kelancaran operasional dan optimalisasi penggunaan sumber daya.
Operation management concept, yaitu konsep yang diterapkan dalam manajemen operasi yaitu keterpaduan pola tindak dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan lalu lintas udara dan pelayanan operasi bandara yang mendukung adanya peningkatan kinerja operasional secara keseluruhan guna meningkatkan aspek aviation safety & security dan kualitas pelayanan serta aspek komersial melalui optimalisasi penggunaan sumber daya.
Airport operation philosophy, pelaksanaan kegiatan pelayanan operasi bandara memiliki prinsip dasar yang harus dilaksanakan, yaitu berorientasi kepada keamanan, keselamatan dan kelancaran operasi penerbangan namun dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan dan aspek komersial.
Airport service performance, kualitas pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa bandara memiliki persyaratan khusus yang pada intinya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para penumpang pesawat udara. Persyaratan khusus tersebut sebagai tolok ukur pelayanan (quality of service control) yang memiliki batasan-batasan dengan nilai yang telah disepakati, misalnya : proses check-in penumpang maksimum 2,5 menit, jumlah trolley yang tersedia minimal 60% dari jumlah penumpang, suhu udara didalam terminal antara 23-27 derajat celcius, dan lain-lain.
Ramp operation, kegiatan ramp operation meliputi pelayanan terhadap pesawat udara selama berada di ramp (apron), termasuk menyiapkan fasilitas untuk loading-unloading penumpang, bagasi, kargo dan barang-barang pos dari dan ke pesawat udara. Kegiatan tersebut dilakukan sebelum pesawat udara tiba, setelah berada di apron dan pada saat pesawat udara melakukan persiapan lepas landas. Dalam melaksanakan kegiatan pesawat di ramp, ada kegiatan yang dapat dilakukan secara terpisah/ tidak tergantung satu sama lainnya. Tetapi ada juga kegiatan yang berhubungan satu sama lainnya atau kegiatan yang harus dilakukan secara berurutan (in sequence). Kegiatan ini tidak dapat dilaksanakan bersama-sama , sebelum kegiatan yang satu dikerjakan maka kegiatan yang lain belum dapat dilakukan.
Selain itu terdapat sistem informasi operasi penerbangan yang merupakan rangkaian sistem pelayanan kepada para pengguna jasa bandara dalam hal pemberian informasi penerbangan, baik melalui media elektronik,media cetak maupun langsung berhubungan dengan petugas informasi dan penerangan umum.

Potret Training & Man Powering Issue Penerbangan Indonesia

Umum

Undang - Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pada Bab IX mengatur tentang Sumber Daya Manusia. Tersurat dengan jelas bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap penetapan kebijakan penyediaan dan pengembangan SDM di bidang penerbangan (angkutan udara, kebandarudaraan, navigasi penerbangan, keselamatan penerbangan dan keamanan penerbangan) dari mulai perencanaan, pendidikan dan pelatihan, perluasan kesempatan kerja dan pengawasan pemantauan serta evaluasi untuk mewujudkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 juga mengatur bahwa dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang pekerjaannya. Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan kepada peserta didik yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.

Perkembangan Penerbangan di Indonesia

Peningkatan permintaan atau kebutuhan (demand) terhadap moda transportasi udara belum seiring dengan peningkatan penyediaan (supply) jasa transportasi udara secara menyeluruh. Peningkatan taraf ekonomi dan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan fungsi waktu mempengaruhi pola transportasi masyarakat pada negara kepulauan tercinta ini kepada transportasi udara yang lebih efisien.

Makin menggeliatnya bandara-bandara di daerah-daerah berkembang, meningkatnya jumlah dan rute operasi serta jumlah pesawat menyebabkan tuntutan kebutuhan sumber daya manusia yang berkompeten makin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pemerintah dituntut untuk segera dapat memenuhi kebutuhan tersebut untuk tetap menjaga tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pendidikan dan pelatihan merupakan pintu awal yang harus dilalui oleh sumber daya manusia yang akan berkecimpung dalam dunia penerbangan untuk mendapatkan kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya, kebijakan yang tepat di bidang pengembangan sumber daya manusia terutama untuk pendidikan dan pelatihan merupakan kunci utama suksesnya penyediaan sumber daya manusia yang berkompeten.

Prediksi perkembangan ke depan berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam beberapa puluh tahun ke depan, perkembangan positif tetap akan terjadi di dunia penerbangan, yang artinya akan semakin meningkat baik dari sisi capital/asset maupun dari sisi operasionalnya. Pertumbuhan jumlah penumpang, pesawat, rute penerbangan, bandar udara dan lain-lain yang berimplikasi pada penambahan jumlah sumber daya manusia berkompetensi pada bidang masing-masing.

Kesiapan sumber daya manusia di tingkat daerah juga perlu dipersiapkan dalam rangka antisipasi perkembangan penerbangan. Sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah menuntut pemerintah harus dapat memberikan ilmu pengetahuan terkini tentang peraturan penerbangan menyangkut operasional penerbangan berkaitan dengan keselamatan penerbangan agar kebijakan pemerintah daerah dapat sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat terutama di bidang transportasi udara.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang melimpahkan urusan transportasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menuntut tersedianya SDM berkompeten di bidang penerbangan di tiap-tiap propinsi atau kabupaten/kota yang mengelola atau di dalamnya terdapat pengelolaan transportasi udara. Namun dalam pembinaan SDM teknis masih merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang harus membina dan memenuhi kompetensi teknis SDM di tiap-tiap daerah.

Pendidikan dan Pelatihan Penerbangan

Merupakan tugas tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan SDM penerbangan yang berkompetensi dan profesional di bidangnya untuk melaksanakan tugas teknis operasional dalam rangka mewujudkan transportasi udara yang aman, nyaman, teratur dan berkesinambungan.

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan merupakan institusi dibawah Kementerian Perhubungan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyediakan SDM berkompetensi tersebut.

Sampai dengan saat ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan dan Unit Pelaksana Teknis bersinkronisasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah menjadi institusi pencetak dan pengembang SDM penerbangan yang mensuplai kebutuhan tenaga teknis penerbangan untuk pihak Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melalui program-program diklat yang dilaksanakan.

Matrik Permasalahan Pendidikan dan Pelatihan di bidang Penerbangan

No.

Permasalahan

Uraian

Rencana Aksi

Tindak Lanjut

1.

Kompetensi Awal (Input)

Kompetensi awal bisa dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dengan kompetensi sejenis;

Perlunya kajian tentang program pendidikan yang sudah bisa diselenggarakan oleh masyarakat;

Sinergi program diklat awal yang kompetensinya sudah bisa diselenggarakan masyarakat;

2.

Kompetensi Teknis Penerbangan dan SKP

SKP bisa diperoleh apabila sudah mengikuti program pendidikan pelatihan teknis (sertifikat kompetensi) serta lulus uji kompetensi;

BPSDM Perhubungan dan UPT seharusnya lebih fokus kepada pendidikan dan pelatihan teknis;

Pengembangan program pendidikan dan pelatihan kompetensi;

3.

Pola Diklat

Sekarang pola yang digunakan untuk diklat awal adalah pendidikan diploma, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan pendidikan non diploma/short course;

Perlunya kajian tentang kemungkinan pola pendidikan non diploma untuk kompetensi awal yang belum bisa diselenggarakan masyarakat (CASR memfasilitasi untuk pola non diploma dengan memperhatikan input kompetensi awal);

Perombakan pola diklat dari program diploma menjadi non diploma/short course untuk efisiensi;

4.

Pola Pembiayaan

Tidak diketahui secara pasti komponen biaya diklat secara rinci sehingga banyak komponen pembiayaan diklat yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk diklat yang beroutput ke masyarakat (swasta);

Penghitungan ulang komponen biaya diklat dan tinjauan output diklat dan telaah terhadap output diklat;

Pembuatan Standar Biaya Khusus (SBK) Diklat yang komprehensif serta pemberhentian subsidi pemerintah untuk program diklat yang beroutput ke masyarakat;

5.

Ineficiency

Perlu tetap dipertahankan penyelenggaraan diklat penerbang untuk fungsi control namun tidak efisiennya biaya diklat yang ada mengurangi daya saing dengan diklat masyarakat terutama untuk pendidikan penerbang;

Perlunya studi komparasi dan penghitungan yang jelas terhadap komponen biaya diklat penerbang yang berdaya saing;

Penyesuaian biaya diklat penerbang (pilot) yang efisien dan berdaya saing;

6.

Pengguna lulusan

Output diklat penerbangan yang dibiayai pemerintah seharusnya bermuara (output) untuk mensuplai kebutuhan pemerintah namun banyak diklat yang bermuara kepada swasta;

Pendataan penyerapan lulusan diklat untuk mengetahui daya serap dan target pasar;

Masukan untuk perencanaan diklat pada tahun-tahun mendatang kepada Direktorat Jenderal dan Pemerintah;

7.

Partisipasi Swasta

Pihak swasta (perguruan tinggi dan lembaga diklat swasta) banyak yang sudah mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pada kompetensi penerbangan; (sesuai UU No. 1 Tahun 2009 ttg Penerbangan dimungkinkan)

Pemilahan pendidikan dan pelatihan yang sudah bisa dilaksanakan masyarakat, market share dan rencana pembinaan serta pengawasan;

Pengambilan sikap atas beberapa jenis kompetensi yang sudah bisa dilaksanakan oleh masyarakat sehingga tidak kelebihan kuota (misal: penutupan/penghentian pelaksanaan pendidikan yang kompetensinya sudah bisa diselenggarakan oleh masyarakat;


Demand vs. Supply SDM Penerbangan (Link and Match)

Tuntutan pemenuhan sumber daya manusia berkompetensi yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penerbangan dihadapkan dengan kapasitas lembaga pendidikan dan pelatihan. Di sisi lain tuntutan SDM penerbangan berkompeten di lapangan sesuai amanah UU No. 1 tentang Penerbangan dihadapkan dengan permasalahan kepegawaian. Hal tersebut menuntut kebijakan baru di bidang pendidikan dan pelatihan penerbangan.

Berdasarkan evaluasi dan pemantauan yang dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan serta data-data empiris, mengindikasikan beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan berencana membuat kebijakan terkait dengan perbaikan, efisiensi dan efektifitas dalam dunia pendidikan dan pelatihan penerbangan merespon perkembangan terkini di bidang penerbangan.

Pertumbuhan dunia penerbangan yang begitu dinamis menuntut pemenuhan SDM yang real time untuk menangani operasional penerbangan di Indonesia. Program penyediaan SDM berkompetensi melalui pendidikan dan pelatihan dituntut untuk bisa link and match dengan kebutuhan saat ini, sehingga perlu dikaji apakah program pendidikan yang dilaksanakan saat ini akan menjawab kebutuhan lapangan pada saat ini atau atau paling tidak untuk jangka pendek, karena kebutuhan SDM beberapa tahun mendatang akan sangat mungkin berbeda dengan kebijakan yang saat ini diterapkan apabila tidak diserta dengan research and development yang berkesinambungan.

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengungkapkan data bahwa terdapat kekurangan SDM yang berkompeten di berbagai bidang kerja di penerbangan baik yang ditangani Pemerintah (PNS) maupun swasta (non-PNS). Hal ini menuntut BPSDM Perhubungan untuk dapat menentukan langkah-langkah strategis terkait dengan strategi perencanaan dan pengembangan SDM penerbangan dalam memenuhi tuntutan tersebut.

Analisa terhadap kebutuhan kompetensi lapangan saat ini terkait dengan banyaknya kompetensi baru yang dibutuhkan dan jurusan pendidikan yang sudah tidak signifikan untuk diselenggarakan juga perlu dilakukan untuk menghindari tidak terserapnya lulusan pada jurusan tertentu yang pada saat ini terjadi (match), sehingga perlu diadakan pemetaan kompetensi, kebutuhannya dan selanjutnya dibuatkan rencana program pendidikan yang sesuai dan sesuai kebutuhan pada masa mendatang.

Perombakan dan perubahan paradigma mungkin akan muncul sebagai implikasi dari hasil perubahan kebijakan yang terjadi, namun hal tersebut paling tepat untuk diambil dalam rangka efisiensi dan efektifitas di bidang pendidikan dan pelatihan khususnya perhubungan udara menjawab tuntutan pemenuhan SDM di masa mendatang.

Capital vs. Outcomes

Pemerintah memberikan modal atau sumber daya kepada institusi pendidikan dan pelatihan dalam hal ini Pusdiklat Perhubungan Udara dan UPT dalam hal penyiapan dan pemenuhan kebutuhan SDM berkompetensi di bidang penerbangan agar operasional penerbangan di Indonesia dapat tertangani dengan baik oleh SDM yang berkompeten di bidangnya, yang pada muara akhirnya adalah keselamatan dapat terjaga pada tingkatan yang diinginkan oleh pemerintah.

Tingkat keselamatan penerbangan yang intangible serta sistem perencanaan pemerintah yang cenderung tidak memperhitungkan Break Event Ratio seringkali membuat kita terlena akan investasi (capital) yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dibandingkan dengan manfaat (outcomes) yang dapat diterima sehingga seringkali arah pengembangan pendidikan dan pelatihan cenderung meningkatkan capital namun tidak diserta dengan evaluasi yang komprehensif terhadap manfaat (outcomes) yang dihasilkan. Outcomes bukanlah hanya gambaran kuantitas atau jumlah gap yang sudah terpenuhi namun lebih kepada target akhir berupa kinerja atau performance yang ada dilapangan sebagai hasil dari pendidikan dan pelatihan dalam rangka menunjang dan mempertahankan keselamatan penerbangan.

Perkembangan teknologi di bidang penerbangan memang tidak bisa dipungkiri menuntut sistem pendidikan dan pelatihan yang lebih canggih sehingga lulusan diklat dapat lebih cepat untuk beradaptasi dengan kondisi nyata di lapangan, dalam hal ini pengembangan sarana dan prasarana diklat seperti kurikulum yang up-to date serta penggunaan simulator sangat diperlukan. Namun tentunya perlu kajian yang lebih komprehensif disesuaikan dengan kondisi faktor terkait lainnya untuk hasil yang lebih optimal. Contoh kasus adalah apabila mengadakan satu alat simulator maka perlu dipertimbangkan tingkat penggunaan (utilitas) SDM instruktur yang berkompeten serta SDM dan program perawatan yang reliable, sehingga alat tersebut benar-benar dapat berguna proses belajar mengajar dibandingkan dengan sistem konvensional berdasarkan evaluasi dan studi komparasi yang harus dilakukan secara periodik.

Pembiayaan yang dikucurkan oleh pemerintah untuk pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan (subsidi) juga perlu dikaji efisiensi penggunaannya terkait dengan output dan outcomes yang dihasilkan. Pengguna lulusan UPT diklat Penerbangan adalah pihak Pemerintah (Direktorat Jenderal Perhubungan Udara) dan pihak swasta (BUMN, Perusahaan Penerbangan, Perusahaan Ground Handling, dll), terkait dengan pengguna lulusan subsidi pemerintah adalah lebih tepat digunakan untuk para peserta pendidikan dan pelatihan yang penempatannya pada pemerintah atau dengan kata lain investasi kembali kepada investor , namun pada saat ini kenyataan yang terjadi adalah pemerintah juga mensubsidi program pendidikan yang outputnya adalah kepada pihak swasta.

Mekanisme serah terima (transfer) memang ada dan dilakukan namun dalam kenyataannya investasi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pengembalian yang diterima oleh pihak pemerintah akibat tidak bisa terperincinya komponen biaya diklat secara mendetail sehingga ada komponen-komponen biaya diklat masih melekat pada komponen biaya lain yang harus ditanggung oleh pemerintah dan perlu penghitungan dan pemilahan lebih lanjut, semisal komponen biaya listrik, air, perawatan, penyusutan, dan biaya lainnya.

Peran masyarakat dan pihak lain

Tujuan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan oleh pemerintah adalah untuk memenuhi kebutuhan SDM berkompetensi di dunia penerbangan selama belum dapat dipenuhi atau diselenggarakan oleh masyarakat. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut andil dalam penyediaan SDM penerbangan berkompetensi melalui pendidikan dan pelatihan baik formal maupun informal. Perkembangan saat ini banyak bermunculan dari masyarakat yang ingin dan mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan baik formal maupun non formal, sebagai contoh adalah universitas yang membuka jurusan di bidang penerbangan, lembaga pendidikan dan pelatihan yang mendidik penerbang/pilot, teknik pesawat udara, ground handling, aviation security, dll. yang saat ini bermunculan.

Kajian terhadap kompetensi yang sudah bisa dilaksanakan oleh swasta/masyarakat perlu dilakukan secara akademis dan yuridis sebagai penentu kebijakan selanjutnya. Penyediaan SDM berkompetensi yang sudah bisa dilakukan oleh pihak swasta tentunya tetap dalam pengawasan dan kendali pemerintah, sehingga untuk kompetensi tertentu yang tetap memerlukan campur tangan pemerintah maka perlu dikaji market share yang ada.

Kajian akademis adalah sejauh mana muatan kurikulum pendidikan pada diklat formal dan non formal yang diselenggarakan oleh pihak swasta dapat memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan baik secara nasional maupun internasional, sehingga dapat diketahui kekurangan dan langkah pemenuhan selanjutnya.

Kajian yuridis atau hukum adalah sejauh mana dimungkinkan dalam aturan baik nasional maupun internasional suatu kompetensi pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh masyarakat dapat disesuaikan atau disetarakan.