Selasa, 30 Agustus 2011

STUDI HUKUM PIDANA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN YANG MELIBATKAN PROFESI PEMANDU LALU LINTAS UDARA

Umum
Konvensi internasional negara-negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO) di Tokyo pada tahun 1963 melakukan pembahasan terkait “offences and certain other acts on board aircraft” atau pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara. Konvensi kemudian dilanjutkan di Hague pada tahun 1970 untuk membahas hal-hal yang terkait dengan “suppresion of unlawful seizure of aircraft”11 atau pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, hingga pada akhirnya konvensi di Montreal pada tahun 1971 kembali membahas mengenai “suppresion of unlawful act againts the safety of civil aviation” atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberantasan tindakan-tindakan melawan hukum yang mengancam keamanan penerbangan sipil. Disepakati bahwa negara-negara anggota memiliki kewajibkan untuk turut serta dalam pencegahan atas tindakan-tindakan yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan sipil secara global serta membentuk ketentuan atau aturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan substansi dari konvensi tersebut.
Pemerintah Republik Indonesia selaku anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971 menyusun serta menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana / Prasarana Penerbangan yang berlaku pada tanggal 26 April 1976 serta menambahkan sebuah bab baru setelah Bab XXIX dalam KUHP dengan Bab XXX yang dengan terperinci mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan. Dengan adanya penambahan dalam KUHP tersebut menimbulkan suatu istilah baru dalam pengertian suatu delik pidana, yaitu tindak pidana penerbangan, dimana “setiap perbuatan yang memenuhi rumusan pasal yang termuat dalam Bab XXX atau Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 479 huruf r KUHP tersebut dinyatakan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan”.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi tindak pidana menjadi dua jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Delik-delik yang termasuk kejahatan dimuat dalam Buku II dan yang termasuk pelanggaran dimuat dalam Buku III, akan tetapi dalam KUHP tidak disebutkan kriteria yang digunakan dalam membedakan antara kedua jenis delik tindak pidana tersebut. Terdapat beberapa pendapat dalam membedakan kedua jenis delik tersebut, yakni secara kualitatif dan secara kuantitatif. Secara kualitatif, kedua delik tersebut dibedakan menjadi rechtdelicten dan wetsdelicten. Yang dimaksud dengan rechtdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, namun yang menjadi tolak ukur adalah apakah perbuatan tersebut oleh masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu kejahatan. Sedangkan yang disebut dengan wetsdelicten adalah apabila suatu perbuatan yang oleh suatu aturanperundang- undangan dinyatakan sebagai suatu delik yang diancam dengan pidana, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai pelanggaran.
Sudarto memiliki pandangan terkait dengan pembedaan secara kualitatif tersebut, dimana beliau menyatakan bahwa: “perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan”
Pendapat kedua, yang membedakan antara kedua jenis delik tersebut secara kuantitatif, “hanya dengan meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, yaitu pelanggaran merupakan perbuatan yang lebih ringan daripada kejahatan”15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 yang memuat tentang kejahatan dalam penerbangan dan sarana / prasarana penerbangan dalam KUHP menunjukkan dengan tegas dalam pasal-pasalnya bahwa tindak pidana penerbangan termasuk dalam jenis kejahatan, terlebih lagi karena dimuat dalam buku II KUHP.

Ketentuan pidana dalam regulasi penerbangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penerbangan, juga memberikan ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana. Ketentuan pidana ini diberlakukan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan dalam undang-undang ini disamping sanksi administratif yang juga berlaku dan ditentukan dalam undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab XXII, yang terdiri dari empat puluh dua pasal yang secara umum menekankan bentuk-bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan selain dari tindak pidana penerbangan yang telah diatur dalam Bab XXX KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-undang ini tidak mencabut ketentuan-ketentuan pidana lain diluar dari regulasi ini.
Menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan adalah meskipun ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang ini diberlakukan bagi setiap orang, sesuai dengan rumusan pasal yang ada, namun terdapat pengecualian dalam pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penerbangan. Hal ini diatur dalam Pasal 411 ayat (1) yang menentukan dengan tegas bahwa tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh orang yang bertindak, baik untuk dan/atau atas nama perusahaan ataupun untuk kepentingan dari perusahaannya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan perusahaan tersebut, baik secara sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada perusahaan ataupun pengurusnya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa undang-undang penerbangan ini memiliki karakteristik yang khusus serta cakupan yang luas, karena tindak pidana penerbangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana penerbangan juga memiliki beberapa kekhususan yang bersifat menyimpang dari ketentuan umum KUHP. Penyimpangan terhadap ketentuan umum dalam KUHP dapat terlihat pada subyek delik yang dimana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dimungkinkan pemidanaan terhadap badan hukum, yang dalam KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subyek delik. Akan tetapi, undang-undang tentang penerbangan ini bukanlah sebagai hukum pidana khusus, karena sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang ini ditempatkan sebagai daya paksa untuk melaksanakan aturan-aturan administratif.
Terkait dengan penyidikan atas tindak pidana penerbangan, undang-undang ini menentukan bahwa yang bertindak selaku penyidik atas setiap bentuk tindak pidana penerbangan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang instansinya berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawab dalam bidang penerbangan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 399 ayat (1). Akan tetapi, penyidik yang ditunjuk tersebut tetap melakukan koordinasi dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri serta meminta bantuan dari Polri untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap tindak pidana penerbangan yang terjadi. Ketentuan tersebut didasarkan karena penyidikan terhadap tindak pidana penerbangan memerlukan suatu keahlian khusus dalam bidang penerbangan sehingga perlu adanya penyidik khusus untuk melakukan penyidikan disamping penyidik Polri.

Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak pidana

Kecelakaan pesawat udara secara umum selalu dihubungkan dengan tiga faktor penyebab, yaitu faktor kesalahan manusia (human error), faktor pesawat terbang (machine), dan faktor lain seperti cuaca, dll.
Menurut statistik, faktor kesalahan manusia mempunyai andil paling besar, disusul faktor pesawat terbang dan yang terakhir faktor cuaca. Ketiga faktor penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus.
Kesalahan manusia yang dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan telah diminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan rutin dan berkala bagi para personel penerbangan, khususnya bagi para personel yang berkaitan langsung dengan aktivitas rutin penerbangan. Pemeriksaan secara berkala tersebut merupakan suatu kewajiban bagi setiap personel penerbangan yang telah memiliki sertifikat kecakapan ataupun lisensi sesuai dengan bidangnya masing-masing, hal tersebut lebih dipertegas dalam Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Tujuan dari pemeriksaan secara berkala atas personel penerbangan tersebut adalah agar dapat diketahui secara pasti terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kinerja dari setiap personel sehingga dapat dihindari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan suatu misi penerbangan.
Dilakukannya pemeriksaan secara berkala dan rutin terhadap personel penerbangan menjadi suatu tolak ukur ataupun standarisasi bahwa suatu penerbangan bukanlah bidang yang biasa-biasa saja, melainkan dibutuhkan suatu keseriusan dan ketelitian dalam segala aspek yang berkaitan, sehingga apabila dilakukan suatu pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan secara khusus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran tersebut dapat berakibat pada timbulnya kecelakaan yang fatal.
Hukum pidana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat dalam Bab XXX KUHP, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah memberikan Pengaturan secara khusus hal-hal yang terkait dengan penerbangan.
Terkait dengan kecelakaan sebuah pesawat udara, dalam ketentuan aturan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur dengan tegas bahwa suatu perbuatan, baik dengan unsur sengaja, melawan hukum, ataupun karena kealpaan yang dapat menyebabkan suatu pesawat udara celaka (incident), hancur serta tidak dapat dipakai atau rusak (accident), merupakan sebuah peristiwa pidana.
Patut untuk dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia (human factor) sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara aspek pidana kepada pelaku tindak pidana tersebut. Agar dapat dibuktikannya, maka dibutuhkan suatu penyelidikan secara komprehensif yang dilakukan oleh Kepolisian selaku penyelidik atas suatu peristiwa yang memiliki indikasi pidana serta menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam ketentuan pidana, baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP.

Final Resume

Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian masyarakat luas dan dalam beberapa kasus diduga merupakan tindakan melanggar hukum. Namun penuntutan pidana terhadap Pemandu Lalu Lintas Udara terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang berpandangan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pemandu Lalu Lintas Udara di Indonesia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun aturan ini dimungkinkan dapat bertentangan dengan ketentuan dalam Annex 13 International Civil Aviation Organization yang menyatakan bahwa tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang karena terdapat faktor kesengajaan dan/atau kelalaian.
Dimana penerapan peraturan perundang-undangan nasional selain ketentuan dalam regulasi penerbangan internasional yaitu KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bukanlah sebagai bentuk pengesampingan dari adagium lex specialis derogate legi generalis, akan tetapi sebagai suatu langkah guna tercapainya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.