Senin, 29 Desember 2008

Kebijakan Pelayanan Jasa Penerbangan Internasional

Pembangunan sektor transportasi diarahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional yang handal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara efektif dan efesien dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa, mendukung pola distribusi nasional serta mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan hubungan internasional yang lebih memantapkan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara. Jaringan transportasi dapat dibentuk oleh moda transportasi yang terlibat. Masing-masing moda transportasi memiliki karakteristik teknis yang berbeda dan pemanfaatannya disesuaikan dengan kondisi geografis daerah layanan. Moda transportasi udara mempunyai karakteristik kecepatan yang tinggi dan dapat melakukan penetrasi sampai keseluruh wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh moda transportasi lain. Perkembangan industri angkutan udara nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah yang ada sebagai suatu negara kepulauan. Oleh karena itu, Angkutan udara mempunyai peranan penting dalam memperkokoh kehidupan berpolitik, pengembangan ekonomi, sosial budaya dan keamanan & pertahanan. Merupakan bagian dari subsistem transportasi udara, kebijakan umum angkutan udara diarahkan untuk mewujudkan terselenggaranya angkutan udara secara selamat, aman, cepat, efisien, teratur, nyaman, dan mampu berperan dalam rangka menunjang dan mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya.
Pada era tahun 1945 – 1970 kegiatan penerbangan internasional oleh perusahaan nasional hanya dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik negara yaitu PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara. Pemerintah menerapkan kebijakan penunjukkan perusahaan penerbangan (designeted airlines) yang bersifat tunggal (single designated) dimana PT. Garuda Indonesia ditunjuk untuk melayani penerbangan internasional jarak jauh (long haul) sedangkan PT. Merpati Nusantara untuk jarak dekat (regional flight).
Kebijakan prinsip dasar dalam pelaksanaan perjanjian udara relatif tidak mengalami perubahan sampai sekarang masih menganut prinsip resiprocal (timbal balik) dan cabotage (perusahaan penerbangan asing tidak dapat melakukan penerbangan domestik di wilayah Indonesia). Pada era tersebut pengaturan kapasitas pada penerbangan internasional kurang fleksibel.
Untuk pengaturan tarif masih bersifat proteksi dengan kebijakan tarif double approval, dimana perusahaan angkutan udara yang ditunjuk dari Indonesia dan negara mitra melakukan kesepakatan tarif sesuai dengan kebijakan IATA dan selanjutnya kesepakatan tarif tersebut harus mendapat persetujuan dari pejabat penerbangan sipil kedua negara tersebut. Dimana tanpa adanya kesepakatan, tariff tersebut tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh kedua perusahaan penerbangan yang telah ditunjuk.
Sedangkan sejak era 1990 sampai dengan era 1999 perkembangan dunia penerbangan mengalami sedikit perubahan pada kebijakan penunjukkan perusahaan angkutan udara menjadi multi designated airline. Perubahan kebijakan ini memberi peluang swasta berpartisipasi dalam mengembangkan industri angkutan udara nasional.
Adapun kebijakan pelaksanaan rute untuk penerbangan long houl adalah PT. Garuda Indonesia sedangkan untuk rute regional untuk PT. Merpati Nusantara dan perusahaan swasta lainnya, untuk pengaturan kapasitas telah mengalami perubahan dari yang bersifat protektif menjadi cukup fleksibel.
Mulai era tahun 1999 sampai 2005, banyak terjadi peristiwa buruk yang menimpa dunia dan juga Indonesia sebagai contoh peristiwa pemboman WTC pada tanggal 9/11/2001 dan pada tahun 2002 terjadi kejadian pemboman Bali I serta peristiwa Bom Bali II pada tahun 2005, peristiwa – peristiwa tersebut cukup mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan ke arah penurunan permintaan. Hal tersebut, mendorong pemerintah untuk melakukan pengetatan peraturan terkait dengan keselamatan dan keamanan penerbangan. Disamping itu, Pemerintah juga melakukan kebijakan relaksasi dan perubahan kebijakan angkutan udara dimana pengaturan rute lebih mendorong swasta untuk dapat lebih berperan dalam melakukan penerbangan internasional. Rute relatif dibuka dan lebih bebas sepanjang masih terdapat right (hak angkut) yang belum digunakan. Penentuan kapasitas hak angkut lebih fleksible didasarkan atas jumlah tempat duduk. Sedangkan pada masalah tarif kebijakan, mekanisme tarif yang diterapkan yaitu Double Disapproval (dimana tarif dapat ditetapkan meskipun hanya satu negara anggota yang menyetujui) dalam rangka meningkatkan pariwisata dan perdagangan.
Kebijakan Angkutan Udara Dalam Negeri :
Kebijakan angkutan dalam negeri diarahkan sebagai berikut :
a. Rute penerbangan dalam negeri dapat menghubungkan dan menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia yang terdiri dari rute utama, rute pengumpan dan rute perintis.
b. Memperhatikan aspek pemerataan pelayanan di seluruh wilayah, dengan menerapkan prinsip subsidi silang (keseimbangan rute) yaitu perusahaan penerbangan selain menerbangi rute sangat padat dan padat juga menerbangi rute kurang padat dan tidak padat
c. Menerapkan Multi Airlines System dimana satu rute penerbangan dilayani lebih dari satu perusahaan penerbangan untuk menciptakan iklim usaha yang berkompetisi secara sehat dan kondusif
d. Memperhatikan keterpaduan antar rute penerbangan dalam negeri atau rute penerbangan dalam negeri dengan rute penerbangan luar negeri
e. Mendukung iklim usaha terhadap Pemegang Ijin usaha kegiatan angkutan udara niaga dan bukan niaga, pada situasi tertentu, untuk dapat melayani rute – rute tertentu yang tidak dilayani oleh angkutan udara niaga berjadwal guna mendukung iklim usaha yang kondusif dan kegiatan penduduk setempat.
Kebijakan Angkutan Udara Luar Negeri :
Kebijakan angkutan udara luar negeri secara umum saat ini diarahkan sebagai berikut:
a. Pertukaran hak angkut dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Kebijakan angkutan udara internasional dilakukan secara bertahap dan progresif dengan memperhatikan perkembangan industri angkutan udara regional maupun global, dan tetap memperhatikan kepentingan dan kemampuan perusahaan angkutan udara nasional dalam bersaing di pasar internasional.
b. Liberalisasi hak-hak angkutan udara (traffic rights) dimulai dari kerjasama sub-regional seperti IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle) dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipine-East ASEAN Growth Triangle).
c. Evaluasi dan penerapan rute – rute penerbangan internasional didasarkan atas pertimbangan aspek komersial, politik dan memperhatikan keterkaitannya dengan rute domestik.
d. Memberikan kepastian terhadap perusahaan penerbangan asing dalam melaksanakan penerbangan langsung ke Daerah Tujuan Wisata di Indonesia.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan hak angkut yang dimiliki melalui kerjasama diantara perusahaan angkutan dalam negeri dengan perusahaan angkutan udara asing.
Implementasi dari kebijakan terkait parjanjian bilateral atau multilateral dalam hal perjanjian hubungan udara adalah sebagai berikut :
a. Penetapan rute penerbangan bersifat fleksibel dan berdasarkan letak geografis, bukan market demand. Pengaturan frekuensi dan kapasitas berdasarkan asas resiprositas.
b. Penetapan Penunjukan perusahaan penerbangan (designated airline) diarahkan pada multy designated sistem (dimana semua perusahaan penerbangan nasional mempunyai kesempatan yang sama untuk melayani semua rute penerbangan internacional).
c. Penetapan 27 bandar udara internasional agar perusahaan penerbangan nasional atau asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung.
d. Penunjukan perusahaan angkutan udara berdasarkan kriteria “substancial ownership and effective control” yaitu perusahaan yang dapat ditunjuk sebagai designated airlines Indonesia adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum atau negara Indonesia.
e. Pengaturan kapasitas, frekuensi dan rute angkutan kargo dilakukan secara fleksible. Mendorong kerjasama antar perusahaan penerbangan dalam bentuk joint operation atau bilateral atau third party code sharing.
f. Mekanisme penetapan tarif secara bertahap dan selektif mengarah pada Double Disapproval. Mendorong airlines asing untuk dapat mengembangkan pasar di wilayah Indonesia Timur melalui kerjasama dengan airline nasional; Charter Flights tetap diperlakukan sebagai supplement dari Scheduled Flights;
g. Indonesia telah menandatangani perjanjian angkutan udara dengan 71 negara, salah satu diantaranya berdasarkan pendekatan liberal.

Kebijakan Angkutan Haji :
a. Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia adalah merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Departemen Agama bertindak sebagai koordinator dan pengawas pelaksanaan kegiatan tersebut.
b. Departemen agama menetapkan perusahaan penerbangan dan spesifikasi pesawat yang akan mengangkut jemaah haji dari Indonesia menuju Arab Saudi atau sebaliknya melalui tender terbuka.
c. Departemen Perhubungan mengevaluasi kelaikan pesawat yang telah ditetapkan untuk mengangkut jemaah haji.
d. Pelaksanaan kegiatan penerbangan haji adalah penerbangan charter yang wajib memiliki persetujuan terbang (flight approval) dari Departemen Perhubungan
e. Perusahaan penerbangan yang melayani angkutan haji harus memiliki landing permit dari Presidency of Civil Aviation, Kingdom Saudi Arabia dan “Hajj Control” untuk mendapatkan arrival times dan departure times (slot time) di Bandar Udara King Abdul Azis – Jeddah.
Kebijakan kepengusahaan di bidang angkutan udara
a. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan oleh :
1) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berbentuk Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero)
Badan Usaha Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas; atau,
2) Koperasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b. Persyaratan permohonan izin usaha angkutan udara niaga adalah sebagai berikut:
1) Memiliki akte pendirian perusahaan yang salah satu kegiatannya harus memuat usaha angkutan udara niaga berjadwal dan atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab terhadap pengesahan akte pendirian perusahaan.
2) Layak ditinjau dari aspek ekonomi dan kemampuan secara finansial untuk dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga dengan menyampaikan studi kelayakan yang antara lain memuat aspek sebagai berikut :
a) jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan
b) rute penerbangan, bagi pemohon kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal, rencana daerah operasi bagi pemohon izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
c) aspek pemasaran
d) profile organisasi perusahaan dan sumber daya manusia meliputi teknisi dan awak pesawat udara
e) kesiapan dan kelayakan fasilitas untuk pengoperasian pesawat udara
f) analisis dan evaluasi dari aspek ekonomi dan finansial.
3) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NOMOR POKOK WAJIB PAJAK)
4) Surat keterangan domisili.
c. Untuk dapat beroperasi pemohon wajib memiliki Air Operator Certificate (AOC).
Dalam rangka penanaman modal asing, pemerintah memberikan peluang untuk berusaha dibidang usaha jasa angkutan udara niaga baik berjadwal dan atau tidak berjadwal melalui kerjasama joint venture dengan Badan Hukum Indonesia yang berbetuk Perseroan Terbatas (PT), dimana mayoritas kepemilikan saham berada pada warga negara indonesia dan atau perusahaan Indonesia.
Penyelenggara Bandar Udara Internasional :
Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, jumlah Bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara Internasional di Indonesia terdapat 27 Bandar Udara. andar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri ditetapkan berdasarkan pertimbangan beberapa aspek sebagai berikut :
a. Potensi permintaan penumpang angkutan udara;
b. Potensi kondisi geografis ;
c. Potensi kondisi pariwisata ;
d. Potensi kondisi ekonomi ;
e. Aksesibilitas dengan bandar udara internasional disekitarnya, dan ketentuan intra antar moda.
Pelayanan jasa angkutan udara harus memperhatikan keselamatan, keamanan, kecepatan, kelancaran, ketertiban, keteraturan dan efisiensi dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.”
Masyarakat Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati jasa pelayanan angkutan udara dengan tarif yang dapat terjangkau dan tetap memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.
Dalam hal pengaturan tentang prosedur berlakunya tarif angkutan udara internasional bilateral, hampir semua perjanjian angkutan udara bilateral Indonesia menggunakan sistem “double approval” yaitu suatu tarif yang diajukan oleh kedua perusahaan angkutan udara yang ditunjuk hanya dapat diberlakukan apabila telah disetujui oleh kedua Pemerintah. Namun demikian, Pemerintah secara bertahap dan selektif akan menerapkan sistem ”double dis-approval”.
Dengan tetap dimungkinkan Pemerintah campur tangan dalam pengaturan tarif guna :
Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
a. Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
b. Melindungi konsumen dari pengenaan tarif tinggi yang tidak wajar karena memegang posisi dominan pada suatu pasar.
c. Melindungi perusahaan penerbangan dari penetapan tarif yang rendah oleh perusahaan penerbangan lainnya karena subsidi langsung atau tidak langsung dari Pemerintah.
Pengaturan Tarif di Bidang Jasa Kebandar Udaraan :
a. Tarif pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum ditetapkan berdasarkan pada struktur dan golongan tarif serta dengan memperhatikan :
1) Kepentingan pelayanan umum ;
2) Peningkatan mutu pelayanan jasa ;
3) Kepentingan pemakai jasa ;
4) Penigkatan kelayakan pelayanan ;
5) Pengaturan biaya ; dan
6) Pengembangan Usaha.

b. Penetapan tarif pelayanan jasa kebandarudaraan :
1) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
4) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diusahakan ditetapkan oleh Direksi Badan Usaha Kebandarudaraan setelah dikonsultasikan dengan menteri Perhubungan.

Selasa, 09 Desember 2008

POKOK PIKIRAN PENTING TENTANG PENYEBARAN INFORMASI DAN ASPEK HUKUM DALAM MENDUKUNG INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT UDARA


1. Informasi tentang kecelakaan pesawat udara yang diberitakan oleh media/TV, dan lain-lain.
a. Tujuan.
Memberikan informasi-berita tentang ”aviation accident and incident” yang baru terjadi dalam waktu yang cepat, singkat, tepat, up to date.
b. Informasi/berita diarahkan terutama untuk konsumsi dalam negeri.
c. Pengumpulan berita dilakukan oleh wartawan(²) yang juga bertugas mengumpulkan macam-macam berita lainnya (horizontal dan tidak mendalam secara teknis, sosial/budaya dan hukum).
d. Tidak berkewajiban membahas/mengolah berita dari segi manapun (misalnya hukum, dan lain-lain) berlandaskan ”lex specialis” untuk pers.

2. Tindakan(²) yang dilakukan pihak yustisi, khususnya Kepolisian.
a. Tujuan.
”Accident investigation” merupakan bentuk laporan yang secara teknologis dan berkwalitas tinggi (”high-quality reports”) yang dilakukan melalui jalur proses yang ketat untuk melukiskan, menguraikan fakta-fakta, mengumpulkan bukti-bukti dan membenarkan bukti dengan tujuan menetapkan sebab-musabab dan faktor-faktor kecelakaan. Dalam suatu investigasi kecelakaan judisial (bilamana dilakukan), bukti-bukti dilapangan teknis dan mungkin dari beberapa saksi ahli merupakan kunci dari alat pembuktian utama yang harus digunakan oleh seorang penyidik dan kemudian hakim. Tinggi kwalitas para saksi ahli merupakan arah dan landasan hukum putusan hakim. Adapun tujuan dari suatu investigasi judisial hanya diarahkan menetapkan ”limits of liability” demi memenuhi batas tanggung jawab hukum atau menjatuhkan hukuman pidana kepada seseorang tersangka yang dianggap bersalah dalam kecelakaan tersebut. Misalnya apa yang terjadi di Yogyakarta tampaknya merupakan intervensi dan usaha penuntutan dimana usaha investigasi semata-mata diarahkan kepada siapa yang wajib secara hukum (pidana dan mungkin perdata) dibebani tanggung jawab dalam kecelakaannya tersebut, dan sama sekali mengabaikan pencarian bukti-bukti demi mencegah setidak-tidaknya mengurangi kecelakaan di masa-masa mendatang. Bentuk tersebut dapat dinilai mengarah kepada campur tangan dan dengan melakukan penuntutan agar seluruh tata cara investigasi diarahkan kepada penetapan siapa yang dibebani tanggung jawab pidana akibat kecelakaan, dan sepertinya sama sekali tidak berusaha menemukan bukti-bukti yang dapat/mampu meniadakan kecelakaan terulang di kemudian hari. Bentuk intervensi oleh kepolisian semacam itu sangat problematik, karena dalam setiap kecelakaan pasti ada bentuk kegagalan manusia yang dapat diidentifikasi, apakah karena design pesawat, persiapan manual yang tidak sempurna, pemeliharaan, operasi, pengawasan prosedur atau apa yang dinamakan ”in flight error”

b. Ruang wilayah.
Hukum Pidana Indonesia hanya dapat diberlakukan secara hukum di wilayah Indonesia (wilayah darat, laut, udara dan perairan internasional dengan wilayah udara diatasnya; dapat juga di wilayah-wilayah diplomatik di negara asing), terhadap penduduk Indonesia (”Indonesian citizens”).

c. 1). Yang berhak dan berwenang menyelidik/menyidik antara lain pihak Kepolisian dalam batas waktu singkat (sesuai batas waktu yang diatur UU Acara Pidana – lex specialis).
2). Arah pemeriksaan terutama terhadap seseorang (utama) yang dianggap dapat dijadikan tersangka dan dilakukan oleh petugas (kepolisian) yang memiliki keahlian khusus bidang Hukum Pidana (dan Hukum Acara Pidana). Dalam diskusi tampak bahwa kepolisian seyogyanya harus membedakan antara:
a) aviation safety (terutama Annexes 13 Konvensi Chicago 1944) berkaitan dengan keselamatan penerbangan.
b) aviation security (wilayah bidang keamanan Hukum Udara).
Dalam salah satu pernyataan, tampak kepolisian tidak membedakan antara ”aviation safety” (diatur dalam Annex 13 terutama Konvensi Chicago 1944) dan “aviation security” yang diatur oleh:
i. Konvensi Tokyo 1963.
ii. Konvensi The Hague 1970.
iii. Konvensi Montreal 1973.

Yang ketiga-tiganya mengatur penindakan terhadap:
a) Pembajakan (piracy; “loss of national and territorial jurisdiction”; menyangkut “asylum”, safe haven, political crime, international crime).

d. Peraturan-peraturan hukum yang diterapkan oleh Kepolisian hanya Hukum Pidana dengan Hukum Acaranya dan berlaku hanya kepada “Indonesian Citizen”.

3. KNKT yang arah investigasi ke kecelakaan penerbangan dalam upaya meningkatkan ”aviation safety” berlandaskan kepada Konvensi Chicago 1944 (Annex 13 dan Ketentuan-ketentuan Hukum Udara lainnya).
a. Pendahuluan.
Investigasi kecelakaan pesawat udara dan keamanan penerbangan (”accident investigation and flight safety”), terkait dengan aviasi (penerbangan), harus ditinjau dari berbagai segi, terutama manfaatnya (”utilitarian”) sebagai salah satu bentuk transportasi yang menjulang tinggi di atas bentuk transportasi lainnya, seperti transportasi di laut/air – di darat, dan lain-lain. Tinggi nilai transportasi udara ini terutama dikarenakan kekhususan ukuran keamanannya (”high safety rates”), yang harus dijaga melalui suatu tata cara yang kompleks, yakni apa yang dinamakan ”aircraft accident investigation”. Tata cara yang kompleks dan dilaksanakan melalui proses yang sangat teliti ini, banyak membantu membangun penerbangan sebagai suatu bentuk angkutan/transportasi yang aman dan nyaman (dapat dilihat dari angka statistik tahun 1997 yang menunjukkan angka kecelakaan sebesar 0,04 pax/100.000.000/transported km). Tampak bahwa tingginya keamanan/efisiensi penerbangan di masa kini merupakan hasil dari suatu usaha kegiatan dan keseriusan/ketepatan/efisien investigasi, analisa, pencegahan dan yang merupakan suatu hasil dari studi sebab-musabab kecelakaan pesawat udara bilamana itu terjadi. Oleh karena itu setiap kali terjadi kecelakaan atau kejadian (”accident – incident”), sekecil apapun atau tampak tidak penting dan sepertinya dapat terabaikan, para pejabat KNKT dimanapun di dunia melakukan investigasinya melalui usaha yang seteliti mungkin, dengan tujuan tunggal utamanya, demi meningkatkan keamanan penerbangan dan meniadakan kecelakaan semacam itu dikemudian hari. Investigasi tersebut dilakukan dengan tujuan agar dapat memastikan kenyamanan perjalanan melalui udara yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat menguntungkan para penumpang yang menggunakan jasa angkutan udara berikutnya, termasuk ”third parties on the ground”, yang juga pasti peroleh kesempatan terbang dengan aman. Akibatnya, seorang investigator wajib memberikan bukan saja suatu pendapat baku tentang komponen teknis, akan tetapi juga sikap dan perilaku mereka yang terlibat dalam suatu kecelakaan, karena ”human error” selalu bisa terkait. Masalah ”human error” pernah menjadi bahan diskusi pada 4th ICAO Congress on Human Factors and Flight Safety, berlangsung di Santiago, Chile, April 1999 lalu (Fourth World Symposium on Human Factors and Flight, ICAO – April 12th – 15th 1999). Para investigator menyadari bahwa adanya posisi penting dari para saksi yang dapat dimintai keterangan begitu terjadi kecelakaan. Keterangan semacamnya ini juga harus dapat diperoleh dari awak pesawat, mekanik, ahli teknik, awak pemeliharaan-perbengkelan dan ”designers of the aircraft” serta mesinnya, termasuk juga produksi pabrik suku cadang. Sejalan dengan itu, setiap insan terkait dengan kegiatan penerbangan tidak bisa melepaskan diri dari keselamatan penerbangan. Dalam banyak hal, informasi-informasi yang dapat terkumpul tidak bisa diabaikan demi menjernihkan apa yang telah terjadi dan usaha mencegah kemungkinan para investigator membuang-buang waktu dan mengabaikan usaha menganalisa faktor-faktor yang mungkin tidak perlu, dengan akibat bisa saja menyebabkan sampai pada kesimpulan yang kurang tepat/salah atau sama sekali tidak berhasil mengumpulkan bukti secara tepat waktu dan segera. Selanjutnya para investigator, sewaktu melakukan investigasi wajib mampu dengan segera dan tepat waktu memberikan informasi yang diperolehnya untuk memperingatkan operator-operator lainnya di seluruh dunia (juga Badan-badan Dunia, seperti ICAO, IFALPA, negara pemproduksi pesawat udara dan lain-lainnya), yang mungkin pernah mengalami atau melalui kondisi yang sama sehingga dengan demikian dapat mencegah kecelakaan yang sama terulang dikemudian hari.

b. Intervensi Alat-alat Penuntutan (Justice Intervention).
Setiap kali terjadi kecelakaan pesawat udara secara pasti akan melibatkan berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan ini misalnya penyelesaian kerugian yang diderita oleh ”artificial persons”, seperti perusahaan asuransi yang turut menderita. Dalam keadaan demikian, mungkin saja alat-alat penuntutan seperti kepolisian menengahi. Tujuan utama alat-alat penuntutan kepolisian ini ialah menemukan siapa yang dapat dibebani tanggung jawab hukum atas kerugian yang ditimbulkan dan menetapkan siapa yang dapat dikenakan ganti rugi atau menetapkan hukuman pidana tertentu terhadap mereka yang dianggap bersalah. Dalam hal ini teliti Pasal 4,1 Annex 13 yang berkata:
”Responsibility of the State of Occurrence
Forwarding.
4.1 The State of Occurrence shall forward a notification of an accident or serious with a minimum of delay and by the most suitable and quickest means available to:
a) the State of Registry;
b) the State of the Operator;
c) the State of Design;
d) the State of Manufacture; and
e) the International Civil Aviation Organization, when the aircraft involved is of a maximum mass of over 2.250 kg.
However, when the State of Occurrence is not aware of a serious incident, the State of Registry or the State of the Operator, as appropriate, shall forward a notification of such an incident to the State of Design, the State of Manufacture and the State of Occurrence.

Note 1. Telephone, facsimile, e-mail or the Aeronautical Fixed Telecommunication Network (AFTN) will in most cases constitute “the most suitable and quickest means available”. More than one means of communication may be appropriate.

Note 2: Provision for the notification of a distress phase to the State of Registry by the rescue coordination centre is contained in Annex 12”.

c. Konsekuensi investigasi kecelakaan pesawat udara.
Perhatikan paragraph 3 dari Preambule Konvensi Chicago 1944, yang berkata:
”Therefore, the undersigned governments having agreed on certain principles and arrangements in order that international civil aviation may be developed in a safe and orderly manner and that international air transport services may be established on the basis of equality of opportunity and operated soundly and economically;

Di dalam Preambule paragraph 3 ini jelas-jelas ditegaskan bahwa “Foreword of the Chicago Convention lists the safety and the order of the World Commercial Aviation as two reasons for conducting accident investigation”. Bukan secara kebetulan bahwa masalah “safety” dicantumkan sebagai alasan yang utama “safety” dan merupakan alasan untuk melakukan “aircraft accident or incident investigation”. Oleh karena itu penyalah gunaan laporan investigasi diluar KNKT akan menimbulkan kerugian atas kwalitas dari investigasi. Di bawah ini beberapa ketidak nyamanan (“inconveniences”) yang dapat merugikan dasar-dasar “safety” yang diatur Konvensi Chicago 1944 bila ada intervensi/hambatan dari luar KNKT, sebagai berikut:
1) Pihak-pihak yang ada keterkaitan dengan accident/incident mungkin saja menolak dihubung-hubungkan dengan kecelakaan serta menyampaikan hal-hal yang diketahuinya apa yang sebenarnya terjadi karena khawatir dikenakan tuntutan kriminal.
2) Adanya ketakutan dari anggota masyarakat yang dilibatkan dalam investigasi, bahwa bilamana data yang diberikan tidak akurat, dibebani tanggung jawab hukum.
3) Berlarut-larutnya investigasi atau hambatan yang terjadi karena campur tangan lembaga hukum diluar KNKT dapat saja menghambat investigasi, antara lain misalnya adanya penyitaan komponen-komponen penting pesawat udara.
4) Campur tangan pihak diluar KNKT, misalnya pemeriksaan di Pengadilan Negeri yang biasanya makan waktu dan berlarut-larut, dapat mengganggu operator negara (DepHub) menerapkan tindakan pengamanan selanjutnya yang perlu secara cepat dan terarah.
5) Bisa saja dapat terjadi pihak luar melakukan pemeriksaan terhadap anggota-anggota KNKT karena tidak melakukan investigasi bidang tertentu yang dianggap penting oleh pihak luar tersebut atau dituduh menyembunyikan data-data yang mereka anggap penting.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa penggunaan data teknis penerbangan untuk tujuan lain di luar KNKTdan tidak adanya keterkaitan dengan ”flight safety” dapat merusak kwalitas investigasi yang akan datang dan akan sangat merugikan dan merusak ”flight safety” di kemudian hari.

d. Beberapa usulan.
1) Perlindungan dan independensi hasil investigasi KNKT perlu dipertegas melalui UU/PP/PM atau lainnya.
2) Meningkatkan pengetahuan pihak-pihak luar tentang kegiatan penerbangan bahwa adanya Hukum Udara nasional-internasional. Bagaimana mungkin seseorang melakukan investigasi, memeriksa-menyelidik-mengadili pihak-pihak terkait dengan ”flight safety” tanpa memiliki pengetahuan tentang tujuan dari suatu ”accident investigation” dan bahwa suatu investigasi yang tidak tepat-benar sangat berpengaruh kepada penegakan ”flight safety”. Juga perlu pengetahuan mendalam tentang Hukum Udara dengan berbagai doktrin-prinsip yang sejalan berkembang maju dengan peningkatan ilmu-teknologi-hukum penerbangan.
3) “Updating the Laws” bidang penerbangan.
4) Mendalami berbagai konvensi, seperti Konvensi Chicago 1944 dengan Annexes, terutama Annexes 13 dan lain-lainnya.
e. Tanggung jawab negara untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu-teknologi dan Hukum Penerbangan dan mendampinginya dengan hukum yang sesuai-up to date. Dalam hal ini ICAO telah banyak berbuat melalui Annexes atau Recommended Practices sesuai Pasal 37 Konvensi Chicago 1944.

e. Yang selalu perlu diperhitungkan.
Ada suatu pendapat (yang tidak benar) bahwa apa yang tidak dilarang oleh UU, dibenarkan untuk dilakukan. Dilupakan bahwa disamping UU, manusia juga wajib mengikuti dan patuh pada adat-istiadat-kebiasaan, etika dan yang utama agama yang dianut. Akan tetapi dalam pelaksanaannya/prakteknya bagaimana membedakan secara hukum (adat, etc) mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan batas-batasnya, atau menetapkan suatu demarkasi antara 2 kekuatan ini, adalah melalui adaptasi UU dan menerima yang kurang negatif dari 2 pendirian tersebut, demi mengurangi atau meniadakan kesalah fahaman. Oleh karena itu laporan tentang yang berhubungan dengan investigasi kecelakaan pesawat udara secara hukum harus terdiri dari 2 bagian, yakni
a) Pedoman bidang mana yang boleh disebar luaskan.
b) Pedoman informasi/data mana yang sensitif agar berguna memperoleh sasaran dari investigasi, mencegah terjadinya dan terulang kecelakaan semacamnya dikemudian hari.

f. Inti sifat data-data.
Inti sifat dari data yang diperoleh KNKT adalah ketepatan-manfaat-konfidensialitasnya. Oleh karena data-data yang diketemukan tersebut tidak dibenarkan untuk dibuka, dan pelanggaran dapat dikenakan hukuman bila dilanggar. Misalnya anggota KNKT yang membuka-buka informasi/data semacam itu dapat dikenakan tuntutan pidana. Tuntutan pidana selanjutnya berfungsi melindungi anggota KNKT tersebut bila tidak memberikan data-data walaupun dengan paksaan misalnya. Informasi yang sensitif (apa yang dinamakan sebagai ”sensitive information-privileged information”) dapat dijelaskan sebagai informasi yang mengarah kepada usaha-tindakan melindungi ”air navigation safety” dalam bentuk kepentingan yang diberi perlindungan hukum atau setiap informasi yang diberi perlindungan oleh perjanjian-perjanjian internasional. Ketentuan-ketentuan demikian akan sangat membantu melindungi kepentingan umum yang terkait dengan ”aviation safety”, dikarenakan negara dibebani tanggung jawab memberikan ”safety” kepada usaha angkutan udara dalam bentuk yang maksimal. Juga menciptakan suasana ”safety” kepada penumpang, cargo yang diangkut dan kepada pihak ketiga didaratan/permukaan bumi. Tambahan pula ”sensitive information” dapat pula mengarah kepada rahasia-industrial, dengan melalui usaha melindungi informasi dibidang ”safety”. Juga akan mengarah kepada kepentingan ekonomi para pengusaha angkutan udara pada umumnya. Akhirnya dapat pula membantu menjamin kepentingan negara/umum. Apa yang dimaksud dengan ”privileged information?”. “Privileged information” refers to information that can not be disclosed outside the KNKT, which has to treat this information confidentially to ensure that the KNKT can obtain the information, with respect to an accident, in a quick and genuine way, and to fomenting the flight security and the operational capacity. Dalam privileged information dapat diklasifikasikan:
1) “Determinations, conclusions, reasons, recommendations, and the deliberative processes of KNKT. This prevention is also applied to the determinations, conclusion, reasons, recommendations, and the investigations deliberative process in a terrestrial accident or an incident related to an explosion.
2) Any information obtained regarding contractors that manufacture, design, or maintain equipment implicated in an accident, when the acquired information was based on a promise of confidentiality.
3) Video simulated tapes or computer accident practice created together with the Investigation Flight Security, except for cases accociated with space accident.
4) The analyses of life science that include: medical history, medical accident reports, psychological history reports, expenditure, survival teams, and other human factors related to the accident.
5) Internal crew communication recordings .
6) Video registrations with the crew internal information. (See: Aviation Accidents and Incidents Investigation Instruction Book, Internal Civil Aviation Agreement, Appendix 13, NSAF – ATI 91-204)”.
Black Law Dictionary defines “privileged” as:
1. “A special legal right, exemption, or immunity granted to a person or class of persons.
2. An affirmative defense by which a defendant acknowledges at least part of the conduct complained of but asserts that the defendant’s conduct was authorized or sanctioned by law; esp., in tort law, a circumstance justifying or excusing an international tort. See JUSTIFICATION (2). Cf.IMMUNITY (2).
3. In the law of evidence, the right to prevent disclosure of certain information in court, esp. when the information was originally communicated in a professional of confidential relationship”.

Tampak bahwa sangat sulit menetapkan batas-batasnya, sehingga akan bijaksana menerapkan apa yang dinamakan “the blurred sets theory”, yang dapat membatasi pemaksaan pihak-pihak di luar KNKT. Oleh karena KNKT perlu mempertimbangkan memiliki “data bank” yang dilindungi oleh beberapa prinsip hukum, antara lain “confidentiality”. Oleh karena itu saksi-saksi, awak pesawat dan operators yang mungkin dipaksa memberikan informasi-informasi yang diminta, dapat saja menahan diri, sehingga mengurangi kemungkinan isi kesaksiannya dimanfaatkan sebagai bukti dalam suatu tuntutan ganti rugi/pidana. Proteksi informasi yang bersifat konfidensial ini secara hukum wajib dijaga demi untuk melindungi setiap data yang disimpan di dalam “data bank”, dan usaha menampilkan data oleh pihak ketiga (misalnya Kepolisian) harus melalui usaha dalam bentuk “habeas data”. Kalau diteliti Annex 13, maka tampak beberapa Pasal terkait dengan pokok tersebut terdahulu, antara lain:
Pasal 5.10
The State conducting the investigation shall recognize the need for coordination between the investigator-in charge and the judicial authorities. Particular attention shall be given to evidence which requires prompt recording and analysis for the investigation to be sucessful, such as the examination and identification of victims and read-out of flight recorder recordings.

Note 1. The responsibility of the State of Occurrence for such coordination is set out in 5.1

Note 2. Possible conflict between investigating and judicial authorities regarding the custody of flight recorders and their recordings may be resolved by an official of the judicial authority carrying the recordings to the place of read out, thus maintaining custody.

Pasal 5.11.
If, in the course of an investigation it becomes known, or it is suspected, that an act of unlawful interference was involved, the investigator-in-charge shall immediately initiate action to ensure that the aviation security authorities of the State(s) concerned are so informed.
Dan
Pasal 5.12
The State conducting the investigation of an accident or incident shall not make the following records available for purposes other than accident or incident investigation, unless the appropriate authority for the administration of justice in that State determines that their disclodure outweights the adverse domestic and international impact such action may have on that or any future investigations:

a. all statements taken from persons by the investigation authorities in the course of the aircraft;
b. all communications between persons having been involved in the operation of the aircraft;
c. medical or private information regarding persons involved in the accident or incident;
d. cockpit voice recordings and transcrips from such recordings; and
opinions expressed in the analyses of information, including flight recorder;
e. opinions expressed in the analyses of information, including flight recorder information.

5.12.1.
These records shall be included in the final report or its appendices only when pertinent to the analysis of the accident or incident. Parts of the records not relevant to the analysis shall not be disclosed.

Kemudian Pasal 3.1-3.3 (kaitkan dengan Pasal 5.12 dan Foreword Konvensi Chicago 1944 tentang safety).
Objective of the investigation
3.1 The sole objective of the investigation of an accident or incident shall be the prevention of accidents and incidents. It is not the purpose of this activity to apportion blame or liability.

Protection of evidence, custody and removal of aircraft.
Responsibility of the State of occurrence.
General
3.2 The State of Occurrence shall take all reasonable measures to protect the evidence and to maintain safe custody of the aircraft and its contents for such a period as may be necessary for the purposes of an investigation. Protection of evidence shall include the preservation, by photographic or other means of any evidence which might be removed. Effaced. Lost or destroyed. Safe custody shall include protection against further damage, access by unauthorized persons.bilfering and deterioration.

Note 1. Control over the wreckage is dealt with in 5.6
Note 2. Protection of flight recorder evidence requires that the recovey and handling of the recorder and its recordings be assigned only to qualified personnel.

Request from State of registry, State of the operator, State of Design or State of Manufacture.

3.3 If a request is received frim the State of registry, the State of the operator, the State of Design or the State of manufacture that the aircraft, its content and any other evidence remain undisturbed pending inspection by an accredited reseprensentive of the requesting State, the State of Occurrence shall take all necessary steps to comply with such request, so far as this is reasonably practicable and compatible with the proper conduct of the investigation; provided that the aircraft may be moved to the extent necessary to extrextricate persons, animals, mail and valuables, to prevent destruction by fire or outher causes, or to eliminate any danger or obstruction to air navigation. To order transport or to the public and provided that it does not result in undue delay in returning the aircraft to service where this is practicable.

g. Kesimpulan.
Indonesia terikat, sebagai negara yang beradab (civilized nation) mematuhi berbagai Perjanjian dan Ketentuan Internasional khususnya di bidang penerbangan, antara lain Konvensi Chicago 1944 beserta Annexesnya. Keterikatan ini ditegaskan di dalam Ketentuan Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Pasal 38,1 yang berkata:
1. “The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. the general principle of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law”.

Oleh karena itu tidaklah pada tempatnya, dengan dilarangnya data-data hasil investigasi KNKT disebar luaskan seperti telah diatur di dalam Annexes Konvensi Chicago 1944, terutama isi Annexes 13. Sebagai negara yang beradab (civilized nation) seharusnya Indonesia mematuhi larangan-larangan penyebar luasan hasil investigasi KNKT seperti tercantum di dalam Annexes 13 tersebut.

Jumat, 21 November 2008

KNOWLEDGE BASED SOCIETY

Memasuki abad milenium baru, maka Indonesia harus dengan cermat memilih strategi pembangunannya. Perlu dilihat konstalasi dunia saat ini, posisi tawar Indonesia di dunia, kekayaan yang dimiliki dan berbagai sumberdaya yang ada dan berbagai model atau teori pembangunan yang telah berhasil dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang yang kemudian berhasil mentransformasikan dirinya menjadi negara maju.
Salah satu pilihan strategi adalah apa yang dikenal dengan Pembangunan Masyarakat Berbasis Pengetahuan (PMBP, Knowledge Based Society, KBS). KBS dilustrasikan sebagai suatu kondisi penciptaan, penyebaran dan penggunaan pengetahuan menjadi faktor kunci dalam upaya memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat.
Konsep pembangunan ini pada hakekatnya adalah membangun institusi yang
menghasilkan pengetahuan, kemudian mendistribusikan pengetahuan dan penggunaannya pada sektor-sektor produktif. Namun demi kian, tentu saja produksi, diseminasi, dan penggunaan pengetahuan dapat pula terjadi pada unit-unit produktif lain dalam masyarakat.
Oleh karena itu, daya inovatif dan daya saing perusahaan tidak terlepas dari hasil interaksi berbagai aktor kelembagaan (institutional actors) atau unit-unit produktif dalam system tersebut, termasuk suasana inovatif dan kompetitif yang tercipta.
Pada saat kondisi sebuah perekonomian yang menjadi faktor kunci dalam upaya
memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat – mencakup perusahaan dan unit-unit produktif lainnya – yang secara langsung didasarkan pada produksi, distribusi, dan penggunaan pengetahuan, maka perekonomian seperti itulah yang didefinisikan oleh OECD (1996) sebagai ekonomi berbasis pengetahuan (EBP).
Sudah menjadi anggapan umum bahwa pengetahuan dan penerapannya diakui sebagai salah satu kunci utama dalam pengembangan ekonomi suatu negara. Sebagai contoh, perkembangan ekonomi dua negara, yaitu Korea Selatan dan Ghana . Korea Selatan telah menerapkan pengetahuan secara intensif sebagai landasan ekonominya, Ghana bertumpu pada hal yang lain dalam pengembangan ekonomi negara.
Pada pertengahan tahun 50-an pendapatan per kapita dari kedua negara tersebut sebesar 700 US$ (World Bank, World Development Report 1998/1999). Namun, memasuki tahun 1990-an pendapatan per kapita Korea Selatan mencapai hampir 6 kali pendapatan per kapita Ghana. Perbedaan kinerja ekonomi antara kedua negara ini disebabkan oleh adanya pemanfaatan dan penerapan pengetahuan, terutama pengetahuan teknis dan kebijakan.
Dalam empat dekade Korea Selatan membangun ekonominya melalui pembangunan sains dan teknologi yang pada hakekatnya adalah meningkatkan kemampuan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi. Keberhasilan yang diperoleh Korea Selatan memang menakjubkan, pada awal tahun 1960an pendapatan per kapita masyarakat masih USD 80,0 meningkat menjadi USD 9.676 pada tahun 2000 atau mengalami peningkatan sebesar 120 kali lipat dalam kurun waktu 4 dekade. Pada awal pembangunan, Korea Selatan masih mengandalkan pendapatannya pada hasil-hasil tambang atau sumber daya alam dan aktivitas pertanian, namun dalam kurun waktu tersebut Korea Selatan telah mampu mensejajarkan diri menjadi negara industri baru.
Ekspor Korea Selatan kini mengandalkan pada kandungan teknologi tinggi seperti barangbarang elektronik dan komponen komputer serta otomotif.
Selama empat dasawarsa tersebut Korea Selatan telah menginvestasikan sumberdayanya di berbagai proyek infrastruktur pengetahuan atau sains dan teknologi serta pembangunan sumberdaya manusia. Investasi di litbang pada tahun 1999 mencapai USD 10.2 milyar, dimana 27% didanai pemerintah dan publik, 73 persen dari swasta. Potret ini terbalik ketika diawal tahun 1960an dimana investasi litbang lebih dari 90% masih dikuasai pemerintah dan sisanya swasta. Perubahan indikator ini menunjukan bahwa pihak swasta Korea telah berperan aktif dalam litbang sains dan teknologi. Keberhasilan Korea dalam membangun industri yang berbasis teknologi bukan hanya terletak pada campur tangan pemerintah tapi juga merupakan partisipasi aktif dari pihak swastanya. Implikasi dari fakta ini menunjukkan bahwa pengetahuan dapat diterapkan untuk
menciptakan peluang pengembangan ekonomi bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Jika pengetahuan diterapkan dan diadaptasikan dengan sebagaimana mestinya terhadap lingkungan perekonomian yang ada dan didiseminasikan secara efektif, maka ia dapat menjadi penggerak utama dalam pembangunan. Untuk menciptakan dan mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, suatu negara harus menerapkan suatu tindakan yang tepat untuk menstimulasi, mendorong, dan menumbuhkan penerapan pengetahuan dalam perekonomiannya agar daya saing negara tersebut dapat meningkat.
Prinsip penting Knowledge Based Society adalah membangun negara dengan menggunakan modal ilmu pengetahuan lebih besar dibandingkan dengan modal apapun yang mereka miliki. Dalam rangka menciptakan masyarakat pengetahuan di suatu negara, maka ada empat pilar penting yang perlu dibuat, yaitu penciptaan, pemeliharaan, diseminasi, dan pemanfaatan pengetahuan. Keempat pilar ini perlu dilandasi oleh keberagaman serta kebutuhan dan hak asasi manusia.
Untuk dapat membangun keempat pilar tersebut, langkah strategis membangun masyarakat berbasis ilmu pengetahuan di Indonesia adalah dengan melakukan strategi transformasi budaya melalui pola pendidikan, termasuk manajemen dan kurikulum pendidikan yang pro-pengetahuan serta peningkatan alokasi biaya pendidikan untuk masyarakat. Negara berbasis pengetahuan yaitu salah satu kemakmurannya dihasilkan melalui aktivitas intelektual dari warganya yang mereka peroleh dari pendidikan yang benar sehingga secara relatif warga tersebut mempunyai keunggulan di atas rata-rata warga negara bangsa lain pada umumnya. Sementara itu, lembaga litbang yang sebagian besar menjadi tempat terkonsentrasinya masyarakat berpengetahuan yang minoritas ditantang untuk lebih meningkatkan perannya dalam meningkatkan produktivitas sektor industri melalui berbagai hasil litbang. Peningkatan produktivitas inilah yang akan mengarah pada peningkatan daya saing dan pencapaian kondisi perekonomian dimana pengetahuan menjadi faktor kuncinya atau disebut juga dengan knowledge based economy (KBE).
Dalam membangun masyarakat berpengetahuan, pilar-pilar KBS diatas juga menjadi spirit bagi keenam fokus utama pembangunan bidang iptek yaitu pembangunan ketahanan pangan, pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan teknologi pertahanan dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan.

Rabu, 19 November 2008

Badan Layanan Umum : Sebuah Pola Pemikiran Baru atas Unit Pelayanan Masyarakat


Paradigma baru pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan RUU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (disetujui dalam sidang paripurna DPR tanggal 21 Juni 2004) setidaknya mengandung tiga kaidah manajemen keuangan Negara, yaitu: orientasi pada hasil, profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi.
Paradigma ini dimaksudkan untuk memangkas ketidakefisienan. Memang sudah menjadi persepsi masyarakat bahwa pemerintah selama ini dinilai sebagai organisasi yang birokratis yang tidak efisien, lambat dan tidak efektif. Padahal dalam manajemen modern unit pemerintahan harus profesional akuntable dan transparan. Seperti dikatakan Max Weber, bapak sosiologi modern bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting. Ditinjau dari mechanic view pemerintah sebagai regulator dan sebagai administrator, sedangkan dari organic view pemerintah berfungsi sebagai public service agency dan sebagai investor. Peranan sebagai regulator dan administrator erat sekali kaitannya dengan birokrasi sedangkan sebagai agen pelayang masyarakat dan sebagai investor harus dinamis dan dapat diitransformasikan menjadi unit yang otonom.
Pola transformasi fungsi tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu rightsizing (cut the government), corporatization dan privatization. Namun tidak semua kegiatan pemerintah bisa ditransformasikan sebagai unit yang otomon dengan pola di atas. Transformasi fungsi kegiatan sebagai unit yang otonom dapat dilakukan pada berbagai kegiatan, antara lain: kegiatan pelayanan pendidikan, kesehatan masyarakat, administrasi kependudukan, pembibitan dan pembenihan, pengolahan data, administrasi kendaraan, pengelolaan dana bergulir, pembinaan olahraga, pemeliharaan jalan, pemungutan pajak dan retribusi, pembinaan calon tenaga kerja, pertamanan dan kebersihan. Sementara itu kegiatan yang tidak bisa ditranformasikan sebagai unit yang otonom antara lain: kegiatan legislasi, pengaturan (regulasi), penetapan kebijakan pelayanan, penganggaran, peradilan, penindakan, dan pertanggungjawaban.
Karakteristik dan Jenis Badan Layanan Umum (BLU)
Bermula dari tujuan peningkatan pelayanan publik tersebut diperlukan pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang saat ini bentuk dan modelnya beraneka macam. Sesuai dengan pasal 1 butir (23). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan: ”Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.” Penjelasan tersebut secara spesifik menunjukkan karakteriktik entitas yang merupakan Badan Layanan Umum,yaitu:
1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan Negara
2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat
3. Tidak bertujuan untuk mencarai laba;
4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;
5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;
6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung;
7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil.
8. BLU bukan subyek pajak
Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain;
2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan
3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.
Lingkup Keuangan BLU
Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut. BLU dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula, berbeda dengan entitas yang merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD).
Perbedaan tersebut terletak pada hal-hal sebagai berikut:
1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan
3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
5. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan
6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah;
7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah;
8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan;
9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari msyarakat atau badan lain;
10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah.
Dengan pemikiran baru tersebut diharapkan bukan bentuknya saja suatu unit pemerintah menjadi Badan Layanan Umum yang melayani masyarakat tetapi tingkat pelayanan masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara yang profesional, efektif dan efisien oleh pengelola unit tersebut dengan otonomi pengelolaan yang akan diberikan.

Minggu, 02 November 2008

Deskripsi Kebijakan Transportasi Udara Nasional

Pembangunan sektor transportasi diarahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional yang handal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara efektif dan efesien dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa, mendukung pola distribusi nasional serta mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan hubungan internasional yang lebih memantapkan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara. Jaringan transportasi dapat dibentuk oleh moda transportasi yang terlibat. Masing-masing moda transportasi memiliki karakteristik teknis yang berbeda dan pemanfaatannya disesuaikan dengan kondisi geografis daerah layanan. Moda transportasi udara mempunyai karakteristik kecepatan yang tinggi dan dapat melakukan penetrasi sampai keseluruh wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh moda transportasi lain. Perkembangan industri angkutan udara nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah yang ada sebagai suatu negara kepulauan. Oleh karena itu, Angkutan udara mempunyai peranan penting dalam memperkokoh kehidupan berpolitik, pengembangan ekonomi, sosial budaya dan keamanan & pertahanan. Merupakan bagian dari subsistem transportasi udara, kebijakan umum angkutan udara diarahkan untuk mewujudkan terselenggaranya angkutan udara secara selamat, aman, cepat, efisien, teratur, nyaman, dan mampu berperan dalam rangka menunjang dan mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya.Pada era tahun 1945 – 1970 kegiatan penerbangan internasional oleh perusahaan nasional hanya dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik negara yaitu PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara. Pemerintah menerapkan kebijakan penunjukkan perusahaan penerbangan (designeted airlines) yang bersifat tunggal (single designated) dimana PT. Garuda Indonesia ditunjuk untuk melayani penerbangan internasional jarak jauh (long haul) sedangkan PT. Merpati Nusantara untuk jarak dekat (regional flight).
Kebijakan prinsip dasar dalam pelaksanaan perjanjian udara relatif tidak mengalami perubahan sampai sekarang masih menganut prinsip resiprocal (timbal balik) dan cabotage (perusahaan penerbangan asing tidak dapat melakukan penerbangan domestik di wilayah Indonesia). Pada era tersebut pengaturan kapasitas pada penerbangan internasional kurang fleksibel.
Untuk pengaturan tarif masih bersifat proteksi dengan kebijakan tarif double approval, dimana perusahaan angkutan udara yang ditunjuk dari Indonesia dan negara mitra melakukan kesepakatan tarif sesuai dengan kebijakan IATA dan selanjutnya kesepakatan tarif tersebut harus mendapat persetujuan dari pejabat penerbangan sipil kedua negara tersebut. Dimana tanpa adanya kesepakatan, tariff tersebut tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh kedua perusahaan penerbangan yang telah ditunjuk.
Sedangkan sejak era 1990 sampai dengan era 1999 perkembangan dunia penerbangan mengalami sedikit perubahan pada kebijakan penunjukkan perusahaan angkutan udara menjadi multi designated airline. Perubahan kebijakan ini memberi peluang swasta berpartisipasi dalam mengembangkan industri angkutan udara nasional.
Adapun kebijakan pelaksanaan rute untuk penerbangan long houl adalah PT. Garuda Indonesia sedangkan untuk rute regional untuk PT. Merpati Nusantara dan perusahaan swasta lainnya, untuk pengaturan kapasitas telah mengalami perubahan dari yang bersifat protektif menjadi cukup fleksibel.
Mulai era tahun 1999 sampai 2005, banyak terjadi peristiwa buruk yang menimpa dunia dan juga Indonesia sebagai contoh peristiwa pemboman WTC pada tanggal 9/11/2001 dan pada tahun 2002 terjadi kejadian pemboman Bali I serta peristiwa Bom Bali II pada tahun 2005, peristiwa – peristiwa tersebut cukup mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan ke arah penurunan permintaan. Hal tersebut, mendorong pemerintah untuk melakukan pengetatan peraturan terkait dengan keselamatan dan keamanan penerbangan. Disamping itu, Pemerintah juga melakukan kebijakan relaksasi dan perubahan kebijakan angkutan udara dimana pengaturan rute lebih mendorong swasta untuk dapat lebih berperan dalam melakukan penerbangan internasional. Rute relatif dibuka dan lebih bebas sepanjang masih terdapat right (hak angkut) yang belum digunakan. Penentuan kapasitas hak angkut lebih fleksible didasarkan atas jumlah tempat duduk. Sedangkan pada masalah tarif kebijakan, mekanisme tarif yang diterapkan yaitu Double Disapproval (dimana tarif dapat ditetapkan meskipun hanya satu negara anggota yang menyetujui) dalam rangka meningkatkan pariwisata dan perdagangan.
Kebijakan Angkutan Udara Dalam Negeri :
Kebijakan angkutan dalam negeri diarahkan sebagai berikut :
a. Rute penerbangan dalam negeri dapat menghubungkan dan menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia yang terdiri dari rute utama, rute pengumpan dan rute perintis.
b. Memperhatikan aspek pemerataan pelayanan di seluruh wilayah, dengan menerapkan prinsip subsidi silang (keseimbangan rute) yaitu perusahaan penerbangan selain menerbangi rute sangat padat dan padat juga menerbangi rute kurang padat dan tidak padat
c. Menerapkan Multi Airlines System dimana satu rute penerbangan dilayani lebih dari satu perusahaan penerbangan untuk menciptakan iklim usaha yang berkompetisi secara sehat dan kondusif
d. Memperhatikan keterpaduan antar rute penerbangan dalam negeri atau rute penerbangan dalam negeri dengan rute penerbangan luar negeri
e. Mendukung iklim usaha terhadap Pemegang Ijin usaha kegiatan angkutan udara niaga dan bukan niaga, pada situasi tertentu, untuk dapat melayani rute – rute tertentu yang tidak dilayani oleh angkutan udara niaga berjadwal guna mendukung iklim usaha yang kondusif dan kegiatan penduduk setempat.
Kebijakan Angkutan Udara Luar Negeri :Kebijakan angkutan udara luar negeri secara umum saat ini diarahkan sebagai berikut:
a. Pertukaran hak angkut dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Kebijakan angkutan udara internasional dilakukan secara bertahap dan progresif dengan memperhatikan perkembangan industri angkutan udara regional maupun global, dan tetap memperhatikan kepentingan dan kemampuan perusahaan angkutan udara nasional dalam bersaing di pasar internasional.
b. Liberalisasi hak-hak angkutan udara (traffic rights) dimulai dari kerjasama sub-regional seperti IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle) dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipine-East ASEAN Growth Triangle).
c. Evaluasi dan penerapan rute – rute penerbangan internasional didasarkan atas pertimbangan aspek komersial, politik dan memperhatikan keterkaitannya dengan rute domestik.
d. Memberikan kepastian terhadap perusahaan penerbangan asing dalam melaksanakan penerbangan langsung ke Daerah Tujuan Wisata di Indonesia.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan hak angkut yang dimiliki melalui kerjasama diantara perusahaan angkutan dalam negeri dengan perusahaan angkutan udara asing.
Implementasi dari kebijakan terkait parjanjian bilateral atau multilateral dalam hal perjanjian hubungan udara adalah sebagai berikut :
a. Penetapan rute penerbangan bersifat fleksibel dan berdasarkan letak geografis, bukan market demand. Pengaturan frekuensi dan kapasitas berdasarkan asas resiprositas.
b. Penetapan Penunjukan perusahaan penerbangan (designated airline) diarahkan pada multy designated sistem (dimana semua perusahaan penerbangan nasional mempunyai kesempatan yang sama untuk melayani semua rute penerbangan internacional).
c. Penetapan 27 bandar udara internasional agar perusahaan penerbangan nasional atau asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung.
d. Penunjukan perusahaan angkutan udara berdasarkan kriteria “substancial ownership and effective control” yaitu perusahaan yang dapat ditunjuk sebagai designated airlines Indonesia adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum atau negara Indonesia.
e. Pengaturan kapasitas, frekuensi dan rute angkutan kargo dilakukan secara fleksible. Mendorong kerjasama antar perusahaan penerbangan dalam bentuk joint operation atau bilateral atau third party code sharing.
f. Mekanisme penetapan tarif secara bertahap dan selektif mengarah pada Double Disapproval. Mendorong airlines asing untuk dapat mengembangkan pasar di wilayah Indonesia Timur melalui kerjasama dengan airline nasional; Charter Flights tetap diperlakukan sebagai supplement dari Scheduled Flights;
g. Indonesia telah menandatangani perjanjian angkutan udara dengan 71 negara, salah satu diantaranya berdasarkan pendekatan liberal.

Kebijakan Angkutan Haji :
a. Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia adalah merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Departemen Agama bertindak sebagai koordinator dan pengawas pelaksanaan kegiatan tersebut.
b. Departemen agama menetapkan perusahaan penerbangan dan spesifikasi pesawat yang akan mengangkut jemaah haji dari Indonesia menuju Arab Saudi atau sebaliknya melalui tender terbuka.
c. Departemen Perhubungan mengevaluasi kelaikan pesawat yang telah ditetapkan untuk mengangkut jemaah haji.
d. Pelaksanaan kegiatan penerbangan haji adalah penerbangan charter yang wajib memiliki persetujuan terbang (flight approval) dari Departemen Perhubungan
e. Perusahaan penerbangan yang melayani angkutan haji harus memiliki landing permit dari Presidency of Civil Aviation, Kingdom Saudi Arabia dan “Hajj Control” untuk mendapatkan arrival times dan departure times (slot time) di Bandar Udara King Abdul Azis – Jeddah.
Kebijakan kepengusahaan di bidang angkutan udara
a. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan oleh :
1) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berbentuk Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero)Badan Usaha Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas; atau,
2) Koperasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b. Persyaratan permohonan izin usaha angkutan udara niaga adalah sebagai berikut:
1) Memiliki akte pendirian perusahaan yang salah satu kegiatannya harus memuat usaha angkutan udara niaga berjadwal dan atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab terhadap pengesahan akte pendirian perusahaan.
2) Layak ditinjau dari aspek ekonomi dan kemampuan secara finansial untuk dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga dengan menyampaikan studi kelayakan yang antara lain memuat aspek sebagai berikut :
a) jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan
b)rute penerbangan, bagi pemohon kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal, rencana daerah operasi bagi pemohon izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
c) aspek pemasaran
d)profile organisasi perusahaan dan sumber daya manusia meliputi teknisi dan awak pesawat udara
e) kesiapan dan kelayakan fasilitas untuk pengoperasian pesawat udara
f) analisis dan evaluasi dari aspek ekonomi dan finansial.
3) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NOMOR POKOK WAJIB PAJAK)
4) Surat keterangan domisili.
c. Untuk dapat beroperasi pemohon wajib memiliki Air Operator Certificate (AOC).
Dalam rangka penanaman modal asing, pemerintah memberikan peluang untuk berusaha dibidang usaha jasa angkutan udara niaga baik berjadwal dan atau tidak berjadwal melalui kerjasama joint venture dengan Badan Hukum Indonesia yang berbetuk Perseroan Terbatas (PT), dimana mayoritas kepemilikan saham berada pada warga negara indonesia dan atau perusahaan Indonesia.
Penyelenggara Bandar Udara Internasional :
Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, jumlah Bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara Internasional di Indonesia terdapat 27 Bandar Udara. andar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri ditetapkan berdasarkan pertimbangan beberapa aspek sebagai berikut :
a. Potensi permintaan penumpang angkutan udara;
b. Potensi kondisi geografis ;
c. Potensi kondisi pariwisata ;
d. Potensi kondisi ekonomi ;
e. Aksesibilitas dengan bandar udara internasional disekitarnya, dan ketentuan intra antar moda.
Pelayanan jasa angkutan udara harus memperhatikan keselamatan, keamanan, kecepatan, kelancaran, ketertiban, keteraturan dan efisiensi dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.”
Masyarakat Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati jasa pelayanan angkutan udara dengan tarif yang dapat terjangkau dan tetap memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.
Dalam hal pengaturan tentang prosedur berlakunya tarif angkutan udara internasional bilateral, hampir semua perjanjian angkutan udara bilateral Indonesia menggunakan sistem “double approval” yaitu suatu tarif yang diajukan oleh kedua perusahaan angkutan udara yang ditunjuk hanya dapat diberlakukan apabila telah disetujui oleh kedua Pemerintah. Namun demikian, Pemerintah secara bertahap dan selektif akan menerapkan sistem ”double dis-approval”.
Dengan tetap dimungkinkan Pemerintah campur tangan dalam pengaturan tarif guna :
Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
a. Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
b. Melindungi konsumen dari pengenaan tarif tinggi yang tidak wajar karena memegang posisi dominan pada suatu pasar.
c. Melindungi perusahaan penerbangan dari penetapan tarif yang rendah oleh perusahaan penerbangan lainnya karena subsidi langsung atau tidak langsung dari Pemerintah.
Pengaturan Tarif di Bidang Jasa Kebandar Udaraan :
a. Tarif pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum ditetapkan berdasarkan pada struktur dan golongan tarif serta dengan memperhatikan :
1) Kepentingan pelayanan umum ;
2) Peningkatan mutu pelayanan jasa ;
3) Kepentingan pemakai jasa ;
4) Penigkatan kelayakan pelayanan ;
5) Pengaturan biaya ; dan
6) Pengembangan Usaha.
b. Penetapan tarif pelayanan jasa kebandarudaraan :
1) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
4) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diusahakan ditetapkan oleh Direksi Badan Usaha Kebandarudaraan setelah dikonsultasikan dengan menteri Perhubungan.

Selasa, 28 Oktober 2008

STRESS PREVENTION IN AIR TRAFFIC CONTROL

Survey to the Member of Association of IATCA
Initiated by of Steering Comitte of IATCA-2008


General
Air traffic controllers are widely recognized as an occupational group which has to cope with a highly demanding job that involves a complex series of tasks, requiring high levels of knowledge and expertise, combined with high levels of responsibility, not only with regard to risking lives, but also the high economic costs of aeronautical activities.
Indonesia Air Traffic Controller Association (IATCA) survey to the member of the association, which reviews the sources and consequences of stress in air traffic control and the measures which have been taken in a number of branch organization of IATCA to prevent and reduce stress in the occupation.

Sources and consequences of stress in air traffic control
Surveys show that the main sources of stress reported by air traffic controllers as member’s of association are related both to the operative aspects of their job and to organizational structures. In the former case, the most important factors are peaks of traffic load, time pressure, resolving conflicts in the application of rules, and the limitations and reliability of equipment. The factors relating to organizational structure mainly concern shift schedules (and particularly night work), role conflicts, unfavourable working conditions and the lack of control over work.
Analysis has emphasized the complexity of the work of air traffic controllers. For example, the cognitive/sensory capacities required for high performance at radar workstations include spatial scanning, movement detection, image and pattern recognition, prioritizing, visual and verbal filtering, coding and decoding, inductive and deductive reasoning, short- and long-term memory, and mathematical and probabilistic reasoning. Air traffic controllers are also among the groups of workers who are most exposed to critical accidents which cause unusually strong emotional reactions, such as air accidents with loss of life or serious injury, near collisions or loss of control due to overload.
However, the consequences of these stressors on the performance of individual air traffic controllers may differ widely in relation to factors such as age, life style, work experience, personality traits, attitude, motivation and physical and mental health. Indeed, many studies on the consequences of stress on air traffic controllers have reported apparently contradictory findings. Nevertheless, a number of studies indicate that the demanding work of air traffic controllers may well be a risk factor in the long term in the development of stress-related symptoms, including headaches, chronic fatigue, heartburn, indigestion and chest pain, as well as such serious illnesses as hypertension, coronary heart disease, diabetes, peptic ulcers and psychoneurotic disorders.

Prevention of stress for air traffic controllers
In view of the safety and operational implications of the service provided, the air traffic control profession is understandably under close scrutiny at many levels.
In Indonesia, for example, the various national air traffic control systems come under the umbrella of the Directorate General of Civil Aviation. It is therefore hardly surprising that many measures have been taken to improve the health and safety of air traffic controllers, including stress prevention programmes. Air traffic controllers have to pass regular physical tests in order to retain their operating licence, which provides them with an added motivation to maintain themselves in good physical condition.
Based on a wealth of practical examples, the survey reviews the various interventions which have been made in the following areas:
  1. The external socio-economic environment, including national legislation, international and national directives and social support, in terms of facilities such as transport to work, canteens and sleeping facilities;
  2. Technology and work organization, including the improvement of job planning and the reliability of work systems, the reduction of working times and the arrangement of work teams and rest pauses in accordance with work load, the arrangement of shift schedules according to psycho-physiological and social criteria, and approaches to improve the participation of air traffic controllers in decisions which concern them;
  3. The workplace and the structure of tasks, with particular reference to the ergonomic design of workstations and improvements in work environment factors, such as lighting, noise, micro-climatic conditions and indoor air quality;
  4. The improvement of individual responses and behaviour, through guidance in individual ways of coping with stress, measures related to selection and training, and counselling and other supporting measures, including critical incident stress management; and
    health protection and promotion, with emphasis on the conversion of medical surveillance from a process predominantly concerned with the formal certification of fitness for work into a more positive intervention designed to maintain and improve the health and well-being of air traffic controllers.

Minggu, 26 Oktober 2008

MORALITAS KAUM TERDIDIK DI ERA GLOBAL-(Benarkah Masyarakat Terdidik di Indonesia Telah Makin Bermoral - Suatu Tinjauan Filsafat Ilmu)

I. Pendahuluan
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Malcolm Waters (Tilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etno-space, techno-space, finance-space, media-space, idea-space, dan sacri-space. Dengan demikian universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi era global berikutnya. Apakah pembangunan versi “pribuminisme” mampu mempertahankan hegemoni pembangunan eropasentrisme, amerikasentrisme atau modernisasi dalam era globalisasi? (Hettne (2001). Moralitas yang bagaimanakah yang akan dianut oleh masyarakat kebanyakkan, khususnya kaum terdidik, yaitu mereka yang telah menyelesaikan pendidikan formal minimal strata satu. Apakah telah terjadi transformasi nilai-nilai ataukah sebaliknya tetap berpegang (conformed) pada nilai-nilai tradisional sambil melakukan pembangunan? Apakah nilai-nilai yang dianutnya bisa dianggap benar? Inilah beberapa pertanyaan yang akan ditelusuri jawabannya dari sudut pandang filsafat ilmu sebagai bahan perenungan bagi kaum terdidik dalam melakukan peran kepemimpinan dalam membangun Masyarakat Indonesia.

II. Realitas Moral Kaum Terdidik
Beberapa informasi dari berbagai media massa tercetak maupun elektronik, yang sifatnya kasuistik tetapi menarik untuk dikritisi, antara lain:
Fenomena pertama adalah kaum politisi. “money politics” dan “money game” merupakan istilah yang sudah sangat populer pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass-root). Istilah tersebut sudah tidak lagi menjadi rahasia umum, bahkan cenderung menjadi semacam sinisme yang ditujukan terhadap kaum politisi. Demikian pula di lembaga legislatif (DPR/DPRD) budaya “datang, duduk, diam-diam dapat “traveller”s cheque” (Kompas, 23 September 2001 halaman 23) diduga hanya merupakan salah satu temuan yang terjadi secara kebetulan. Haryatmoko mengutip pendapat Yves Michaud (1976) dalam tulisannya berjudul “Terorisme, Politik-Porno, dan Etika Keyakinan” (Kompas 29 September 2001, hal. 4) mengemukakan bahwa, semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu disebut sebagai “politik porno”. Bentuk politik porno antara lain: demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu, dan sebagainya. Apakah para politisi kita juga terlibat “Politik-Porno”? Apa bedanya mereka dengan pelacur? “Manakah yang lebih bermoral, pelacur yang baik atau oknum politikus yang melakukan politik porno yang jahat”? Apa bedanya seorang pelacur dengan seorang politikus? Apa jawabannya jika ada orang yang mengajukan pertanyaan demikian? Dalam masyarakat yang sudah terlanjur menistakan pelacur, sementara para politisi bisa beretorika mengenai kebaikkan, keadilan, kesejahteraan dan lain-lain sebagainya sambil menginjak-injak apa yang mereka sebut rakyat itu, pasti sulit untuk mendapatkan jawaban bahwa, pelacur yang baiklah yang bermoral. Atau jawaban lain adalah baik pelacur maupun oknum politikus sama-sama tidak bermoral, mereka sama-sama melacur. Hanya saja yang satu melacur dengan menggunakan (maaf) “anu”-nya, sedangkan yang satu lagi melacur dengan inteleknya (Gunawan, 1997).
Bermoralkah para politisi kita di DPR/DPRD yang mendapatkan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang semuanya dibayar dari uang hasil keringat rakyat (mungkin juga uang pinjaman luar negeri yang dalam hal ini akan menjadi beban rakyat juga sampai beranak-pinak), tetapi kurang atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan penderitaan dan perjuangan para pengungsi, petani, buruh tani, nelayan kaum cilik yang miskin yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah berjasa membuat mereka menjadi besar dan terhormat? Bukankah mereka itu seyogianya berpihak, membela dan memperjuangkan mayoritas masyarakat miskin agar bisa hidup selayaknya seperti orang-orang yang telah diangkatnya?
Fenomena kedua adalah kaum teknokrat/akademisi. Pertama, beberapa waktu lalu muncul berita heboh dari Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) tentang penjiplakan tesis oleh seorang dosen (mahasiswa program magister) dari Universitas Swasta yang bernaung di bawah Departemen Agama dan seorang pejabat tinggi (kandidat doktor). Menurut Rusli Karim (Ansori, 2000), fenomena jiblak-menjiblak karya ilmiah secara statistik berkisar antara 40 sampai 85 persen. Apakah perilaku plagiator karya ilmiah tersebut bermoral? Kedua, fenomena mulai melunturnya sikap kritis kaum akademisi (Sobary, Kompas tanggal 2 September 2001). Ketiga, oknum dosen/guru yang jarang mengajar/membimbing mahasiswa/siswa; dosen biasa diluar (kebalikan dari dosen luar biasa); pemimpin dosen/guru yang kurang memperhatikan atau berempati dengan nasib dosen/guru dan sivitas akademikanya. Keempat, mahasiswa/dosen yang memanipulasi data atau menyimpan hasil penelitian; dapat disebut sebagai dosen/guru atau seorang pemimpin dosen/guru yang bermoral?
Fenomena ketiga adalah kasus kaum birokrat/eksekutif. Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia, dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun 2001. Disamping itu, ternyata praktek korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%) bahkan lembaga keagamaan tidak luput dari korupsi (27,7%), (Kompas, hal 8, tanggal 17 September 2001). Pertanyaannya, siapakah yang melakukan tindakan korupsi tersebut? Bukankah mereka itu merupakan kaum terdidi, dan terlebih lagi merupakan orang-orang yang telah mengaku beragama, mengaku berjanji bahkan bersumpah kepada Tuhan-nya sebelum menjalankan tugas? Bermoralkah mereka ?.
Fenomena keempat adalah kasus kaum yudikatif. Menurut hasil pengumpulan (pooling) pendapat diketahui bahwa, perlakuan yang diterima warna negara selama ini 72,7 persen belum adil. Menurut responden tidak ada satu institusi keadilan di negeri ini yang sudah mempraktekan keadilan bagi masyarakat. Institusi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian pun belum mencerminkan keadilan (71 persen). Lebih parah lagi MA yang dipandang sebagai benteng akhir untuk mencari keadilan ternyata hanya 2/3 persen. Ketidakadilan ini tercermin dalam penuntasan berbagai kasus yang menyangkut politik, ekonomi, KKN, pelanggaran HAM, dan pelanggaran militer. Hilangnya kewibawaan kaum penegak hukum dalam menerapkan rasa keadilan masyarakat tampaknya menjadi batu sandungan kian terpuruknya lembaga peradilan di mata publik. Akhirnya masyarakat (responden) menyakini bahwa hanya 15 persen kebenaran hukum yang masih dipegang oleh penegak hukum (Kompas tanggal 8 Oktober 2001, halaman 8). Kasus pembebasan Tommy Soeharto merupakan fakta sejarah yang sulit untuk dibantah. Apakah perilaku tersebut bermoral?
Walaupun wajah moralitas kaum terdidik negeri kita nampak memprihatinkan, tetapi secara kasuistik masih saja ada orang yang memiliki integritas diri yang tinggi. Sobary dalam tulisannya: “Zaman Sontoloyo” (Kompas, 2 September 2001), mengemukakan antara lain: Munir, Baharuddi Lopa, Adi Andojo Sutjipto, Benjamin Mangkudilaga, Mulia Lubis, Sutradara Ginting, Malik Fajar, Cak Nur, dan yang lainnya. Disamping itu masih ada tokoh lain, seperti Bapak/Ibu dosen/guru, politisi/birokrat yang masih memiliki integritas diri yang tinggi .
Berdasarkan uraian tersebut, maka diajukan pertanyaan antara lain: “fenomena apakah yang sebenarnya telah melanda kaum terdidik, yaitu yang diwakili oleh kaum politisi, kaum birokrat, dan kaum teknokrat/akademisi, kaum yudikasi atau praktisi lainnya? Dekadensi moralkah? ataukah sesungguhnya telah terjadi transformasi nilai sehingga melahirkan moral baru yang membingungkan masyarakat terdidik lain ataupun masyarakat kebanyakan (non-terdidik)? Adakah korelasi antara moral kaum terdidik dengan tingkat pendidikan yang telah diraihnya?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian moral, moralitas, jenis-jenis moral, dan filsafat pendidikan.

III. Pengertian dan Jenis Moral
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa, konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian bagi Hegel kebebasan manusia bukan sekedar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial didalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu: (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c) tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif, yaitu Hegel menganggap bahwa Kant berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan, tak perlulah subjek setiap kali mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka ia harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Magnis Suseno, 1992).
Selaras dengan pendapat tersebut, Kattsoff (1996) menambahkan bahwa moral seseorang dapat ditilik dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat).
Tarumingkeng (2001) merangkum beberapa jenis moral yang dipetik dari berbagai sumber di internet (Tinjauan Ensiklopedi Filsafat), antara lain: (1) moral realism (moral berdasarkan kondisi yang nyata/realitas); (2) moral luck (moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan), (3) moral relativitism (moral yang bersifat relatif), (4) moral rational (moral berdasarkan penggunaan akal sehat atau prosedur rasional), (5) moral scepticism (moral yang menunjukkan sikap ragu-ragu karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun), dan (6) moral personhood (moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan pribadi atau merupakan bagian dari moral masyarakat. Moral masyarakat menyangkut semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal-hak dan kewajiban).

IV. ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan "what", misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how" sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.
Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis.
Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).
Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico).
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakekat ilmu. Oleh sebab itu, filsafat ilmu ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat ilmu tersebut, seperti :
1. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud hakiki objek tersebut ? Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, mengindera) ?
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apa kriterianya ? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
3. Untuk apa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma-norma moral / profesional ?
Ketiga kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologis.
Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut :
1. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.
2. Landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi seperti telah diuraikan diatas.
3. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta membagi peningkatan kualitas hidup manusia.

V. Moralitas Kaum Terdidik
Mencermati berbagai realitas moral yang diperankan oleh kaum politisi, kaum teknokrat/akademisi, kaum bikokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, maka apa jawabannya terhadap moral mereka? Tidak bermoralkah? Berdasarkan tinjauan jenis-jenis moral yang berkembang seiring era globalisasi, maka jawabannya, adalah bahwa mereka semua bermoral. Pelacur atau pekerja seks komersialpun bermoral, hanya saja masing-masing orang/pribadi menganut nilai-nilai moral yang berbeda, dan masing-masing pribadi menilai moral orang lain berdasarkan pandangan pribadinya yang diduga bertentangan dengan moral orang lain (I know, but Others not know, or I do not know, but Others know).
Berdasarkan perilaku (overt behavior) yang dimainkan oleh kaum politisi, yaitu perilaku “money politics”, “money game” dan “politik-porno”, maka dapat disimpulkan dari sudut pandang masyarakat (pandangan objektivitas) versi Hegel, bahwa moral yang dianut oleh kaum politisi adalah moral luck, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan. Hal ini disebabkan oleh faktor kapasitas, temparamen, cara bertindak dan adanya proyeksi tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Hagel (Tarumingkeng, 2001) yang mengemukakan bahwa, ada empat faktor keberuntungan yang berperan dalam menentukan moral seseorang, yaitu: (1) Constitutive Luck, yaitu menyangkut kecenderungan, kapasitas dan temperamen seseorang; (2) Circumstantial Luck, yaitu menyangkut jenis masalah dan situasi yang dihadapi; (3) Causal luck, yaitu menyangkut bagaimana sesuatu ditentukan oleh keadaan sebelumnya, dan (4) Resultante Luck, yaitu menyangkut cara seseorang bertindak dan memproyeksikan sesuatu hal. Disisi lain, dari sudut pandang subjektivitas versi Kant, kaum politisi bisa memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa, kami menganut moral relativitism. Menurut Pratogoras (Tarumingkeng, 2001) moral relativitism adalah “man is the measure of all things, atau “a human being is measure by all things” Selanjutnya disebutkan bahwa moral relativitism dibangun berdasarkan perilaku seseorang dan nilai budaya/tradisi yang dianutnya. Dengan demikian akan muncul dilema moral antara “rakyat” dengan “wakil rakyat” yang akan menghasilkan conflict of interest pada akan berakhir dengan konflik sosial.
Bagaimana dengan moral kaum teknokrat/akademisi? Tidak bermoralkah mereka? Kasus jiplak-menjiplak skripsi/tesis/disertasi, kasus dosen/guru “biasa diluar”, kasus pemimpin dosen/guru yang kurang berempati terhadap bawahannya, kasus sikap kurang kritis dari sudut pandang subjektivitas dapat dikategorikan dalam moral luck dan moral relativitism. Sejauh pertimbangan nilai menguntungkan pribadi secara relatif, maka moral tersebutlah yang dianut. Tetapi dari sudut pandang tata nilai sosial (pandangan objektivisme) moral yang dianutnya berseberangan dengan moral rational. Demikian pula dengan sikap kurang kritis dapat disebut sebagai moral scepticism.
Kaum birokrat/eksekutif menjadi fokus pembicaraan mengenai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Di negara yang mengaku beragama ternyata tingkat korupsinya semakin mencengangkan, sekaligus memilukan nurani. Apakah para birokrat atau penyelenggara ini tidak bermoral? Jawabannya tidak, ternyata moral yang mereka anut sama-sama kompak dengan moral-nya kaum politisi dan kaum akademisi, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif sesuai dengan nilai budayanya. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan. Jika masyarakat menggugat, maka mungkin pula “politik porno” yang diturunkan untuk “mengamankan” masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi jika moral luck ini semakin membudaya, maka diduga akan tinggal hitung tahun saja Indonesia bisa bangkrut, colaps dan akhirnya bisa menjadi senasib dengan negara Yogoslavia dan Uni soviet.
Bagaimana dengan moral kaum yudikatif? Berdasarkan data hasil pooling pendapat tersebut, ternyata lembaga-lembaga peradilan belum mencerminkan keadilan. Faktor apakah yang menyebabkan demikian? Apakah ada “money game”? yang jelas ada indikasi kearah itu. Jawabannya ya, moral yang mereka sama dengan moral-nya kaum politisi, kaum akademisi, dan birokrat, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan bahkan dikebiri.
Budaya moral luck, moral relativism, dan moral scepticism tersebut jika dibiarkan berkembang, maka akan menimbulkan petaka bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian strategi yang dilakukan adalah: “strategi membasmi tikus dengan menggunakan perangkap” ataukah “menangkap kelinci dengan memakai jerat”. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang mampu melakukan strategi tersebut?

VI. Qua Vadis Moralitas Kaum Terdidik ?
Mencermati perilaku moral yang sedang dianut oleh kaum politisi, teknokrat/ akademisi, dan kaum birokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, baik di tataran pusat maupun daerah; dan dalam rangka pembangunan Indonesia Baru, yaitu: Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; Indonesia yang steril dari kerusuhan dan pengungsian; Indonesia yang memiliki “good-governance”; Indonesia yang dapat mengejar ketertinggalan pendidikan, dan Indonesia yang maju dan mandiri, maka kaum terdidik di perlu melakukan beberapa strategi antara lain:
1. Reorientasi Moral Kaum Terdidik
Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pembangunan pada akhirnya akan dapat meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat jika semua stake-holder pembangunan memiliki nilai-nilai intrinsik yang tinggi (Kartasasmita, 1996). Pembangunan yang dilakukan dengan landasan moral luck dan moral relativitism akan menggerogoti dan akhirnya meruntuhkan masyarakat dan negara itu sendiri. Demikian pula pembangunan masyarakat Indonesia perlu ditinjau kembali berdasarkan kearifan global dan lokal dalam hidup berbagai aspek kehidupan. Pertama-tama harus dimulai dari dalam diri (keluarga) kaum terdidik yang duduk di birokrasi/eksekutif, legistatif, yudikatif, perguruan tinggi, lembaga keagamaan, lembaga bisnis, dan para praktisi (LSM). Reorientasi moral dari moral luck, moral relativitism dan moral scepticism ke moral rational; dan moral realism mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia Baru. Kaum terdidik sebagai bagian dari komunitas sosial perlu mempertimbangkan atau melakukan akuntabilitas publik terhadap profesinya, karena kehidupan kaum terdidik ibarat pelita yang terletak di atas sebuah gunung yang dapat menerangi keremangan dan kegelapan kehidupan, dan ibarat garam yang dapat memberikan cita rasa terhadap kebusukan dan kelestarian Bangsa Indonesia.
2. Reaktualisasi Modal Sosial
Reorientasi moral kaum terdidik belumlah cukup, tetapi masih harus diperkaya dan dikembangkan dengan investasi sumberdaya manusia yang memiliki peran strategis dalam membangun Indonesia dimasa kini dan mendatang. Reaktualisasi modal sosial (social capital), seperti: kejujuran, kepercayaan, kesediaan dan kemampuan untuk bekerjasama-berkoordinasi, penjadwalan waktu dengan tepat, kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya pembangunan merupakan hal yang fundamental dalam melengkapi kesucian hati nurani. Hal ini perlu dilakukan mengingat pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih mengutamakan aspek ekonomi, yang akhirnya memunculkan sejumlah masalah dan bencana nasional, seperti: ketimpangan sosial, disparitas pendapatan yang mencolok, ketidakadilan, ketidakmerataan hasil pembangunan, kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan dan sebagainya. Disinilah letaknya bias program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian diperlukan sikap kearifan lokal dalam membangun manusia di daerah masih-masing sesuai spesifik lokasinya. Pembangunan ekonomi yang dilakukan seiring dengan pembangunan modal sosial pelaksana dan penerima manfaat pembangunan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan itu sendiri.
Seorang dosen lulusan program magister (S-2) dan program doktor (S-3) di Jepang pernah berceritera di depan kelas, dan setelahnya mengajukan satu pertanyaan kepada para mahasiswa program magister. Pertanyaannya sederhana: “apakah yang menyebabkan negara Jepang itu maju”? jawabannya singkat, yaitu: karena mereka memiliki “kejujuran” pada hati nuraninya alias mereka memiliki modal sosial yang tinggi. Jika mereka kedapatan melakukan suatu kesalahan dalam pemerintahan maka mereka dengan berjiwa besar untuk mengundurkan diri. Berbeda sekali dengan di Indonesia, bangga kalau korupsi, bangga pamer harta hasil korupsi, bangga kalau menceriterakan jumlah persenan yang diterima dari hasil kolusi proyek-proyek, padahal sebelum jadi pimpro atau pimpinan biasa saja.
Tak terasa sudah kurang lebih empat tahun krismon melanda Indonesia, tetapi nampaknya tidak seorangpun pejabat, birokrat, anggota dewan, dan pimpinan perguruan tinggi yang mengundurkan diri (kecuali Soeharto dipaksa untuk mundur) dari jabatan karena ketidak-mampuannya mengatasi masalah krismon. Yang terjadi hanya bongkar pasang presiden, bongkar pasang angota kabinet, terjebak isu global tentang “insiden WTC” yang akhirnya ibarat “memercik air di dulang”. Masyarakat non-terdidik bertanya-tanya kalau sampai mereka yang bergelar sarjana/insinyur, master, doktor, dan profesor yang jumlahnya berlimpah ruah tidak mampu memecahkan masalah krismon, masalah politik porno, lalu apa gunanya pendidikan yang diperolehnya itu?
3. Transformasi Pendidikan
Mengacu pada fenomena perilaku moral yang dilakukan oleh kaum terdidik, maka dapat ditarik suatu simpulan sementara bahwa, jenjang pendidikan tinggi yang diperoleh ternyata cenderung berkorelasi secara negatif dengan moral kaum terdidik, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka moralnya cenderung semakin rendah. Gejala ini dikarenakan oleh beberapa fakfor, antara lain:
Pertama, karakteristik personal dari orang yang bersangkutan, seperti: motivasi yang terkait dengan kebutuhan dasar (basic needs) atau rendahnya tingkat pendapatan. Fakta yang ada, yaitu seorang profesor (guru besar) yang mengajar di perguruan tinggi gajinya relatif rendah dibandingkan dengan gaji seorang manajer atau direktur sebuah perusahan swasta. Honor konsultan asing biasanya dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan konsultan dalam negeri padahal kemampuannya tidak diragukan.
Kedua, karakteristik situasional, yaitu: kebijakan pemerintah terhadap kaum terdidik, yaitu rendahnya pengakuan (recognation) pemerintah terhadap kemampuan kaum terdidik. Contohnya, yaitu terbatasnya dana pendidikan. Hal ini telah menimbulkan berbagai konsekuensi dalam bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Terbatasnya dana beasiswa untuk mahasiswa pascasarjana di dalam negeri turut mempengaruhi daya beli terhadap buku dan kemampuan melakukan penelitian, dan lain sebagainya.
Ketiga, sistem pendidikan. Pasca penerbitan UU Sisdiknas, program pendidikan nasional dapat dinilai hanya sebatas melahirkan “manusia karet”. Hal ini dikarenakan oleh kepemihakan program pendidikan pada pengembangan logika (ilmu pengetahuan), dan meredusir pendidikan budi pekerti (etika dan estetika). Disarankan agar pendidikan harus dikembalikan pada dinamika kultural Bangsa Indonesia. Abdul Malik Fajar (Mendiknas) mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus ada dalam mengembangkan pendidikan, yaitu: (1) pertumbuhan, (2) perubahan, (3) pembaharuan, dan (4) kontinuitas.
Mencermati realitas pendidikan Indonesia, maka diperlukan perhatian kebijakan pemerintah terhadap pengakuan kaum terdidik, khususnya mengenai kesejahteraan, peningkatan dana pendidikan, dan khususnya diperlukan transformasi dalam sistem pendidikan formal dari yang bersifat pragmatis ke arah filsafat aliran neoposivitisme, yaitu dari aspek filsafat dan pendidikan, seperti dirangkum oleh Mudyahardjo (2001), sebagai berikut:
1. Aspek Filsafat
(a) Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan yang diungkap oleh ilmu-ilmu kealaman. Bentuk kenyataan yang sebenarnya adalah sebuah jaringan hubungan sebab-akibat yang berlangsung dalam waktu dan tempat atau spatio temporal-causal network.
(b) Humanologi
Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan tubuh (monistik). Manusia adalah homo sapiens sehinga merupakan: (a) animal symbolicum, yaitu binatang yang memiliki bahasa yang mempunyai aturan-aturan sintaksis, semantis dan pragmatik, dan, (b) animal rationale, yaitu mempunyai kemampuan berpikir ilmiah atau berpikir tersusun sistematis, dan berpikir reflektif kritis atau memperkirakan dasar pemikiran.
(c) Epistemologi
Sumber pengetahuan adalah penginderaan. Penginderaan hanya dapat menangkap peristiwa-peristiwa tinggal dan material. Pengetahuan merupakan hasil pengolahan dengan menggunakan logika induktif terhadap fakta hasil penginderaan. Logika tersusun dari aturan-aturan sintaksis. Pernyataan tidak semalanya mempunyai makna. Sebuah pernyataan mempunyai makna apabila: (a) dapat dibuktikan kebenarannya secara intersubjektif atau pembuktian mudah dilakukan sekurang-kurangnya dua orang, dan (b) berdasarkan hukum-hukum sintaksis bahasa atau hukum-hukumpenyusunan bentuk kalimat.
(d) Aksiologi
Tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat bio-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.

2. Aspek Pendidikan
(a) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan bersifat sosial atau tak langsung adalah membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, moral yang bersifat biopsiko-sosiochonomik sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (1) berpikir jernih, (2) penyimpulan yang mantap dan tepat, (3) mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (4) objektivitas, (5) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan. Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah, sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
(b) Kurikulum Pendidikan
Mengutamakan pendidikan intelektual (ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan pendidikan teknologi, matematika, pendidikan bahasa) dan pendidikan moral. Pendidikan moral untuk mengembangkan kebajikan: (1) sikap berusaha mencapai kesempurnaan diri, (2) sikap adil, (3) sikap jujur, tidak memihak, (4) sikap mengakui kesamaan antara sesama manusia.
(c) Metode pendidikan
Pengajaran ilmu dipraktekan sebagai seni. Pengajaran ilmu untuk hal-hal pokok diajarkan melalui eksperimen/latihan intelektual. Pendidikan moral diajarkan melalui pembiasaan moral berdasarkan prinsip otonomi fungsional, dengan cara atau proses, yaitu: (1) seseorang menerima nilai-nilai dari luar melalui belajar dari ilmu dan/atau yang diperkenalkan orang lain melalui teladan dan/atau perintah. Nilai-nilai ini merupakan nilai pinjaman yang bersifat instrumental atau dapat dipakai sebagai alat penolong sementara dalam mempertimbangkan apakah suatu tindakan akan dilakukan atau tidak, dan (2) melalui penggunaan nilai-nilai pinjaman yang bersifat sementara berangsur-angsur menjadi nilai-nilai yang diakui sebagai milik sendiri yang mantap tertanam menjadi dasar pertimbangan moral sesuatu tindakan.
(d) Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik kurang dilengkapi dengan instink, tetapi mempunyai kemampuan terpendam yang memungkinkan dirinya untuk berpikir pada tingkatan yang tertinggi. Peserta didik tidak hanya pasif menerima bantuan, tetapi aktif melakukan latihan dan peniruan. Para pendidik bertugas: (1) melatih intelektual dan vokasional, (2) menyajikan informasi secara sistematis, (3) membimbing. Dalam pendidikan moral sebagai pembentukan kesadaran moral atau pembentukan superego, pendidik berperan sebagai: (1) memberi ganjaran, dan (2) memberi hukuman.

VII. Penutup
Dampak globalisasi telah menimbulkan transformasi nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran akan hak-hak personal seseorang semakin tinggi, kehidupan yang cenderung semakin individualis, semakin permisif, dan lunturnya nilai-nilai intrinsik. Moral kaum terdidik yang diwujudkan dalam berperilaku cenderung mengedepankan moral luck, moral scepticism, moral relativitism, yaitu moral yang cenderung subjektif yang menguntungkan pribadi. Sedangkan moral masyarakat non-terdidik lainnya dianggapnya citeris paribus. Masyarakat non-terdidik masih mengharapkan pencerahan, keteladan hidup, dan berbagi kehidupan yang lebih adil, merata, arif dan bijaksana dalam menuju suatu tatanan kehidupan bersama yang lebih baik dan lebih sejahtera, dan lebih mandiri.
Akhirnya, selagi kaum terdidik diberi gelar, diberi jabatan, diberi kedudukan, diberi peran dalam bentuk apapun, maka biarlah semuanya itu digunakan untuk melayani sesama di Republik Indonesia ini, khususnya bagi kaum non-terdidik.



PUSTAKA
Anshori, D. S., (Ed.) 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat. Otosentrisitas Pendidikan dalam Wacana Politik Pembangunan Alqaprint, Jatinangor, Bandung.
Fajar, M., Pendidikan Harus Bisa Membekali Lulusannya Menghadapi Kehidupan. Harian Kompas Tanggal 15 September 2001.
Gunawan, F.X. R., 1997. Pelacur dan Politikus. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
Haryatmoko, 2001. Terorisme, Politik Porno, dan Etika Kenyakinan. Kompas. Jakarta
Hettne, B., 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kattsoff, L. O., 1996. Pengatar Filsafat. Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.
Kompas, Tanggal 5 dan 17 September 2001.
Kompas, Tanggal 8 dan 14 Oktober 2001.
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Suatu Pengantar.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Nurudin, 2001. Komunikasi Propaganda. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Suseno, F. M., 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Suriasumantri, J. S., 2000. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar harapan. Jakarta.
Sobary, M., 2001. Zaman Sontoloyo. Harian Kompas. Tanggal 2 September 2001.
Tarumingkeng, R. C., 2001. Kumpulan Bahan/Materi Kuliah Pengantar Falsafah Sains (dalam bentuk CD). IPB. Bogor.
Taruma, T. Kompas Tanggal 22 September 2001.
Tilaar, H.A.R., 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi. Visi, Misi, dan program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Grasindo. Jakarta.