I. Pendahuluan
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Malcolm Waters (Tilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etno-space, techno-space, finance-space, media-space, idea-space, dan sacri-space. Dengan demikian universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi era global berikutnya. Apakah pembangunan versi “pribuminisme” mampu mempertahankan hegemoni pembangunan eropasentrisme, amerikasentrisme atau modernisasi dalam era globalisasi? (Hettne (2001). Moralitas yang bagaimanakah yang akan dianut oleh masyarakat kebanyakkan, khususnya kaum terdidik, yaitu mereka yang telah menyelesaikan pendidikan formal minimal strata satu. Apakah telah terjadi transformasi nilai-nilai ataukah sebaliknya tetap berpegang (conformed) pada nilai-nilai tradisional sambil melakukan pembangunan? Apakah nilai-nilai yang dianutnya bisa dianggap benar? Inilah beberapa pertanyaan yang akan ditelusuri jawabannya dari sudut pandang filsafat ilmu sebagai bahan perenungan bagi kaum terdidik dalam melakukan peran kepemimpinan dalam membangun Masyarakat Indonesia.
II. Realitas Moral Kaum Terdidik
Beberapa informasi dari berbagai media massa tercetak maupun elektronik, yang sifatnya kasuistik tetapi menarik untuk dikritisi, antara lain:
Fenomena pertama adalah kaum politisi. “money politics” dan “money game” merupakan istilah yang sudah sangat populer pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass-root). Istilah tersebut sudah tidak lagi menjadi rahasia umum, bahkan cenderung menjadi semacam sinisme yang ditujukan terhadap kaum politisi. Demikian pula di lembaga legislatif (DPR/DPRD) budaya “datang, duduk, diam-diam dapat “traveller”s cheque” (Kompas, 23 September 2001 halaman 23) diduga hanya merupakan salah satu temuan yang terjadi secara kebetulan. Haryatmoko mengutip pendapat Yves Michaud (1976) dalam tulisannya berjudul “Terorisme, Politik-Porno, dan Etika Keyakinan” (Kompas 29 September 2001, hal. 4) mengemukakan bahwa, semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu disebut sebagai “politik porno”. Bentuk politik porno antara lain: demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu, dan sebagainya. Apakah para politisi kita juga terlibat “Politik-Porno”? Apa bedanya mereka dengan pelacur? “Manakah yang lebih bermoral, pelacur yang baik atau oknum politikus yang melakukan politik porno yang jahat”? Apa bedanya seorang pelacur dengan seorang politikus? Apa jawabannya jika ada orang yang mengajukan pertanyaan demikian? Dalam masyarakat yang sudah terlanjur menistakan pelacur, sementara para politisi bisa beretorika mengenai kebaikkan, keadilan, kesejahteraan dan lain-lain sebagainya sambil menginjak-injak apa yang mereka sebut rakyat itu, pasti sulit untuk mendapatkan jawaban bahwa, pelacur yang baiklah yang bermoral. Atau jawaban lain adalah baik pelacur maupun oknum politikus sama-sama tidak bermoral, mereka sama-sama melacur. Hanya saja yang satu melacur dengan menggunakan (maaf) “anu”-nya, sedangkan yang satu lagi melacur dengan inteleknya (Gunawan, 1997).
Bermoralkah para politisi kita di DPR/DPRD yang mendapatkan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang semuanya dibayar dari uang hasil keringat rakyat (mungkin juga uang pinjaman luar negeri yang dalam hal ini akan menjadi beban rakyat juga sampai beranak-pinak), tetapi kurang atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan penderitaan dan perjuangan para pengungsi, petani, buruh tani, nelayan kaum cilik yang miskin yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah berjasa membuat mereka menjadi besar dan terhormat? Bukankah mereka itu seyogianya berpihak, membela dan memperjuangkan mayoritas masyarakat miskin agar bisa hidup selayaknya seperti orang-orang yang telah diangkatnya?
Fenomena kedua adalah kaum teknokrat/akademisi. Pertama, beberapa waktu lalu muncul berita heboh dari Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) tentang penjiplakan tesis oleh seorang dosen (mahasiswa program magister) dari Universitas Swasta yang bernaung di bawah Departemen Agama dan seorang pejabat tinggi (kandidat doktor). Menurut Rusli Karim (Ansori, 2000), fenomena jiblak-menjiblak karya ilmiah secara statistik berkisar antara 40 sampai 85 persen. Apakah perilaku plagiator karya ilmiah tersebut bermoral? Kedua, fenomena mulai melunturnya sikap kritis kaum akademisi (Sobary, Kompas tanggal 2 September 2001). Ketiga, oknum dosen/guru yang jarang mengajar/membimbing mahasiswa/siswa; dosen biasa diluar (kebalikan dari dosen luar biasa); pemimpin dosen/guru yang kurang memperhatikan atau berempati dengan nasib dosen/guru dan sivitas akademikanya. Keempat, mahasiswa/dosen yang memanipulasi data atau menyimpan hasil penelitian; dapat disebut sebagai dosen/guru atau seorang pemimpin dosen/guru yang bermoral?
Fenomena ketiga adalah kasus kaum birokrat/eksekutif. Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia, dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun 2001. Disamping itu, ternyata praktek korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%) bahkan lembaga keagamaan tidak luput dari korupsi (27,7%), (Kompas, hal 8, tanggal 17 September 2001). Pertanyaannya, siapakah yang melakukan tindakan korupsi tersebut? Bukankah mereka itu merupakan kaum terdidi, dan terlebih lagi merupakan orang-orang yang telah mengaku beragama, mengaku berjanji bahkan bersumpah kepada Tuhan-nya sebelum menjalankan tugas? Bermoralkah mereka ?.
Fenomena keempat adalah kasus kaum yudikatif. Menurut hasil pengumpulan (pooling) pendapat diketahui bahwa, perlakuan yang diterima warna negara selama ini 72,7 persen belum adil. Menurut responden tidak ada satu institusi keadilan di negeri ini yang sudah mempraktekan keadilan bagi masyarakat. Institusi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian pun belum mencerminkan keadilan (71 persen). Lebih parah lagi MA yang dipandang sebagai benteng akhir untuk mencari keadilan ternyata hanya 2/3 persen. Ketidakadilan ini tercermin dalam penuntasan berbagai kasus yang menyangkut politik, ekonomi, KKN, pelanggaran HAM, dan pelanggaran militer. Hilangnya kewibawaan kaum penegak hukum dalam menerapkan rasa keadilan masyarakat tampaknya menjadi batu sandungan kian terpuruknya lembaga peradilan di mata publik. Akhirnya masyarakat (responden) menyakini bahwa hanya 15 persen kebenaran hukum yang masih dipegang oleh penegak hukum (Kompas tanggal 8 Oktober 2001, halaman 8). Kasus pembebasan Tommy Soeharto merupakan fakta sejarah yang sulit untuk dibantah. Apakah perilaku tersebut bermoral?
Walaupun wajah moralitas kaum terdidik negeri kita nampak memprihatinkan, tetapi secara kasuistik masih saja ada orang yang memiliki integritas diri yang tinggi. Sobary dalam tulisannya: “Zaman Sontoloyo” (Kompas, 2 September 2001), mengemukakan antara lain: Munir, Baharuddi Lopa, Adi Andojo Sutjipto, Benjamin Mangkudilaga, Mulia Lubis, Sutradara Ginting, Malik Fajar, Cak Nur, dan yang lainnya. Disamping itu masih ada tokoh lain, seperti Bapak/Ibu dosen/guru, politisi/birokrat yang masih memiliki integritas diri yang tinggi .
Berdasarkan uraian tersebut, maka diajukan pertanyaan antara lain: “fenomena apakah yang sebenarnya telah melanda kaum terdidik, yaitu yang diwakili oleh kaum politisi, kaum birokrat, dan kaum teknokrat/akademisi, kaum yudikasi atau praktisi lainnya? Dekadensi moralkah? ataukah sesungguhnya telah terjadi transformasi nilai sehingga melahirkan moral baru yang membingungkan masyarakat terdidik lain ataupun masyarakat kebanyakan (non-terdidik)? Adakah korelasi antara moral kaum terdidik dengan tingkat pendidikan yang telah diraihnya?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian moral, moralitas, jenis-jenis moral, dan filsafat pendidikan.
III. Pengertian dan Jenis Moral
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa, konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian bagi Hegel kebebasan manusia bukan sekedar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial didalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu: (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c) tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif, yaitu Hegel menganggap bahwa Kant berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan, tak perlulah subjek setiap kali mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka ia harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Magnis Suseno, 1992).
Selaras dengan pendapat tersebut, Kattsoff (1996) menambahkan bahwa moral seseorang dapat ditilik dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat).
Tarumingkeng (2001) merangkum beberapa jenis moral yang dipetik dari berbagai sumber di internet (Tinjauan Ensiklopedi Filsafat), antara lain: (1) moral realism (moral berdasarkan kondisi yang nyata/realitas); (2) moral luck (moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan), (3) moral relativitism (moral yang bersifat relatif), (4) moral rational (moral berdasarkan penggunaan akal sehat atau prosedur rasional), (5) moral scepticism (moral yang menunjukkan sikap ragu-ragu karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun), dan (6) moral personhood (moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan pribadi atau merupakan bagian dari moral masyarakat. Moral masyarakat menyangkut semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal-hak dan kewajiban).
IV. ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan "what", misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how" sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.
Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis.
Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).
Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico).
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakekat ilmu. Oleh sebab itu, filsafat ilmu ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat ilmu tersebut, seperti :
1. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud hakiki objek tersebut ? Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, mengindera) ?
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apa kriterianya ? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
3. Untuk apa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma-norma moral / profesional ?
Ketiga kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologis.
Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut :
1. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.
2. Landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi seperti telah diuraikan diatas.
3. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta membagi peningkatan kualitas hidup manusia.
V. Moralitas Kaum Terdidik
Mencermati berbagai realitas moral yang diperankan oleh kaum politisi, kaum teknokrat/akademisi, kaum bikokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, maka apa jawabannya terhadap moral mereka? Tidak bermoralkah? Berdasarkan tinjauan jenis-jenis moral yang berkembang seiring era globalisasi, maka jawabannya, adalah bahwa mereka semua bermoral. Pelacur atau pekerja seks komersialpun bermoral, hanya saja masing-masing orang/pribadi menganut nilai-nilai moral yang berbeda, dan masing-masing pribadi menilai moral orang lain berdasarkan pandangan pribadinya yang diduga bertentangan dengan moral orang lain (I know, but Others not know, or I do not know, but Others know).
Berdasarkan perilaku (overt behavior) yang dimainkan oleh kaum politisi, yaitu perilaku “money politics”, “money game” dan “politik-porno”, maka dapat disimpulkan dari sudut pandang masyarakat (pandangan objektivitas) versi Hegel, bahwa moral yang dianut oleh kaum politisi adalah moral luck, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan. Hal ini disebabkan oleh faktor kapasitas, temparamen, cara bertindak dan adanya proyeksi tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Hagel (Tarumingkeng, 2001) yang mengemukakan bahwa, ada empat faktor keberuntungan yang berperan dalam menentukan moral seseorang, yaitu: (1) Constitutive Luck, yaitu menyangkut kecenderungan, kapasitas dan temperamen seseorang; (2) Circumstantial Luck, yaitu menyangkut jenis masalah dan situasi yang dihadapi; (3) Causal luck, yaitu menyangkut bagaimana sesuatu ditentukan oleh keadaan sebelumnya, dan (4) Resultante Luck, yaitu menyangkut cara seseorang bertindak dan memproyeksikan sesuatu hal. Disisi lain, dari sudut pandang subjektivitas versi Kant, kaum politisi bisa memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa, kami menganut moral relativitism. Menurut Pratogoras (Tarumingkeng, 2001) moral relativitism adalah “man is the measure of all things, atau “a human being is measure by all things” Selanjutnya disebutkan bahwa moral relativitism dibangun berdasarkan perilaku seseorang dan nilai budaya/tradisi yang dianutnya. Dengan demikian akan muncul dilema moral antara “rakyat” dengan “wakil rakyat” yang akan menghasilkan conflict of interest pada akan berakhir dengan konflik sosial.
Bagaimana dengan moral kaum teknokrat/akademisi? Tidak bermoralkah mereka? Kasus jiplak-menjiplak skripsi/tesis/disertasi, kasus dosen/guru “biasa diluar”, kasus pemimpin dosen/guru yang kurang berempati terhadap bawahannya, kasus sikap kurang kritis dari sudut pandang subjektivitas dapat dikategorikan dalam moral luck dan moral relativitism. Sejauh pertimbangan nilai menguntungkan pribadi secara relatif, maka moral tersebutlah yang dianut. Tetapi dari sudut pandang tata nilai sosial (pandangan objektivisme) moral yang dianutnya berseberangan dengan moral rational. Demikian pula dengan sikap kurang kritis dapat disebut sebagai moral scepticism.
Kaum birokrat/eksekutif menjadi fokus pembicaraan mengenai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Di negara yang mengaku beragama ternyata tingkat korupsinya semakin mencengangkan, sekaligus memilukan nurani. Apakah para birokrat atau penyelenggara ini tidak bermoral? Jawabannya tidak, ternyata moral yang mereka anut sama-sama kompak dengan moral-nya kaum politisi dan kaum akademisi, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif sesuai dengan nilai budayanya. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan. Jika masyarakat menggugat, maka mungkin pula “politik porno” yang diturunkan untuk “mengamankan” masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi jika moral luck ini semakin membudaya, maka diduga akan tinggal hitung tahun saja Indonesia bisa bangkrut, colaps dan akhirnya bisa menjadi senasib dengan negara Yogoslavia dan Uni soviet.
Bagaimana dengan moral kaum yudikatif? Berdasarkan data hasil pooling pendapat tersebut, ternyata lembaga-lembaga peradilan belum mencerminkan keadilan. Faktor apakah yang menyebabkan demikian? Apakah ada “money game”? yang jelas ada indikasi kearah itu. Jawabannya ya, moral yang mereka sama dengan moral-nya kaum politisi, kaum akademisi, dan birokrat, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan bahkan dikebiri.
Budaya moral luck, moral relativism, dan moral scepticism tersebut jika dibiarkan berkembang, maka akan menimbulkan petaka bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian strategi yang dilakukan adalah: “strategi membasmi tikus dengan menggunakan perangkap” ataukah “menangkap kelinci dengan memakai jerat”. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang mampu melakukan strategi tersebut?
VI. Qua Vadis Moralitas Kaum Terdidik ?
Mencermati perilaku moral yang sedang dianut oleh kaum politisi, teknokrat/ akademisi, dan kaum birokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, baik di tataran pusat maupun daerah; dan dalam rangka pembangunan Indonesia Baru, yaitu: Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; Indonesia yang steril dari kerusuhan dan pengungsian; Indonesia yang memiliki “good-governance”; Indonesia yang dapat mengejar ketertinggalan pendidikan, dan Indonesia yang maju dan mandiri, maka kaum terdidik di perlu melakukan beberapa strategi antara lain:
1. Reorientasi Moral Kaum Terdidik
Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pembangunan pada akhirnya akan dapat meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat jika semua stake-holder pembangunan memiliki nilai-nilai intrinsik yang tinggi (Kartasasmita, 1996). Pembangunan yang dilakukan dengan landasan moral luck dan moral relativitism akan menggerogoti dan akhirnya meruntuhkan masyarakat dan negara itu sendiri. Demikian pula pembangunan masyarakat Indonesia perlu ditinjau kembali berdasarkan kearifan global dan lokal dalam hidup berbagai aspek kehidupan. Pertama-tama harus dimulai dari dalam diri (keluarga) kaum terdidik yang duduk di birokrasi/eksekutif, legistatif, yudikatif, perguruan tinggi, lembaga keagamaan, lembaga bisnis, dan para praktisi (LSM). Reorientasi moral dari moral luck, moral relativitism dan moral scepticism ke moral rational; dan moral realism mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia Baru. Kaum terdidik sebagai bagian dari komunitas sosial perlu mempertimbangkan atau melakukan akuntabilitas publik terhadap profesinya, karena kehidupan kaum terdidik ibarat pelita yang terletak di atas sebuah gunung yang dapat menerangi keremangan dan kegelapan kehidupan, dan ibarat garam yang dapat memberikan cita rasa terhadap kebusukan dan kelestarian Bangsa Indonesia.
2. Reaktualisasi Modal Sosial
Reorientasi moral kaum terdidik belumlah cukup, tetapi masih harus diperkaya dan dikembangkan dengan investasi sumberdaya manusia yang memiliki peran strategis dalam membangun Indonesia dimasa kini dan mendatang. Reaktualisasi modal sosial (social capital), seperti: kejujuran, kepercayaan, kesediaan dan kemampuan untuk bekerjasama-berkoordinasi, penjadwalan waktu dengan tepat, kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya pembangunan merupakan hal yang fundamental dalam melengkapi kesucian hati nurani. Hal ini perlu dilakukan mengingat pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih mengutamakan aspek ekonomi, yang akhirnya memunculkan sejumlah masalah dan bencana nasional, seperti: ketimpangan sosial, disparitas pendapatan yang mencolok, ketidakadilan, ketidakmerataan hasil pembangunan, kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan dan sebagainya. Disinilah letaknya bias program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian diperlukan sikap kearifan lokal dalam membangun manusia di daerah masih-masing sesuai spesifik lokasinya. Pembangunan ekonomi yang dilakukan seiring dengan pembangunan modal sosial pelaksana dan penerima manfaat pembangunan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan itu sendiri.
Seorang dosen lulusan program magister (S-2) dan program doktor (S-3) di Jepang pernah berceritera di depan kelas, dan setelahnya mengajukan satu pertanyaan kepada para mahasiswa program magister. Pertanyaannya sederhana: “apakah yang menyebabkan negara Jepang itu maju”? jawabannya singkat, yaitu: karena mereka memiliki “kejujuran” pada hati nuraninya alias mereka memiliki modal sosial yang tinggi. Jika mereka kedapatan melakukan suatu kesalahan dalam pemerintahan maka mereka dengan berjiwa besar untuk mengundurkan diri. Berbeda sekali dengan di Indonesia, bangga kalau korupsi, bangga pamer harta hasil korupsi, bangga kalau menceriterakan jumlah persenan yang diterima dari hasil kolusi proyek-proyek, padahal sebelum jadi pimpro atau pimpinan biasa saja.
Tak terasa sudah kurang lebih empat tahun krismon melanda Indonesia, tetapi nampaknya tidak seorangpun pejabat, birokrat, anggota dewan, dan pimpinan perguruan tinggi yang mengundurkan diri (kecuali Soeharto dipaksa untuk mundur) dari jabatan karena ketidak-mampuannya mengatasi masalah krismon. Yang terjadi hanya bongkar pasang presiden, bongkar pasang angota kabinet, terjebak isu global tentang “insiden WTC” yang akhirnya ibarat “memercik air di dulang”. Masyarakat non-terdidik bertanya-tanya kalau sampai mereka yang bergelar sarjana/insinyur, master, doktor, dan profesor yang jumlahnya berlimpah ruah tidak mampu memecahkan masalah krismon, masalah politik porno, lalu apa gunanya pendidikan yang diperolehnya itu?
3. Transformasi Pendidikan
Mengacu pada fenomena perilaku moral yang dilakukan oleh kaum terdidik, maka dapat ditarik suatu simpulan sementara bahwa, jenjang pendidikan tinggi yang diperoleh ternyata cenderung berkorelasi secara negatif dengan moral kaum terdidik, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka moralnya cenderung semakin rendah. Gejala ini dikarenakan oleh beberapa fakfor, antara lain:
Pertama, karakteristik personal dari orang yang bersangkutan, seperti: motivasi yang terkait dengan kebutuhan dasar (basic needs) atau rendahnya tingkat pendapatan. Fakta yang ada, yaitu seorang profesor (guru besar) yang mengajar di perguruan tinggi gajinya relatif rendah dibandingkan dengan gaji seorang manajer atau direktur sebuah perusahan swasta. Honor konsultan asing biasanya dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan konsultan dalam negeri padahal kemampuannya tidak diragukan.
Kedua, karakteristik situasional, yaitu: kebijakan pemerintah terhadap kaum terdidik, yaitu rendahnya pengakuan (recognation) pemerintah terhadap kemampuan kaum terdidik. Contohnya, yaitu terbatasnya dana pendidikan. Hal ini telah menimbulkan berbagai konsekuensi dalam bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Terbatasnya dana beasiswa untuk mahasiswa pascasarjana di dalam negeri turut mempengaruhi daya beli terhadap buku dan kemampuan melakukan penelitian, dan lain sebagainya.
Ketiga, sistem pendidikan. Pasca penerbitan UU Sisdiknas, program pendidikan nasional dapat dinilai hanya sebatas melahirkan “manusia karet”. Hal ini dikarenakan oleh kepemihakan program pendidikan pada pengembangan logika (ilmu pengetahuan), dan meredusir pendidikan budi pekerti (etika dan estetika). Disarankan agar pendidikan harus dikembalikan pada dinamika kultural Bangsa Indonesia. Abdul Malik Fajar (Mendiknas) mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus ada dalam mengembangkan pendidikan, yaitu: (1) pertumbuhan, (2) perubahan, (3) pembaharuan, dan (4) kontinuitas.
Mencermati realitas pendidikan Indonesia, maka diperlukan perhatian kebijakan pemerintah terhadap pengakuan kaum terdidik, khususnya mengenai kesejahteraan, peningkatan dana pendidikan, dan khususnya diperlukan transformasi dalam sistem pendidikan formal dari yang bersifat pragmatis ke arah filsafat aliran neoposivitisme, yaitu dari aspek filsafat dan pendidikan, seperti dirangkum oleh Mudyahardjo (2001), sebagai berikut:
1. Aspek Filsafat
(a) Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan yang diungkap oleh ilmu-ilmu kealaman. Bentuk kenyataan yang sebenarnya adalah sebuah jaringan hubungan sebab-akibat yang berlangsung dalam waktu dan tempat atau spatio temporal-causal network.
(b) Humanologi
Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan tubuh (monistik). Manusia adalah homo sapiens sehinga merupakan: (a) animal symbolicum, yaitu binatang yang memiliki bahasa yang mempunyai aturan-aturan sintaksis, semantis dan pragmatik, dan, (b) animal rationale, yaitu mempunyai kemampuan berpikir ilmiah atau berpikir tersusun sistematis, dan berpikir reflektif kritis atau memperkirakan dasar pemikiran.
(c) Epistemologi
Sumber pengetahuan adalah penginderaan. Penginderaan hanya dapat menangkap peristiwa-peristiwa tinggal dan material. Pengetahuan merupakan hasil pengolahan dengan menggunakan logika induktif terhadap fakta hasil penginderaan. Logika tersusun dari aturan-aturan sintaksis. Pernyataan tidak semalanya mempunyai makna. Sebuah pernyataan mempunyai makna apabila: (a) dapat dibuktikan kebenarannya secara intersubjektif atau pembuktian mudah dilakukan sekurang-kurangnya dua orang, dan (b) berdasarkan hukum-hukum sintaksis bahasa atau hukum-hukumpenyusunan bentuk kalimat.
(d) Aksiologi
Tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat bio-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.
2. Aspek Pendidikan
(a) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan bersifat sosial atau tak langsung adalah membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, moral yang bersifat biopsiko-sosiochonomik sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (1) berpikir jernih, (2) penyimpulan yang mantap dan tepat, (3) mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (4) objektivitas, (5) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan. Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah, sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
(b) Kurikulum Pendidikan
Mengutamakan pendidikan intelektual (ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan pendidikan teknologi, matematika, pendidikan bahasa) dan pendidikan moral. Pendidikan moral untuk mengembangkan kebajikan: (1) sikap berusaha mencapai kesempurnaan diri, (2) sikap adil, (3) sikap jujur, tidak memihak, (4) sikap mengakui kesamaan antara sesama manusia.
(c) Metode pendidikan
Pengajaran ilmu dipraktekan sebagai seni. Pengajaran ilmu untuk hal-hal pokok diajarkan melalui eksperimen/latihan intelektual. Pendidikan moral diajarkan melalui pembiasaan moral berdasarkan prinsip otonomi fungsional, dengan cara atau proses, yaitu: (1) seseorang menerima nilai-nilai dari luar melalui belajar dari ilmu dan/atau yang diperkenalkan orang lain melalui teladan dan/atau perintah. Nilai-nilai ini merupakan nilai pinjaman yang bersifat instrumental atau dapat dipakai sebagai alat penolong sementara dalam mempertimbangkan apakah suatu tindakan akan dilakukan atau tidak, dan (2) melalui penggunaan nilai-nilai pinjaman yang bersifat sementara berangsur-angsur menjadi nilai-nilai yang diakui sebagai milik sendiri yang mantap tertanam menjadi dasar pertimbangan moral sesuatu tindakan.
(d) Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik kurang dilengkapi dengan instink, tetapi mempunyai kemampuan terpendam yang memungkinkan dirinya untuk berpikir pada tingkatan yang tertinggi. Peserta didik tidak hanya pasif menerima bantuan, tetapi aktif melakukan latihan dan peniruan. Para pendidik bertugas: (1) melatih intelektual dan vokasional, (2) menyajikan informasi secara sistematis, (3) membimbing. Dalam pendidikan moral sebagai pembentukan kesadaran moral atau pembentukan superego, pendidik berperan sebagai: (1) memberi ganjaran, dan (2) memberi hukuman.
VII. Penutup
Dampak globalisasi telah menimbulkan transformasi nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran akan hak-hak personal seseorang semakin tinggi, kehidupan yang cenderung semakin individualis, semakin permisif, dan lunturnya nilai-nilai intrinsik. Moral kaum terdidik yang diwujudkan dalam berperilaku cenderung mengedepankan moral luck, moral scepticism, moral relativitism, yaitu moral yang cenderung subjektif yang menguntungkan pribadi. Sedangkan moral masyarakat non-terdidik lainnya dianggapnya citeris paribus. Masyarakat non-terdidik masih mengharapkan pencerahan, keteladan hidup, dan berbagi kehidupan yang lebih adil, merata, arif dan bijaksana dalam menuju suatu tatanan kehidupan bersama yang lebih baik dan lebih sejahtera, dan lebih mandiri.
Akhirnya, selagi kaum terdidik diberi gelar, diberi jabatan, diberi kedudukan, diberi peran dalam bentuk apapun, maka biarlah semuanya itu digunakan untuk melayani sesama di Republik Indonesia ini, khususnya bagi kaum non-terdidik.
PUSTAKA
Anshori, D. S., (Ed.) 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat. Otosentrisitas Pendidikan dalam Wacana Politik Pembangunan Alqaprint, Jatinangor, Bandung.
Fajar, M., Pendidikan Harus Bisa Membekali Lulusannya Menghadapi Kehidupan. Harian Kompas Tanggal 15 September 2001.
Gunawan, F.X. R., 1997. Pelacur dan Politikus. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
Haryatmoko, 2001. Terorisme, Politik Porno, dan Etika Kenyakinan. Kompas. Jakarta
Hettne, B., 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kattsoff, L. O., 1996. Pengatar Filsafat. Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.
Kompas, Tanggal 5 dan 17 September 2001.
Kompas, Tanggal 8 dan 14 Oktober 2001.
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Suatu Pengantar.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Nurudin, 2001. Komunikasi Propaganda. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Suseno, F. M., 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Suriasumantri, J. S., 2000. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar harapan. Jakarta.
Sobary, M., 2001. Zaman Sontoloyo. Harian Kompas. Tanggal 2 September 2001.
Tarumingkeng, R. C., 2001. Kumpulan Bahan/Materi Kuliah Pengantar Falsafah Sains (dalam bentuk CD). IPB. Bogor.
Taruma, T. Kompas Tanggal 22 September 2001.
Tilaar, H.A.R., 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi. Visi, Misi, dan program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Grasindo. Jakarta.
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Malcolm Waters (Tilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etno-space, techno-space, finance-space, media-space, idea-space, dan sacri-space. Dengan demikian universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi era global berikutnya. Apakah pembangunan versi “pribuminisme” mampu mempertahankan hegemoni pembangunan eropasentrisme, amerikasentrisme atau modernisasi dalam era globalisasi? (Hettne (2001). Moralitas yang bagaimanakah yang akan dianut oleh masyarakat kebanyakkan, khususnya kaum terdidik, yaitu mereka yang telah menyelesaikan pendidikan formal minimal strata satu. Apakah telah terjadi transformasi nilai-nilai ataukah sebaliknya tetap berpegang (conformed) pada nilai-nilai tradisional sambil melakukan pembangunan? Apakah nilai-nilai yang dianutnya bisa dianggap benar? Inilah beberapa pertanyaan yang akan ditelusuri jawabannya dari sudut pandang filsafat ilmu sebagai bahan perenungan bagi kaum terdidik dalam melakukan peran kepemimpinan dalam membangun Masyarakat Indonesia.
II. Realitas Moral Kaum Terdidik
Beberapa informasi dari berbagai media massa tercetak maupun elektronik, yang sifatnya kasuistik tetapi menarik untuk dikritisi, antara lain:
Fenomena pertama adalah kaum politisi. “money politics” dan “money game” merupakan istilah yang sudah sangat populer pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass-root). Istilah tersebut sudah tidak lagi menjadi rahasia umum, bahkan cenderung menjadi semacam sinisme yang ditujukan terhadap kaum politisi. Demikian pula di lembaga legislatif (DPR/DPRD) budaya “datang, duduk, diam-diam dapat “traveller”s cheque” (Kompas, 23 September 2001 halaman 23) diduga hanya merupakan salah satu temuan yang terjadi secara kebetulan. Haryatmoko mengutip pendapat Yves Michaud (1976) dalam tulisannya berjudul “Terorisme, Politik-Porno, dan Etika Keyakinan” (Kompas 29 September 2001, hal. 4) mengemukakan bahwa, semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu disebut sebagai “politik porno”. Bentuk politik porno antara lain: demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu, dan sebagainya. Apakah para politisi kita juga terlibat “Politik-Porno”? Apa bedanya mereka dengan pelacur? “Manakah yang lebih bermoral, pelacur yang baik atau oknum politikus yang melakukan politik porno yang jahat”? Apa bedanya seorang pelacur dengan seorang politikus? Apa jawabannya jika ada orang yang mengajukan pertanyaan demikian? Dalam masyarakat yang sudah terlanjur menistakan pelacur, sementara para politisi bisa beretorika mengenai kebaikkan, keadilan, kesejahteraan dan lain-lain sebagainya sambil menginjak-injak apa yang mereka sebut rakyat itu, pasti sulit untuk mendapatkan jawaban bahwa, pelacur yang baiklah yang bermoral. Atau jawaban lain adalah baik pelacur maupun oknum politikus sama-sama tidak bermoral, mereka sama-sama melacur. Hanya saja yang satu melacur dengan menggunakan (maaf) “anu”-nya, sedangkan yang satu lagi melacur dengan inteleknya (Gunawan, 1997).
Bermoralkah para politisi kita di DPR/DPRD yang mendapatkan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang semuanya dibayar dari uang hasil keringat rakyat (mungkin juga uang pinjaman luar negeri yang dalam hal ini akan menjadi beban rakyat juga sampai beranak-pinak), tetapi kurang atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan penderitaan dan perjuangan para pengungsi, petani, buruh tani, nelayan kaum cilik yang miskin yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah berjasa membuat mereka menjadi besar dan terhormat? Bukankah mereka itu seyogianya berpihak, membela dan memperjuangkan mayoritas masyarakat miskin agar bisa hidup selayaknya seperti orang-orang yang telah diangkatnya?
Fenomena kedua adalah kaum teknokrat/akademisi. Pertama, beberapa waktu lalu muncul berita heboh dari Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) tentang penjiplakan tesis oleh seorang dosen (mahasiswa program magister) dari Universitas Swasta yang bernaung di bawah Departemen Agama dan seorang pejabat tinggi (kandidat doktor). Menurut Rusli Karim (Ansori, 2000), fenomena jiblak-menjiblak karya ilmiah secara statistik berkisar antara 40 sampai 85 persen. Apakah perilaku plagiator karya ilmiah tersebut bermoral? Kedua, fenomena mulai melunturnya sikap kritis kaum akademisi (Sobary, Kompas tanggal 2 September 2001). Ketiga, oknum dosen/guru yang jarang mengajar/membimbing mahasiswa/siswa; dosen biasa diluar (kebalikan dari dosen luar biasa); pemimpin dosen/guru yang kurang memperhatikan atau berempati dengan nasib dosen/guru dan sivitas akademikanya. Keempat, mahasiswa/dosen yang memanipulasi data atau menyimpan hasil penelitian; dapat disebut sebagai dosen/guru atau seorang pemimpin dosen/guru yang bermoral?
Fenomena ketiga adalah kasus kaum birokrat/eksekutif. Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia, dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun 2001. Disamping itu, ternyata praktek korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%) bahkan lembaga keagamaan tidak luput dari korupsi (27,7%), (Kompas, hal 8, tanggal 17 September 2001). Pertanyaannya, siapakah yang melakukan tindakan korupsi tersebut? Bukankah mereka itu merupakan kaum terdidi, dan terlebih lagi merupakan orang-orang yang telah mengaku beragama, mengaku berjanji bahkan bersumpah kepada Tuhan-nya sebelum menjalankan tugas? Bermoralkah mereka ?.
Fenomena keempat adalah kasus kaum yudikatif. Menurut hasil pengumpulan (pooling) pendapat diketahui bahwa, perlakuan yang diterima warna negara selama ini 72,7 persen belum adil. Menurut responden tidak ada satu institusi keadilan di negeri ini yang sudah mempraktekan keadilan bagi masyarakat. Institusi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian pun belum mencerminkan keadilan (71 persen). Lebih parah lagi MA yang dipandang sebagai benteng akhir untuk mencari keadilan ternyata hanya 2/3 persen. Ketidakadilan ini tercermin dalam penuntasan berbagai kasus yang menyangkut politik, ekonomi, KKN, pelanggaran HAM, dan pelanggaran militer. Hilangnya kewibawaan kaum penegak hukum dalam menerapkan rasa keadilan masyarakat tampaknya menjadi batu sandungan kian terpuruknya lembaga peradilan di mata publik. Akhirnya masyarakat (responden) menyakini bahwa hanya 15 persen kebenaran hukum yang masih dipegang oleh penegak hukum (Kompas tanggal 8 Oktober 2001, halaman 8). Kasus pembebasan Tommy Soeharto merupakan fakta sejarah yang sulit untuk dibantah. Apakah perilaku tersebut bermoral?
Walaupun wajah moralitas kaum terdidik negeri kita nampak memprihatinkan, tetapi secara kasuistik masih saja ada orang yang memiliki integritas diri yang tinggi. Sobary dalam tulisannya: “Zaman Sontoloyo” (Kompas, 2 September 2001), mengemukakan antara lain: Munir, Baharuddi Lopa, Adi Andojo Sutjipto, Benjamin Mangkudilaga, Mulia Lubis, Sutradara Ginting, Malik Fajar, Cak Nur, dan yang lainnya. Disamping itu masih ada tokoh lain, seperti Bapak/Ibu dosen/guru, politisi/birokrat yang masih memiliki integritas diri yang tinggi .
Berdasarkan uraian tersebut, maka diajukan pertanyaan antara lain: “fenomena apakah yang sebenarnya telah melanda kaum terdidik, yaitu yang diwakili oleh kaum politisi, kaum birokrat, dan kaum teknokrat/akademisi, kaum yudikasi atau praktisi lainnya? Dekadensi moralkah? ataukah sesungguhnya telah terjadi transformasi nilai sehingga melahirkan moral baru yang membingungkan masyarakat terdidik lain ataupun masyarakat kebanyakan (non-terdidik)? Adakah korelasi antara moral kaum terdidik dengan tingkat pendidikan yang telah diraihnya?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian moral, moralitas, jenis-jenis moral, dan filsafat pendidikan.
III. Pengertian dan Jenis Moral
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa, konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian bagi Hegel kebebasan manusia bukan sekedar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial didalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu: (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c) tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif, yaitu Hegel menganggap bahwa Kant berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan, tak perlulah subjek setiap kali mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka ia harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Magnis Suseno, 1992).
Selaras dengan pendapat tersebut, Kattsoff (1996) menambahkan bahwa moral seseorang dapat ditilik dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat).
Tarumingkeng (2001) merangkum beberapa jenis moral yang dipetik dari berbagai sumber di internet (Tinjauan Ensiklopedi Filsafat), antara lain: (1) moral realism (moral berdasarkan kondisi yang nyata/realitas); (2) moral luck (moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan), (3) moral relativitism (moral yang bersifat relatif), (4) moral rational (moral berdasarkan penggunaan akal sehat atau prosedur rasional), (5) moral scepticism (moral yang menunjukkan sikap ragu-ragu karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun), dan (6) moral personhood (moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan pribadi atau merupakan bagian dari moral masyarakat. Moral masyarakat menyangkut semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal-hak dan kewajiban).
IV. ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan "what", misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how" sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.
Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis.
Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).
Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico).
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakekat ilmu. Oleh sebab itu, filsafat ilmu ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat ilmu tersebut, seperti :
1. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud hakiki objek tersebut ? Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, mengindera) ?
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apa kriterianya ? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
3. Untuk apa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma-norma moral / profesional ?
Ketiga kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologis.
Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut :
1. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.
2. Landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi seperti telah diuraikan diatas.
3. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta membagi peningkatan kualitas hidup manusia.
V. Moralitas Kaum Terdidik
Mencermati berbagai realitas moral yang diperankan oleh kaum politisi, kaum teknokrat/akademisi, kaum bikokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, maka apa jawabannya terhadap moral mereka? Tidak bermoralkah? Berdasarkan tinjauan jenis-jenis moral yang berkembang seiring era globalisasi, maka jawabannya, adalah bahwa mereka semua bermoral. Pelacur atau pekerja seks komersialpun bermoral, hanya saja masing-masing orang/pribadi menganut nilai-nilai moral yang berbeda, dan masing-masing pribadi menilai moral orang lain berdasarkan pandangan pribadinya yang diduga bertentangan dengan moral orang lain (I know, but Others not know, or I do not know, but Others know).
Berdasarkan perilaku (overt behavior) yang dimainkan oleh kaum politisi, yaitu perilaku “money politics”, “money game” dan “politik-porno”, maka dapat disimpulkan dari sudut pandang masyarakat (pandangan objektivitas) versi Hegel, bahwa moral yang dianut oleh kaum politisi adalah moral luck, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan. Hal ini disebabkan oleh faktor kapasitas, temparamen, cara bertindak dan adanya proyeksi tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Hagel (Tarumingkeng, 2001) yang mengemukakan bahwa, ada empat faktor keberuntungan yang berperan dalam menentukan moral seseorang, yaitu: (1) Constitutive Luck, yaitu menyangkut kecenderungan, kapasitas dan temperamen seseorang; (2) Circumstantial Luck, yaitu menyangkut jenis masalah dan situasi yang dihadapi; (3) Causal luck, yaitu menyangkut bagaimana sesuatu ditentukan oleh keadaan sebelumnya, dan (4) Resultante Luck, yaitu menyangkut cara seseorang bertindak dan memproyeksikan sesuatu hal. Disisi lain, dari sudut pandang subjektivitas versi Kant, kaum politisi bisa memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa, kami menganut moral relativitism. Menurut Pratogoras (Tarumingkeng, 2001) moral relativitism adalah “man is the measure of all things, atau “a human being is measure by all things” Selanjutnya disebutkan bahwa moral relativitism dibangun berdasarkan perilaku seseorang dan nilai budaya/tradisi yang dianutnya. Dengan demikian akan muncul dilema moral antara “rakyat” dengan “wakil rakyat” yang akan menghasilkan conflict of interest pada akan berakhir dengan konflik sosial.
Bagaimana dengan moral kaum teknokrat/akademisi? Tidak bermoralkah mereka? Kasus jiplak-menjiplak skripsi/tesis/disertasi, kasus dosen/guru “biasa diluar”, kasus pemimpin dosen/guru yang kurang berempati terhadap bawahannya, kasus sikap kurang kritis dari sudut pandang subjektivitas dapat dikategorikan dalam moral luck dan moral relativitism. Sejauh pertimbangan nilai menguntungkan pribadi secara relatif, maka moral tersebutlah yang dianut. Tetapi dari sudut pandang tata nilai sosial (pandangan objektivisme) moral yang dianutnya berseberangan dengan moral rational. Demikian pula dengan sikap kurang kritis dapat disebut sebagai moral scepticism.
Kaum birokrat/eksekutif menjadi fokus pembicaraan mengenai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Di negara yang mengaku beragama ternyata tingkat korupsinya semakin mencengangkan, sekaligus memilukan nurani. Apakah para birokrat atau penyelenggara ini tidak bermoral? Jawabannya tidak, ternyata moral yang mereka anut sama-sama kompak dengan moral-nya kaum politisi dan kaum akademisi, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif sesuai dengan nilai budayanya. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan. Jika masyarakat menggugat, maka mungkin pula “politik porno” yang diturunkan untuk “mengamankan” masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi jika moral luck ini semakin membudaya, maka diduga akan tinggal hitung tahun saja Indonesia bisa bangkrut, colaps dan akhirnya bisa menjadi senasib dengan negara Yogoslavia dan Uni soviet.
Bagaimana dengan moral kaum yudikatif? Berdasarkan data hasil pooling pendapat tersebut, ternyata lembaga-lembaga peradilan belum mencerminkan keadilan. Faktor apakah yang menyebabkan demikian? Apakah ada “money game”? yang jelas ada indikasi kearah itu. Jawabannya ya, moral yang mereka sama dengan moral-nya kaum politisi, kaum akademisi, dan birokrat, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan bahkan dikebiri.
Budaya moral luck, moral relativism, dan moral scepticism tersebut jika dibiarkan berkembang, maka akan menimbulkan petaka bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian strategi yang dilakukan adalah: “strategi membasmi tikus dengan menggunakan perangkap” ataukah “menangkap kelinci dengan memakai jerat”. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang mampu melakukan strategi tersebut?
VI. Qua Vadis Moralitas Kaum Terdidik ?
Mencermati perilaku moral yang sedang dianut oleh kaum politisi, teknokrat/ akademisi, dan kaum birokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, baik di tataran pusat maupun daerah; dan dalam rangka pembangunan Indonesia Baru, yaitu: Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; Indonesia yang steril dari kerusuhan dan pengungsian; Indonesia yang memiliki “good-governance”; Indonesia yang dapat mengejar ketertinggalan pendidikan, dan Indonesia yang maju dan mandiri, maka kaum terdidik di perlu melakukan beberapa strategi antara lain:
1. Reorientasi Moral Kaum Terdidik
Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pembangunan pada akhirnya akan dapat meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat jika semua stake-holder pembangunan memiliki nilai-nilai intrinsik yang tinggi (Kartasasmita, 1996). Pembangunan yang dilakukan dengan landasan moral luck dan moral relativitism akan menggerogoti dan akhirnya meruntuhkan masyarakat dan negara itu sendiri. Demikian pula pembangunan masyarakat Indonesia perlu ditinjau kembali berdasarkan kearifan global dan lokal dalam hidup berbagai aspek kehidupan. Pertama-tama harus dimulai dari dalam diri (keluarga) kaum terdidik yang duduk di birokrasi/eksekutif, legistatif, yudikatif, perguruan tinggi, lembaga keagamaan, lembaga bisnis, dan para praktisi (LSM). Reorientasi moral dari moral luck, moral relativitism dan moral scepticism ke moral rational; dan moral realism mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia Baru. Kaum terdidik sebagai bagian dari komunitas sosial perlu mempertimbangkan atau melakukan akuntabilitas publik terhadap profesinya, karena kehidupan kaum terdidik ibarat pelita yang terletak di atas sebuah gunung yang dapat menerangi keremangan dan kegelapan kehidupan, dan ibarat garam yang dapat memberikan cita rasa terhadap kebusukan dan kelestarian Bangsa Indonesia.
2. Reaktualisasi Modal Sosial
Reorientasi moral kaum terdidik belumlah cukup, tetapi masih harus diperkaya dan dikembangkan dengan investasi sumberdaya manusia yang memiliki peran strategis dalam membangun Indonesia dimasa kini dan mendatang. Reaktualisasi modal sosial (social capital), seperti: kejujuran, kepercayaan, kesediaan dan kemampuan untuk bekerjasama-berkoordinasi, penjadwalan waktu dengan tepat, kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya pembangunan merupakan hal yang fundamental dalam melengkapi kesucian hati nurani. Hal ini perlu dilakukan mengingat pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih mengutamakan aspek ekonomi, yang akhirnya memunculkan sejumlah masalah dan bencana nasional, seperti: ketimpangan sosial, disparitas pendapatan yang mencolok, ketidakadilan, ketidakmerataan hasil pembangunan, kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan dan sebagainya. Disinilah letaknya bias program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian diperlukan sikap kearifan lokal dalam membangun manusia di daerah masih-masing sesuai spesifik lokasinya. Pembangunan ekonomi yang dilakukan seiring dengan pembangunan modal sosial pelaksana dan penerima manfaat pembangunan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan itu sendiri.
Seorang dosen lulusan program magister (S-2) dan program doktor (S-3) di Jepang pernah berceritera di depan kelas, dan setelahnya mengajukan satu pertanyaan kepada para mahasiswa program magister. Pertanyaannya sederhana: “apakah yang menyebabkan negara Jepang itu maju”? jawabannya singkat, yaitu: karena mereka memiliki “kejujuran” pada hati nuraninya alias mereka memiliki modal sosial yang tinggi. Jika mereka kedapatan melakukan suatu kesalahan dalam pemerintahan maka mereka dengan berjiwa besar untuk mengundurkan diri. Berbeda sekali dengan di Indonesia, bangga kalau korupsi, bangga pamer harta hasil korupsi, bangga kalau menceriterakan jumlah persenan yang diterima dari hasil kolusi proyek-proyek, padahal sebelum jadi pimpro atau pimpinan biasa saja.
Tak terasa sudah kurang lebih empat tahun krismon melanda Indonesia, tetapi nampaknya tidak seorangpun pejabat, birokrat, anggota dewan, dan pimpinan perguruan tinggi yang mengundurkan diri (kecuali Soeharto dipaksa untuk mundur) dari jabatan karena ketidak-mampuannya mengatasi masalah krismon. Yang terjadi hanya bongkar pasang presiden, bongkar pasang angota kabinet, terjebak isu global tentang “insiden WTC” yang akhirnya ibarat “memercik air di dulang”. Masyarakat non-terdidik bertanya-tanya kalau sampai mereka yang bergelar sarjana/insinyur, master, doktor, dan profesor yang jumlahnya berlimpah ruah tidak mampu memecahkan masalah krismon, masalah politik porno, lalu apa gunanya pendidikan yang diperolehnya itu?
3. Transformasi Pendidikan
Mengacu pada fenomena perilaku moral yang dilakukan oleh kaum terdidik, maka dapat ditarik suatu simpulan sementara bahwa, jenjang pendidikan tinggi yang diperoleh ternyata cenderung berkorelasi secara negatif dengan moral kaum terdidik, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka moralnya cenderung semakin rendah. Gejala ini dikarenakan oleh beberapa fakfor, antara lain:
Pertama, karakteristik personal dari orang yang bersangkutan, seperti: motivasi yang terkait dengan kebutuhan dasar (basic needs) atau rendahnya tingkat pendapatan. Fakta yang ada, yaitu seorang profesor (guru besar) yang mengajar di perguruan tinggi gajinya relatif rendah dibandingkan dengan gaji seorang manajer atau direktur sebuah perusahan swasta. Honor konsultan asing biasanya dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan konsultan dalam negeri padahal kemampuannya tidak diragukan.
Kedua, karakteristik situasional, yaitu: kebijakan pemerintah terhadap kaum terdidik, yaitu rendahnya pengakuan (recognation) pemerintah terhadap kemampuan kaum terdidik. Contohnya, yaitu terbatasnya dana pendidikan. Hal ini telah menimbulkan berbagai konsekuensi dalam bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Terbatasnya dana beasiswa untuk mahasiswa pascasarjana di dalam negeri turut mempengaruhi daya beli terhadap buku dan kemampuan melakukan penelitian, dan lain sebagainya.
Ketiga, sistem pendidikan. Pasca penerbitan UU Sisdiknas, program pendidikan nasional dapat dinilai hanya sebatas melahirkan “manusia karet”. Hal ini dikarenakan oleh kepemihakan program pendidikan pada pengembangan logika (ilmu pengetahuan), dan meredusir pendidikan budi pekerti (etika dan estetika). Disarankan agar pendidikan harus dikembalikan pada dinamika kultural Bangsa Indonesia. Abdul Malik Fajar (Mendiknas) mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus ada dalam mengembangkan pendidikan, yaitu: (1) pertumbuhan, (2) perubahan, (3) pembaharuan, dan (4) kontinuitas.
Mencermati realitas pendidikan Indonesia, maka diperlukan perhatian kebijakan pemerintah terhadap pengakuan kaum terdidik, khususnya mengenai kesejahteraan, peningkatan dana pendidikan, dan khususnya diperlukan transformasi dalam sistem pendidikan formal dari yang bersifat pragmatis ke arah filsafat aliran neoposivitisme, yaitu dari aspek filsafat dan pendidikan, seperti dirangkum oleh Mudyahardjo (2001), sebagai berikut:
1. Aspek Filsafat
(a) Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan yang diungkap oleh ilmu-ilmu kealaman. Bentuk kenyataan yang sebenarnya adalah sebuah jaringan hubungan sebab-akibat yang berlangsung dalam waktu dan tempat atau spatio temporal-causal network.
(b) Humanologi
Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan tubuh (monistik). Manusia adalah homo sapiens sehinga merupakan: (a) animal symbolicum, yaitu binatang yang memiliki bahasa yang mempunyai aturan-aturan sintaksis, semantis dan pragmatik, dan, (b) animal rationale, yaitu mempunyai kemampuan berpikir ilmiah atau berpikir tersusun sistematis, dan berpikir reflektif kritis atau memperkirakan dasar pemikiran.
(c) Epistemologi
Sumber pengetahuan adalah penginderaan. Penginderaan hanya dapat menangkap peristiwa-peristiwa tinggal dan material. Pengetahuan merupakan hasil pengolahan dengan menggunakan logika induktif terhadap fakta hasil penginderaan. Logika tersusun dari aturan-aturan sintaksis. Pernyataan tidak semalanya mempunyai makna. Sebuah pernyataan mempunyai makna apabila: (a) dapat dibuktikan kebenarannya secara intersubjektif atau pembuktian mudah dilakukan sekurang-kurangnya dua orang, dan (b) berdasarkan hukum-hukum sintaksis bahasa atau hukum-hukumpenyusunan bentuk kalimat.
(d) Aksiologi
Tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat bio-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.
2. Aspek Pendidikan
(a) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan bersifat sosial atau tak langsung adalah membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, moral yang bersifat biopsiko-sosiochonomik sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (1) berpikir jernih, (2) penyimpulan yang mantap dan tepat, (3) mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (4) objektivitas, (5) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan. Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah, sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
(b) Kurikulum Pendidikan
Mengutamakan pendidikan intelektual (ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan pendidikan teknologi, matematika, pendidikan bahasa) dan pendidikan moral. Pendidikan moral untuk mengembangkan kebajikan: (1) sikap berusaha mencapai kesempurnaan diri, (2) sikap adil, (3) sikap jujur, tidak memihak, (4) sikap mengakui kesamaan antara sesama manusia.
(c) Metode pendidikan
Pengajaran ilmu dipraktekan sebagai seni. Pengajaran ilmu untuk hal-hal pokok diajarkan melalui eksperimen/latihan intelektual. Pendidikan moral diajarkan melalui pembiasaan moral berdasarkan prinsip otonomi fungsional, dengan cara atau proses, yaitu: (1) seseorang menerima nilai-nilai dari luar melalui belajar dari ilmu dan/atau yang diperkenalkan orang lain melalui teladan dan/atau perintah. Nilai-nilai ini merupakan nilai pinjaman yang bersifat instrumental atau dapat dipakai sebagai alat penolong sementara dalam mempertimbangkan apakah suatu tindakan akan dilakukan atau tidak, dan (2) melalui penggunaan nilai-nilai pinjaman yang bersifat sementara berangsur-angsur menjadi nilai-nilai yang diakui sebagai milik sendiri yang mantap tertanam menjadi dasar pertimbangan moral sesuatu tindakan.
(d) Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik kurang dilengkapi dengan instink, tetapi mempunyai kemampuan terpendam yang memungkinkan dirinya untuk berpikir pada tingkatan yang tertinggi. Peserta didik tidak hanya pasif menerima bantuan, tetapi aktif melakukan latihan dan peniruan. Para pendidik bertugas: (1) melatih intelektual dan vokasional, (2) menyajikan informasi secara sistematis, (3) membimbing. Dalam pendidikan moral sebagai pembentukan kesadaran moral atau pembentukan superego, pendidik berperan sebagai: (1) memberi ganjaran, dan (2) memberi hukuman.
VII. Penutup
Dampak globalisasi telah menimbulkan transformasi nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran akan hak-hak personal seseorang semakin tinggi, kehidupan yang cenderung semakin individualis, semakin permisif, dan lunturnya nilai-nilai intrinsik. Moral kaum terdidik yang diwujudkan dalam berperilaku cenderung mengedepankan moral luck, moral scepticism, moral relativitism, yaitu moral yang cenderung subjektif yang menguntungkan pribadi. Sedangkan moral masyarakat non-terdidik lainnya dianggapnya citeris paribus. Masyarakat non-terdidik masih mengharapkan pencerahan, keteladan hidup, dan berbagi kehidupan yang lebih adil, merata, arif dan bijaksana dalam menuju suatu tatanan kehidupan bersama yang lebih baik dan lebih sejahtera, dan lebih mandiri.
Akhirnya, selagi kaum terdidik diberi gelar, diberi jabatan, diberi kedudukan, diberi peran dalam bentuk apapun, maka biarlah semuanya itu digunakan untuk melayani sesama di Republik Indonesia ini, khususnya bagi kaum non-terdidik.
PUSTAKA
Anshori, D. S., (Ed.) 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat. Otosentrisitas Pendidikan dalam Wacana Politik Pembangunan Alqaprint, Jatinangor, Bandung.
Fajar, M., Pendidikan Harus Bisa Membekali Lulusannya Menghadapi Kehidupan. Harian Kompas Tanggal 15 September 2001.
Gunawan, F.X. R., 1997. Pelacur dan Politikus. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
Haryatmoko, 2001. Terorisme, Politik Porno, dan Etika Kenyakinan. Kompas. Jakarta
Hettne, B., 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kattsoff, L. O., 1996. Pengatar Filsafat. Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.
Kompas, Tanggal 5 dan 17 September 2001.
Kompas, Tanggal 8 dan 14 Oktober 2001.
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Suatu Pengantar.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Nurudin, 2001. Komunikasi Propaganda. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Suseno, F. M., 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Suriasumantri, J. S., 2000. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar harapan. Jakarta.
Sobary, M., 2001. Zaman Sontoloyo. Harian Kompas. Tanggal 2 September 2001.
Tarumingkeng, R. C., 2001. Kumpulan Bahan/Materi Kuliah Pengantar Falsafah Sains (dalam bentuk CD). IPB. Bogor.
Taruma, T. Kompas Tanggal 22 September 2001.
Tilaar, H.A.R., 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi. Visi, Misi, dan program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Grasindo. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar