Dunia penerbangan di Indonesia diatur dengan perangkat peraturan perundangan. Undang-undang yang mengatur penerbangan adalah UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sebagai pengganti UU No.83 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687). UU ini terdiri dari 15 bab dengan jumlah pasal sebanyak 76 pasal. Pada beberapa pasal aspek keselamatan penerbangan sudah menyentuh tentang ketentuan prasarana & sarana, pelaksana penerbangan, dan juga tentang sertifikasi penerbang. Berikut ini adalah ulasan singkat tentang UU No. 15 tahun 1992 dari aspek keselamatan penerbangan.
Aspek keselamatan sudah mulai dibahas pada Pasal 1 dengan pernyataan seperti tertulis pada UU tersebut sebagai berikut:
“Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : ……………….. 15. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.”
Jelas tertulis pada pasat di atas bahwa sarana penerbangan (pesawat udara) harus memenuhi persyaratan minimum guna menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran udara. Apakah sebenarnya persyaratan minimum itu? Persyaratan ini tentunya dikembalikan lagi ke pabrik pembuat pesawat itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah prosedur pengoperasian dan pemeliharaan pesawat sudah dilaksanakan sesuai dengan manual standar?
Uraian lanjut tentang keselamatan penerbangan juga ditambahkan dalam Bab IV Pembinaan, Pasal 8 yang berbunyi: “Prasarana dan sarana penerbangan yang dioperasikan wajib mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.” Pasal ini jelas bahwa baik prasarana maupun sarana keduanya harus secara bersama-sama memenuhi standar persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan. Prasarana dan sarana ini dapat kita kelompokkan sebagai kelompok perangkat keras (hardware).
Pada pasal 8 di atas kelompok prasarana & sarana dengan jelas diungkap, bagaimana dengan perangkat hidupnya (lifeware)? Perangkat hidup sendiri adalah personil yang terlibat dalam pengoperasian maupun pemeliharaan prasarana & sarana. Di dalam bagian selanjutnya, Bab V Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara Serta Penggunaannya Sebagai Jaminan, pasal 12 Ayat (1) s/d (3) diulas tentang personil penerbangan. Pasal 12 tersebut tertulis sebagai berikut:
1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan.
2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 12 menyebutkan dengan jelas bahwa setiap personil penerbangan (pilot, teknisi, … dst) diwajibkan memiliki sertifikat kecakapan. Tata cara mendapatkan sertifikat itu sendiri seperti dijelaskan pada Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pasal-pasal selanjutnya hingga pasal 24 membahas tentang keamanan dan keselamatan penerbangan.
Perangkat lain yang sudah mulai tersentuh namun belum cukup jelas adalah tentang organisasi penerbangan di Indonesia atau kita sebut saja dengan organoware. Organisasi ini didalamnya setidaknya meliputi pembuat reguasi (regulator) dan pelaksanaan operasi (operator). Di Indonesia regulator dunia penerbangan diserahkan pada Departemen Perhubungan sedangkan operator adalah para maskapai penerbangan. Sebagai regulator, tugas Departemen Perhubungan adalah menyusun ketentuan-ketentuan yang terkait dengan dunia penerbangan dan mengawasi pelaksanaannya di lapangan. Sebagai operator, tugas maskapai adalah memenuhi kebutuhan angkutan bagi penumpang dan/atau barang seperti tertulis pada pasal 41 ayat (1) sebagai berikut:
“(1).Perusahaan angkutan udara niaga, wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan.”
Jelas bahwa hubungan antara regulator dan operator penerbangan ini harus terjaga dengan baik, dalam hal ini topoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing pihak harus dijalankan sebaik-baiknya. Pada laporan ini belum dibahas secara lebih detail apakah tupoksi perangkat organoware ini sudah dilaksanakan dengan baik, namun pada laporan selanjutnya akan disampaikan sesuai dengan hasil kunjungan lapangan ke beberapa kota. Bagian akhir yang cukup menarik untuk dibahas dalam UU No. 15 Tahun 1992 adalah tentang sanksi. Aturan ini diuraikan dalam Bab XIII Ketentuan Pidana. Dimulai dari Pasal 54 hingga 53, bahasan difokuskan pada ketentuan sanksi akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh personil/organisasi pengoperasi penerbangan. Sebagai contoh adalah sanksi bagi pilot yang membahayakan penerbangan seperti tertulis pada Pasal 60 sebagai berikut:
“Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”
Pihak yang dimaksud pada pasal 60 (“Barangsiapa menerbangkan pesawat udara … .”) di atas adalah pilot dan kru pesawat terbang. Pasal-pasal lainnya umumnya membahas ketentuan pidana terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Perangkat lain yang juga penting untuk diperhatikan selain hardware, lifeware, dan organoware adalah software. Software disini lebih dekat dengan perangkat peraturan pendukung UU No. 15 Tahun 1992 ini. Dari kajian sementara terdapat beberapa PP dan Kepmen dalam dunia penerbangan seperti tersaji pada data di bawah ini.
PP dan Kepmen tantang penerbangan di Indonesia-Peraturan Pemerintah (PP)&Keputusan Menteri (Kepmen)
PP No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan
Kepmen No. 44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional
PP No.3 Tahun 2000 (Perubahan Atas PP No. 40 Tahun 1995) Tentang Angkutan Udara
Kepmen No. 45 Tahun 2002 tentang Penyerahan Penyelenggaraan Bandar Udara Umum (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota)
-
Kepmen No. 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara
-
Kepmen No. 48 tahun 2002 tentang Penyerahan Penyelenggaraan Bandar Udara Umum
Kepmen No. 11 Tahun 2001tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara
Civil Aviation Safety Regulations/CASR No.
91, 121, 135, 145, dll
Kepmen No. 11 Tahun 1996 tentang Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Peraturan perundangan di Bidang Kelaikan Udara
PP. No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan
Kepmen No.25 Tahun 2001 tentang Rancang Bangun Standar Kelaikan Udara untuk Pesawat Udara Kategori Normal Utility Akrobatik dan Komuter.
Annex 1 s/d 18, ICAO Convention
Uraian di atas sedikit memberikan gambaran bahwa pada dasarnya baik perangkat keras (hardware), perangkat hidup (lifeware), perangkat organisasi (organoware) dan perangkat lunak (software) sudah masuk dalam perundangan di Indonesia. Pada pelaporan selanjutnya akan dikaji pelaksanaan di lapangan apakah antar berbagai ware tersebut sudah terintegrasi dengan baik.
Aspek keselamatan sudah mulai dibahas pada Pasal 1 dengan pernyataan seperti tertulis pada UU tersebut sebagai berikut:
“Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : ……………….. 15. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.”
Jelas tertulis pada pasat di atas bahwa sarana penerbangan (pesawat udara) harus memenuhi persyaratan minimum guna menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran udara. Apakah sebenarnya persyaratan minimum itu? Persyaratan ini tentunya dikembalikan lagi ke pabrik pembuat pesawat itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah prosedur pengoperasian dan pemeliharaan pesawat sudah dilaksanakan sesuai dengan manual standar?
Uraian lanjut tentang keselamatan penerbangan juga ditambahkan dalam Bab IV Pembinaan, Pasal 8 yang berbunyi: “Prasarana dan sarana penerbangan yang dioperasikan wajib mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.” Pasal ini jelas bahwa baik prasarana maupun sarana keduanya harus secara bersama-sama memenuhi standar persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan. Prasarana dan sarana ini dapat kita kelompokkan sebagai kelompok perangkat keras (hardware).
Pada pasal 8 di atas kelompok prasarana & sarana dengan jelas diungkap, bagaimana dengan perangkat hidupnya (lifeware)? Perangkat hidup sendiri adalah personil yang terlibat dalam pengoperasian maupun pemeliharaan prasarana & sarana. Di dalam bagian selanjutnya, Bab V Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara Serta Penggunaannya Sebagai Jaminan, pasal 12 Ayat (1) s/d (3) diulas tentang personil penerbangan. Pasal 12 tersebut tertulis sebagai berikut:
1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan.
2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 12 menyebutkan dengan jelas bahwa setiap personil penerbangan (pilot, teknisi, … dst) diwajibkan memiliki sertifikat kecakapan. Tata cara mendapatkan sertifikat itu sendiri seperti dijelaskan pada Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pasal-pasal selanjutnya hingga pasal 24 membahas tentang keamanan dan keselamatan penerbangan.
Perangkat lain yang sudah mulai tersentuh namun belum cukup jelas adalah tentang organisasi penerbangan di Indonesia atau kita sebut saja dengan organoware. Organisasi ini didalamnya setidaknya meliputi pembuat reguasi (regulator) dan pelaksanaan operasi (operator). Di Indonesia regulator dunia penerbangan diserahkan pada Departemen Perhubungan sedangkan operator adalah para maskapai penerbangan. Sebagai regulator, tugas Departemen Perhubungan adalah menyusun ketentuan-ketentuan yang terkait dengan dunia penerbangan dan mengawasi pelaksanaannya di lapangan. Sebagai operator, tugas maskapai adalah memenuhi kebutuhan angkutan bagi penumpang dan/atau barang seperti tertulis pada pasal 41 ayat (1) sebagai berikut:
“(1).Perusahaan angkutan udara niaga, wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan.”
Jelas bahwa hubungan antara regulator dan operator penerbangan ini harus terjaga dengan baik, dalam hal ini topoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing pihak harus dijalankan sebaik-baiknya. Pada laporan ini belum dibahas secara lebih detail apakah tupoksi perangkat organoware ini sudah dilaksanakan dengan baik, namun pada laporan selanjutnya akan disampaikan sesuai dengan hasil kunjungan lapangan ke beberapa kota. Bagian akhir yang cukup menarik untuk dibahas dalam UU No. 15 Tahun 1992 adalah tentang sanksi. Aturan ini diuraikan dalam Bab XIII Ketentuan Pidana. Dimulai dari Pasal 54 hingga 53, bahasan difokuskan pada ketentuan sanksi akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh personil/organisasi pengoperasi penerbangan. Sebagai contoh adalah sanksi bagi pilot yang membahayakan penerbangan seperti tertulis pada Pasal 60 sebagai berikut:
“Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”
Pihak yang dimaksud pada pasal 60 (“Barangsiapa menerbangkan pesawat udara … .”) di atas adalah pilot dan kru pesawat terbang. Pasal-pasal lainnya umumnya membahas ketentuan pidana terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Perangkat lain yang juga penting untuk diperhatikan selain hardware, lifeware, dan organoware adalah software. Software disini lebih dekat dengan perangkat peraturan pendukung UU No. 15 Tahun 1992 ini. Dari kajian sementara terdapat beberapa PP dan Kepmen dalam dunia penerbangan seperti tersaji pada data di bawah ini.
PP dan Kepmen tantang penerbangan di Indonesia-Peraturan Pemerintah (PP)&Keputusan Menteri (Kepmen)
PP No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan
Kepmen No. 44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional
PP No.3 Tahun 2000 (Perubahan Atas PP No. 40 Tahun 1995) Tentang Angkutan Udara
Kepmen No. 45 Tahun 2002 tentang Penyerahan Penyelenggaraan Bandar Udara Umum (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota)
-
Kepmen No. 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara
-
Kepmen No. 48 tahun 2002 tentang Penyerahan Penyelenggaraan Bandar Udara Umum
Kepmen No. 11 Tahun 2001tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara
Civil Aviation Safety Regulations/CASR No.
91, 121, 135, 145, dll
Kepmen No. 11 Tahun 1996 tentang Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Peraturan perundangan di Bidang Kelaikan Udara
PP. No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan
Kepmen No.25 Tahun 2001 tentang Rancang Bangun Standar Kelaikan Udara untuk Pesawat Udara Kategori Normal Utility Akrobatik dan Komuter.
Annex 1 s/d 18, ICAO Convention
Uraian di atas sedikit memberikan gambaran bahwa pada dasarnya baik perangkat keras (hardware), perangkat hidup (lifeware), perangkat organisasi (organoware) dan perangkat lunak (software) sudah masuk dalam perundangan di Indonesia. Pada pelaporan selanjutnya akan dikaji pelaksanaan di lapangan apakah antar berbagai ware tersebut sudah terintegrasi dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar