Pembangunan sektor transportasi diarahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional yang handal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara efektif dan efesien dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa, mendukung pola distribusi nasional serta mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan hubungan internasional yang lebih memantapkan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara. Jaringan transportasi dapat dibentuk oleh moda transportasi yang terlibat. Masing-masing moda transportasi memiliki karakteristik teknis yang berbeda dan pemanfaatannya disesuaikan dengan kondisi geografis daerah layanan. Moda transportasi udara mempunyai karakteristik kecepatan yang tinggi dan dapat melakukan penetrasi sampai keseluruh wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh moda transportasi lain. Perkembangan industri angkutan udara nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah yang ada sebagai suatu negara kepulauan. Oleh karena itu, Angkutan udara mempunyai peranan penting dalam memperkokoh kehidupan berpolitik, pengembangan ekonomi, sosial budaya dan keamanan & pertahanan. Merupakan bagian dari subsistem transportasi udara, kebijakan umum angkutan udara diarahkan untuk mewujudkan terselenggaranya angkutan udara secara selamat, aman, cepat, efisien, teratur, nyaman, dan mampu berperan dalam rangka menunjang dan mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya.
Pada era tahun 1945 – 1970 kegiatan penerbangan internasional oleh perusahaan nasional hanya dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik negara yaitu PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara. Pemerintah menerapkan kebijakan penunjukkan perusahaan penerbangan (designeted airlines) yang bersifat tunggal (single designated) dimana PT. Garuda Indonesia ditunjuk untuk melayani penerbangan internasional jarak jauh (long haul) sedangkan PT. Merpati Nusantara untuk jarak dekat (regional flight).
Kebijakan prinsip dasar dalam pelaksanaan perjanjian udara relatif tidak mengalami perubahan sampai sekarang masih menganut prinsip resiprocal (timbal balik) dan cabotage (perusahaan penerbangan asing tidak dapat melakukan penerbangan domestik di wilayah Indonesia). Pada era tersebut pengaturan kapasitas pada penerbangan internasional kurang fleksibel.
Untuk pengaturan tarif masih bersifat proteksi dengan kebijakan tarif double approval, dimana perusahaan angkutan udara yang ditunjuk dari Indonesia dan negara mitra melakukan kesepakatan tarif sesuai dengan kebijakan IATA dan selanjutnya kesepakatan tarif tersebut harus mendapat persetujuan dari pejabat penerbangan sipil kedua negara tersebut. Dimana tanpa adanya kesepakatan, tariff tersebut tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh kedua perusahaan penerbangan yang telah ditunjuk.
Sedangkan sejak era 1990 sampai dengan era 1999 perkembangan dunia penerbangan mengalami sedikit perubahan pada kebijakan penunjukkan perusahaan angkutan udara menjadi multi designated airline. Perubahan kebijakan ini memberi peluang swasta berpartisipasi dalam mengembangkan industri angkutan udara nasional.
Adapun kebijakan pelaksanaan rute untuk penerbangan long houl adalah PT. Garuda Indonesia sedangkan untuk rute regional untuk PT. Merpati Nusantara dan perusahaan swasta lainnya, untuk pengaturan kapasitas telah mengalami perubahan dari yang bersifat protektif menjadi cukup fleksibel.
Mulai era tahun 1999 sampai 2005, banyak terjadi peristiwa buruk yang menimpa dunia dan juga Indonesia sebagai contoh peristiwa pemboman WTC pada tanggal 9/11/2001 dan pada tahun 2002 terjadi kejadian pemboman Bali I serta peristiwa Bom Bali II pada tahun 2005, peristiwa – peristiwa tersebut cukup mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan ke arah penurunan permintaan. Hal tersebut, mendorong pemerintah untuk melakukan pengetatan peraturan terkait dengan keselamatan dan keamanan penerbangan. Disamping itu, Pemerintah juga melakukan kebijakan relaksasi dan perubahan kebijakan angkutan udara dimana pengaturan rute lebih mendorong swasta untuk dapat lebih berperan dalam melakukan penerbangan internasional. Rute relatif dibuka dan lebih bebas sepanjang masih terdapat right (hak angkut) yang belum digunakan. Penentuan kapasitas hak angkut lebih fleksible didasarkan atas jumlah tempat duduk. Sedangkan pada masalah tarif kebijakan, mekanisme tarif yang diterapkan yaitu Double Disapproval (dimana tarif dapat ditetapkan meskipun hanya satu negara anggota yang menyetujui) dalam rangka meningkatkan pariwisata dan perdagangan.
Kebijakan Angkutan Udara Dalam Negeri :
Kebijakan angkutan dalam negeri diarahkan sebagai berikut :
a. Rute penerbangan dalam negeri dapat menghubungkan dan menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia yang terdiri dari rute utama, rute pengumpan dan rute perintis.
b. Memperhatikan aspek pemerataan pelayanan di seluruh wilayah, dengan menerapkan prinsip subsidi silang (keseimbangan rute) yaitu perusahaan penerbangan selain menerbangi rute sangat padat dan padat juga menerbangi rute kurang padat dan tidak padat
c. Menerapkan Multi Airlines System dimana satu rute penerbangan dilayani lebih dari satu perusahaan penerbangan untuk menciptakan iklim usaha yang berkompetisi secara sehat dan kondusif
d. Memperhatikan keterpaduan antar rute penerbangan dalam negeri atau rute penerbangan dalam negeri dengan rute penerbangan luar negeri
e. Mendukung iklim usaha terhadap Pemegang Ijin usaha kegiatan angkutan udara niaga dan bukan niaga, pada situasi tertentu, untuk dapat melayani rute – rute tertentu yang tidak dilayani oleh angkutan udara niaga berjadwal guna mendukung iklim usaha yang kondusif dan kegiatan penduduk setempat.
Kebijakan Angkutan Udara Luar Negeri :
Kebijakan angkutan udara luar negeri secara umum saat ini diarahkan sebagai berikut:
a. Pertukaran hak angkut dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Kebijakan angkutan udara internasional dilakukan secara bertahap dan progresif dengan memperhatikan perkembangan industri angkutan udara regional maupun global, dan tetap memperhatikan kepentingan dan kemampuan perusahaan angkutan udara nasional dalam bersaing di pasar internasional.
b. Liberalisasi hak-hak angkutan udara (traffic rights) dimulai dari kerjasama sub-regional seperti IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle) dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipine-East ASEAN Growth Triangle).
c. Evaluasi dan penerapan rute – rute penerbangan internasional didasarkan atas pertimbangan aspek komersial, politik dan memperhatikan keterkaitannya dengan rute domestik.
d. Memberikan kepastian terhadap perusahaan penerbangan asing dalam melaksanakan penerbangan langsung ke Daerah Tujuan Wisata di Indonesia.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan hak angkut yang dimiliki melalui kerjasama diantara perusahaan angkutan dalam negeri dengan perusahaan angkutan udara asing.
Implementasi dari kebijakan terkait parjanjian bilateral atau multilateral dalam hal perjanjian hubungan udara adalah sebagai berikut :
a. Penetapan rute penerbangan bersifat fleksibel dan berdasarkan letak geografis, bukan market demand. Pengaturan frekuensi dan kapasitas berdasarkan asas resiprositas.
b. Penetapan Penunjukan perusahaan penerbangan (designated airline) diarahkan pada multy designated sistem (dimana semua perusahaan penerbangan nasional mempunyai kesempatan yang sama untuk melayani semua rute penerbangan internacional).
c. Penetapan 27 bandar udara internasional agar perusahaan penerbangan nasional atau asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung.
d. Penunjukan perusahaan angkutan udara berdasarkan kriteria “substancial ownership and effective control” yaitu perusahaan yang dapat ditunjuk sebagai designated airlines Indonesia adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum atau negara Indonesia.
e. Pengaturan kapasitas, frekuensi dan rute angkutan kargo dilakukan secara fleksible. Mendorong kerjasama antar perusahaan penerbangan dalam bentuk joint operation atau bilateral atau third party code sharing.
f. Mekanisme penetapan tarif secara bertahap dan selektif mengarah pada Double Disapproval. Mendorong airlines asing untuk dapat mengembangkan pasar di wilayah Indonesia Timur melalui kerjasama dengan airline nasional; Charter Flights tetap diperlakukan sebagai supplement dari Scheduled Flights;
g. Indonesia telah menandatangani perjanjian angkutan udara dengan 71 negara, salah satu diantaranya berdasarkan pendekatan liberal.
Kebijakan Angkutan Haji :
a. Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia adalah merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Departemen Agama bertindak sebagai koordinator dan pengawas pelaksanaan kegiatan tersebut.
b. Departemen agama menetapkan perusahaan penerbangan dan spesifikasi pesawat yang akan mengangkut jemaah haji dari Indonesia menuju Arab Saudi atau sebaliknya melalui tender terbuka.
c. Departemen Perhubungan mengevaluasi kelaikan pesawat yang telah ditetapkan untuk mengangkut jemaah haji.
d. Pelaksanaan kegiatan penerbangan haji adalah penerbangan charter yang wajib memiliki persetujuan terbang (flight approval) dari Departemen Perhubungan
e. Perusahaan penerbangan yang melayani angkutan haji harus memiliki landing permit dari Presidency of Civil Aviation, Kingdom Saudi Arabia dan “Hajj Control” untuk mendapatkan arrival times dan departure times (slot time) di Bandar Udara King Abdul Azis – Jeddah.
Kebijakan kepengusahaan di bidang angkutan udara
a. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan oleh :
1) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berbentuk Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero)
Badan Usaha Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas; atau,
2) Koperasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b. Persyaratan permohonan izin usaha angkutan udara niaga adalah sebagai berikut:
1) Memiliki akte pendirian perusahaan yang salah satu kegiatannya harus memuat usaha angkutan udara niaga berjadwal dan atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab terhadap pengesahan akte pendirian perusahaan.
2) Layak ditinjau dari aspek ekonomi dan kemampuan secara finansial untuk dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga dengan menyampaikan studi kelayakan yang antara lain memuat aspek sebagai berikut :
a) jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan
b) rute penerbangan, bagi pemohon kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal, rencana daerah operasi bagi pemohon izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
c) aspek pemasaran
d) profile organisasi perusahaan dan sumber daya manusia meliputi teknisi dan awak pesawat udara
e) kesiapan dan kelayakan fasilitas untuk pengoperasian pesawat udara
f) analisis dan evaluasi dari aspek ekonomi dan finansial.
3) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NOMOR POKOK WAJIB PAJAK)
4) Surat keterangan domisili.
c. Untuk dapat beroperasi pemohon wajib memiliki Air Operator Certificate (AOC).
Dalam rangka penanaman modal asing, pemerintah memberikan peluang untuk berusaha dibidang usaha jasa angkutan udara niaga baik berjadwal dan atau tidak berjadwal melalui kerjasama joint venture dengan Badan Hukum Indonesia yang berbetuk Perseroan Terbatas (PT), dimana mayoritas kepemilikan saham berada pada warga negara indonesia dan atau perusahaan Indonesia.
Penyelenggara Bandar Udara Internasional :
Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, jumlah Bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara Internasional di Indonesia terdapat 27 Bandar Udara. andar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri ditetapkan berdasarkan pertimbangan beberapa aspek sebagai berikut :
a. Potensi permintaan penumpang angkutan udara;
b. Potensi kondisi geografis ;
c. Potensi kondisi pariwisata ;
d. Potensi kondisi ekonomi ;
e. Aksesibilitas dengan bandar udara internasional disekitarnya, dan ketentuan intra antar moda.
Pelayanan jasa angkutan udara harus memperhatikan keselamatan, keamanan, kecepatan, kelancaran, ketertiban, keteraturan dan efisiensi dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.”
Masyarakat Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati jasa pelayanan angkutan udara dengan tarif yang dapat terjangkau dan tetap memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.
Dalam hal pengaturan tentang prosedur berlakunya tarif angkutan udara internasional bilateral, hampir semua perjanjian angkutan udara bilateral Indonesia menggunakan sistem “double approval” yaitu suatu tarif yang diajukan oleh kedua perusahaan angkutan udara yang ditunjuk hanya dapat diberlakukan apabila telah disetujui oleh kedua Pemerintah. Namun demikian, Pemerintah secara bertahap dan selektif akan menerapkan sistem ”double dis-approval”.
Dengan tetap dimungkinkan Pemerintah campur tangan dalam pengaturan tarif guna :
Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
a. Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
b. Melindungi konsumen dari pengenaan tarif tinggi yang tidak wajar karena memegang posisi dominan pada suatu pasar.
c. Melindungi perusahaan penerbangan dari penetapan tarif yang rendah oleh perusahaan penerbangan lainnya karena subsidi langsung atau tidak langsung dari Pemerintah.
Pengaturan Tarif di Bidang Jasa Kebandar Udaraan :
a. Tarif pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum ditetapkan berdasarkan pada struktur dan golongan tarif serta dengan memperhatikan :
1) Kepentingan pelayanan umum ;
2) Peningkatan mutu pelayanan jasa ;
3) Kepentingan pemakai jasa ;
4) Penigkatan kelayakan pelayanan ;
5) Pengaturan biaya ; dan
6) Pengembangan Usaha.
b. Penetapan tarif pelayanan jasa kebandarudaraan :
1) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
4) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diusahakan ditetapkan oleh Direksi Badan Usaha Kebandarudaraan setelah dikonsultasikan dengan menteri Perhubungan.
Pada era tahun 1945 – 1970 kegiatan penerbangan internasional oleh perusahaan nasional hanya dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik negara yaitu PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara. Pemerintah menerapkan kebijakan penunjukkan perusahaan penerbangan (designeted airlines) yang bersifat tunggal (single designated) dimana PT. Garuda Indonesia ditunjuk untuk melayani penerbangan internasional jarak jauh (long haul) sedangkan PT. Merpati Nusantara untuk jarak dekat (regional flight).
Kebijakan prinsip dasar dalam pelaksanaan perjanjian udara relatif tidak mengalami perubahan sampai sekarang masih menganut prinsip resiprocal (timbal balik) dan cabotage (perusahaan penerbangan asing tidak dapat melakukan penerbangan domestik di wilayah Indonesia). Pada era tersebut pengaturan kapasitas pada penerbangan internasional kurang fleksibel.
Untuk pengaturan tarif masih bersifat proteksi dengan kebijakan tarif double approval, dimana perusahaan angkutan udara yang ditunjuk dari Indonesia dan negara mitra melakukan kesepakatan tarif sesuai dengan kebijakan IATA dan selanjutnya kesepakatan tarif tersebut harus mendapat persetujuan dari pejabat penerbangan sipil kedua negara tersebut. Dimana tanpa adanya kesepakatan, tariff tersebut tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh kedua perusahaan penerbangan yang telah ditunjuk.
Sedangkan sejak era 1990 sampai dengan era 1999 perkembangan dunia penerbangan mengalami sedikit perubahan pada kebijakan penunjukkan perusahaan angkutan udara menjadi multi designated airline. Perubahan kebijakan ini memberi peluang swasta berpartisipasi dalam mengembangkan industri angkutan udara nasional.
Adapun kebijakan pelaksanaan rute untuk penerbangan long houl adalah PT. Garuda Indonesia sedangkan untuk rute regional untuk PT. Merpati Nusantara dan perusahaan swasta lainnya, untuk pengaturan kapasitas telah mengalami perubahan dari yang bersifat protektif menjadi cukup fleksibel.
Mulai era tahun 1999 sampai 2005, banyak terjadi peristiwa buruk yang menimpa dunia dan juga Indonesia sebagai contoh peristiwa pemboman WTC pada tanggal 9/11/2001 dan pada tahun 2002 terjadi kejadian pemboman Bali I serta peristiwa Bom Bali II pada tahun 2005, peristiwa – peristiwa tersebut cukup mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan ke arah penurunan permintaan. Hal tersebut, mendorong pemerintah untuk melakukan pengetatan peraturan terkait dengan keselamatan dan keamanan penerbangan. Disamping itu, Pemerintah juga melakukan kebijakan relaksasi dan perubahan kebijakan angkutan udara dimana pengaturan rute lebih mendorong swasta untuk dapat lebih berperan dalam melakukan penerbangan internasional. Rute relatif dibuka dan lebih bebas sepanjang masih terdapat right (hak angkut) yang belum digunakan. Penentuan kapasitas hak angkut lebih fleksible didasarkan atas jumlah tempat duduk. Sedangkan pada masalah tarif kebijakan, mekanisme tarif yang diterapkan yaitu Double Disapproval (dimana tarif dapat ditetapkan meskipun hanya satu negara anggota yang menyetujui) dalam rangka meningkatkan pariwisata dan perdagangan.
Kebijakan Angkutan Udara Dalam Negeri :
Kebijakan angkutan dalam negeri diarahkan sebagai berikut :
a. Rute penerbangan dalam negeri dapat menghubungkan dan menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia yang terdiri dari rute utama, rute pengumpan dan rute perintis.
b. Memperhatikan aspek pemerataan pelayanan di seluruh wilayah, dengan menerapkan prinsip subsidi silang (keseimbangan rute) yaitu perusahaan penerbangan selain menerbangi rute sangat padat dan padat juga menerbangi rute kurang padat dan tidak padat
c. Menerapkan Multi Airlines System dimana satu rute penerbangan dilayani lebih dari satu perusahaan penerbangan untuk menciptakan iklim usaha yang berkompetisi secara sehat dan kondusif
d. Memperhatikan keterpaduan antar rute penerbangan dalam negeri atau rute penerbangan dalam negeri dengan rute penerbangan luar negeri
e. Mendukung iklim usaha terhadap Pemegang Ijin usaha kegiatan angkutan udara niaga dan bukan niaga, pada situasi tertentu, untuk dapat melayani rute – rute tertentu yang tidak dilayani oleh angkutan udara niaga berjadwal guna mendukung iklim usaha yang kondusif dan kegiatan penduduk setempat.
Kebijakan Angkutan Udara Luar Negeri :
Kebijakan angkutan udara luar negeri secara umum saat ini diarahkan sebagai berikut:
a. Pertukaran hak angkut dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Kebijakan angkutan udara internasional dilakukan secara bertahap dan progresif dengan memperhatikan perkembangan industri angkutan udara regional maupun global, dan tetap memperhatikan kepentingan dan kemampuan perusahaan angkutan udara nasional dalam bersaing di pasar internasional.
b. Liberalisasi hak-hak angkutan udara (traffic rights) dimulai dari kerjasama sub-regional seperti IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle) dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipine-East ASEAN Growth Triangle).
c. Evaluasi dan penerapan rute – rute penerbangan internasional didasarkan atas pertimbangan aspek komersial, politik dan memperhatikan keterkaitannya dengan rute domestik.
d. Memberikan kepastian terhadap perusahaan penerbangan asing dalam melaksanakan penerbangan langsung ke Daerah Tujuan Wisata di Indonesia.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan hak angkut yang dimiliki melalui kerjasama diantara perusahaan angkutan dalam negeri dengan perusahaan angkutan udara asing.
Implementasi dari kebijakan terkait parjanjian bilateral atau multilateral dalam hal perjanjian hubungan udara adalah sebagai berikut :
a. Penetapan rute penerbangan bersifat fleksibel dan berdasarkan letak geografis, bukan market demand. Pengaturan frekuensi dan kapasitas berdasarkan asas resiprositas.
b. Penetapan Penunjukan perusahaan penerbangan (designated airline) diarahkan pada multy designated sistem (dimana semua perusahaan penerbangan nasional mempunyai kesempatan yang sama untuk melayani semua rute penerbangan internacional).
c. Penetapan 27 bandar udara internasional agar perusahaan penerbangan nasional atau asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung.
d. Penunjukan perusahaan angkutan udara berdasarkan kriteria “substancial ownership and effective control” yaitu perusahaan yang dapat ditunjuk sebagai designated airlines Indonesia adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum atau negara Indonesia.
e. Pengaturan kapasitas, frekuensi dan rute angkutan kargo dilakukan secara fleksible. Mendorong kerjasama antar perusahaan penerbangan dalam bentuk joint operation atau bilateral atau third party code sharing.
f. Mekanisme penetapan tarif secara bertahap dan selektif mengarah pada Double Disapproval. Mendorong airlines asing untuk dapat mengembangkan pasar di wilayah Indonesia Timur melalui kerjasama dengan airline nasional; Charter Flights tetap diperlakukan sebagai supplement dari Scheduled Flights;
g. Indonesia telah menandatangani perjanjian angkutan udara dengan 71 negara, salah satu diantaranya berdasarkan pendekatan liberal.
Kebijakan Angkutan Haji :
a. Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia adalah merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Departemen Agama bertindak sebagai koordinator dan pengawas pelaksanaan kegiatan tersebut.
b. Departemen agama menetapkan perusahaan penerbangan dan spesifikasi pesawat yang akan mengangkut jemaah haji dari Indonesia menuju Arab Saudi atau sebaliknya melalui tender terbuka.
c. Departemen Perhubungan mengevaluasi kelaikan pesawat yang telah ditetapkan untuk mengangkut jemaah haji.
d. Pelaksanaan kegiatan penerbangan haji adalah penerbangan charter yang wajib memiliki persetujuan terbang (flight approval) dari Departemen Perhubungan
e. Perusahaan penerbangan yang melayani angkutan haji harus memiliki landing permit dari Presidency of Civil Aviation, Kingdom Saudi Arabia dan “Hajj Control” untuk mendapatkan arrival times dan departure times (slot time) di Bandar Udara King Abdul Azis – Jeddah.
Kebijakan kepengusahaan di bidang angkutan udara
a. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan oleh :
1) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berbentuk Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero)
Badan Usaha Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas; atau,
2) Koperasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b. Persyaratan permohonan izin usaha angkutan udara niaga adalah sebagai berikut:
1) Memiliki akte pendirian perusahaan yang salah satu kegiatannya harus memuat usaha angkutan udara niaga berjadwal dan atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab terhadap pengesahan akte pendirian perusahaan.
2) Layak ditinjau dari aspek ekonomi dan kemampuan secara finansial untuk dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga dengan menyampaikan studi kelayakan yang antara lain memuat aspek sebagai berikut :
a) jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan
b) rute penerbangan, bagi pemohon kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal, rencana daerah operasi bagi pemohon izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
c) aspek pemasaran
d) profile organisasi perusahaan dan sumber daya manusia meliputi teknisi dan awak pesawat udara
e) kesiapan dan kelayakan fasilitas untuk pengoperasian pesawat udara
f) analisis dan evaluasi dari aspek ekonomi dan finansial.
3) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NOMOR POKOK WAJIB PAJAK)
4) Surat keterangan domisili.
c. Untuk dapat beroperasi pemohon wajib memiliki Air Operator Certificate (AOC).
Dalam rangka penanaman modal asing, pemerintah memberikan peluang untuk berusaha dibidang usaha jasa angkutan udara niaga baik berjadwal dan atau tidak berjadwal melalui kerjasama joint venture dengan Badan Hukum Indonesia yang berbetuk Perseroan Terbatas (PT), dimana mayoritas kepemilikan saham berada pada warga negara indonesia dan atau perusahaan Indonesia.
Penyelenggara Bandar Udara Internasional :
Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, jumlah Bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara Internasional di Indonesia terdapat 27 Bandar Udara. andar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri ditetapkan berdasarkan pertimbangan beberapa aspek sebagai berikut :
a. Potensi permintaan penumpang angkutan udara;
b. Potensi kondisi geografis ;
c. Potensi kondisi pariwisata ;
d. Potensi kondisi ekonomi ;
e. Aksesibilitas dengan bandar udara internasional disekitarnya, dan ketentuan intra antar moda.
Pelayanan jasa angkutan udara harus memperhatikan keselamatan, keamanan, kecepatan, kelancaran, ketertiban, keteraturan dan efisiensi dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.”
Masyarakat Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati jasa pelayanan angkutan udara dengan tarif yang dapat terjangkau dan tetap memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.
Dalam hal pengaturan tentang prosedur berlakunya tarif angkutan udara internasional bilateral, hampir semua perjanjian angkutan udara bilateral Indonesia menggunakan sistem “double approval” yaitu suatu tarif yang diajukan oleh kedua perusahaan angkutan udara yang ditunjuk hanya dapat diberlakukan apabila telah disetujui oleh kedua Pemerintah. Namun demikian, Pemerintah secara bertahap dan selektif akan menerapkan sistem ”double dis-approval”.
Dengan tetap dimungkinkan Pemerintah campur tangan dalam pengaturan tarif guna :
Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
a. Mencegah penetapan tarif yang tidak wajar dan bersifat diskriminatif atau tindakan-tindakan yang diskriminasi;
b. Melindungi konsumen dari pengenaan tarif tinggi yang tidak wajar karena memegang posisi dominan pada suatu pasar.
c. Melindungi perusahaan penerbangan dari penetapan tarif yang rendah oleh perusahaan penerbangan lainnya karena subsidi langsung atau tidak langsung dari Pemerintah.
Pengaturan Tarif di Bidang Jasa Kebandar Udaraan :
a. Tarif pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum ditetapkan berdasarkan pada struktur dan golongan tarif serta dengan memperhatikan :
1) Kepentingan pelayanan umum ;
2) Peningkatan mutu pelayanan jasa ;
3) Kepentingan pemakai jasa ;
4) Penigkatan kelayakan pelayanan ;
5) Pengaturan biaya ; dan
6) Pengembangan Usaha.
b. Penetapan tarif pelayanan jasa kebandarudaraan :
1) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Besaran tarif pelayanan jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
4) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada Bandar udara umum yang diusahakan ditetapkan oleh Direksi Badan Usaha Kebandarudaraan setelah dikonsultasikan dengan menteri Perhubungan.