a. Demi keamanan dan keselamatan serta kelancaran penerbangan VVIP,maka kegiatan arus lalu lintas penerbangan di seluruh Bandar udara dan FIR Indonesia diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Pada Bandar udara keberangkatan dan kedatangan, pergerakan pesawat udara VVIP diberi prioritas, dan operasional Bandar udara tidak dinyatakan tertutup untuk kegiatan sipil lainnya.
2) Apabila dibutuhkan, dapat menerbitkan NOTAM EXPECTED DELAY dengan ketentuan 30 menit sebelum keberangkatan dan 15 menit setelah pesawat udara VVIP berangkatan.
3) Separasi atau jarak terbang antara pesawat udara VVIP dengan pesawat udara sipil lain diatur sebagai berikut :
a) 5 NM Horisontal Radar Separasi dan 2000 Feet Vertical Radar Separasi untuk penerbangan di wilayah udara Terminal Control Area (TMA) dan/atau wilayah udara Approach Area ;
b) 10 NM Horisontal Radar Separasi dan 2000 Feet Vertical Radr Separasi untuk penerbangan di wilayah udara Area Control Center (ACC)/En-Route ;
c) Pemberlakuan base on time horizontal separasi bagi penerbangan di wilayah udara non radar service dan di RVSM airspace
4) Operator penerbangan atau pilot in command harus memberikan informasi kepada penumpang umum pesawat udara bila terjadi penundaan keberangkatan dan/atau kedatangan pesawat udara dari jadwal perkiraan yang telah ditetapkan, dengan alas an perasional (Operasional Reason).
5) Pesawat udara VVIP yang tidak memiliki RVSM approval, agar mencantumkan STATE AIRCRAFT pada kolom 18 format ICAO ,VVIP flight plan agar disampaikan dalam kurun waktu 72 jam dan tidak boleh kurang dari 4 jam sebelum keberangkatan, tanpa adanya perubahan.
b. Untuk terselenggaranya kelancaran penerbangan VVIP, agar dilakukan koordinasi antara secretariat militer RI dengan pelaksana kegiatan penerbangan di Bandar udara.
Sesuai dengan Annex 11, Air Traffic Services, part 2.16, 2.17 mengenai koordinasi antara ATS dengan otorisasi militer disebutkan bahwa :
a. Pejabat ATS yang berwenang harus membuat dan menjaga koordinasi yang erat dengan pihak militer yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pesawat yang mungkin membahayakan penerbangan sipil.
b. Perjanjian hendaknya dibuat sehingga informasi yang relevan dengan keselamatan dan kecepatan penerbangan sipil dapat disampaikan/ditukarkan dengan segera antara unit ATS dan unit militer yang berwenang.
c. Baik secara rutin ataupun atas permintaan, unit ATS harus menyediakan flight plan dan data penerbangan sipil bagi pihak militer yang berwenang sesuai dengan prosedur local yang telah disetujui.
d. Prosedur-prosedur yang ada harus menjamin bahwa unit ATS akan diberitahu apabila unit militer mengetahui ada pesawat sipil atau dipercaya sebagai pesawat sipil mendekati atau sedang memasuki daerah dimana mungkin diperlukan untuk melakukan intercept. Pemberitahuan tersebut hendaknya meliputi aksi perbaikan yang diperlukan yang mungkin dapat menghindari diperlukannya tindakan intercept.
e. Tanggung jawab pengoperasian militer :
1) bahwa suatu ketika operasi pesawat militer tidak harus sesuai dengan prosedur dengan lalu lintas udara sipil (mungkin bersifat rahasia dan mendadak/darurat). Tugas ATC sipil adalah melindungi keselamatan penerbangan sipil, oleh karena itu ATC wajib meminta kepada pihak militer untuk memberi tahu unit ATC terkait tentang rencana operai penerbangan, jika memungkinkan, sehingga ATC sipil dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi lalu lintas penerbangan sipil.
2) Gerakan-gerakan luar biasa/di luar kebiasaan atau pemakaian separator kurang dari standard minimal mungkin dilakukan oleh pesawat militer. Tindakan tesebut hanya akan diterima/disetujui oleh ATC sipil jika pemintaan khusus secara tertulis telah diterima dari pihak militer dan penerapan separation minima yang kurang dari standard tersebut hanya diberlakukan bagi pesawat militer (antara pesawat militer, sedangkan anatara pesawat militer dan sipil diupayakan tetap sesuai atau lebih besar dari standard minima yang berlaku). Instruksi tertulis yang memuat pengurangan separation minima tersebut harus disebarluaskan kepada unit ATC lain yang terkait.
3) Pemakaian ruang udara (airspace reservation) oleh militer baik bersifat tetap di suatu lokasi (stasionary) atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain (mibile) untuk terbang formasi berskala besar atau operasi militer lainnya boleh dilakukan dengan syarat koordinasi dilakukan sedini mungkin sehingga memungkinkan disebar luaskannya informasi tersebut melalui prosedur di Annex 15 (aeronautical Information Service).
Dalam doc.9554-AN/932 Manual Concerning Safety Meaures Relating to Militar Activitues Patentially Hazardous to Civil Aircraft Operation, point 3.6 menyebutkan hal-hal yang harus dikoordinasikan diantaranya :
a. area aktifitas (hendaknya tidak dekat dengan ATS route, kecuali tidak ada pilihan lain, luas area diusahakan tidak besar).
b. Waktu dan durasi (hendaknya tidak menggunakan/menunda jadwal penerbangan sipil).
c. Ketentuan pengamanan.
d. Alat dan cara koordinasi pihak militer dengan unit ATS termasuk hubungan radio.
e. Jenis penerbangan/operasi lainnya.
Dalam Air Traffic Service Planning Manual (Doc 9426), part II, section I, chapter 2 menyebutkan jika koordinasi sipil militer tidak ditangani dengan baik, akan memunculkan masalah-masalah yang akan sulit dipecahkan. Berikut adalah hal-hal yang perlu mendapat perhatian sehingga tidak menimbulkan permasalahan :
a. terminologi dan singkatan harus dibuat dan dipakai kedua pihak pengguna ruang udara guna menghindari kesalahpahaman. Terminologi dan singkatan tersebut seharusnya, apabila memungkinkan sesua dengan ICAO.
b. Peraturan dan prosedur yang berlaku dalam pelayanan lalu lintas udara sipil dan militer, sesuai dengan ketentuan ICAO, harus dibuat untuk dipergunakan oleh pesawat sipil maupun militer.
c. Perencanaan tentang organisasi dan penggunaan ruang udara harus dikelola penguasa sipil dan militer dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor :
1) keamanan nasional
2) persyaratan keselamatan, fleksibilitas, dan ekonomi dalam lalu lintas udara.
3) Pengguna bersama ruang udara dengan ketentuan pelayanan yang sesuai, termasuk radar.
4) Kesesuaian operasi sipil dan militer dalam area yang sama.
5) Kebutuhan untuk meminimumkan pembatasan ruang udara, sehingga meminimalkan terjadinya gangguan antar sipil dan militer dalam operasinya.
6) Kebutuhan untuk mengkaji ulang secara peroidik dan memperkirakan persyaratan selanjutnya untuk pembatasan ruang udara.
7) Akibat dari ketidak sesuaian antara navigasi sipil dan militer serta peralatan komunikasi.
8) Ketidaknyamanan ketika terjadi konflik kebutuhan antara pihak sipil dan militer.
9) Kebutuhan untuk konsultasi bersama sebelum membuat aerodrome baru, instalasi militer, peralatan navigasi dan fasilitas lainnya yang mempengaruhi organisasi dan penggunaan ruang udara.
10) Latihan militer yang berdampak pada navigasi udara seharusnya dikoordinasikan, sehingga antar pembuatan rencana latihan dengan kewenangan penerbangan sipil terdapat kesesuaian.
11) Personil yang bertugas seharusnya menerima pelatihan khusus mengenai sipil dan militer, tujuan dari pelatihan ini adalah untuk menciptakan personil yang cakap.
12) Fasilitas sipil dan militer harus memiliki kesamaan prinsip dan identik ketika digunakan hal tersebut disesuaikan dengan ketentuan ICAO.
13) Ketentuan seharusny dibuat antar negara agar terjadi kecepatan dan efisiensi laporan, investigasi dan pemecahan terhadap pelanggaran ruang udara dan/atau peristiwa near-miss.
Dalam pengaplikasianya, koordinasi sipil militer didasarkan pada filosofi bahwa keselamatan dan efisiensi penggunaan ruang udara dapar dicapai apabila terjadi integritas sistem antara sipil dan militer dan semua pesawat udara pada ruang udara nasional mengacu pada rule of the air dan prosedur ATC.
Pada beberapa negara, personel militer berhubungan dengan unit ATC sipil, dimana mereka bekerja pada posisi operasional dan prosedural, dan terlibat pada riset dan pengembangan, dan perencanaan airways. Saat semua prosedur ATC harus di koordinasikan dengan otoritas militer sebelum diadopsi, keterlibatan personel militer dalam aktivitas ini, baik sebagai pengguna atau penyedia sangat penting.
Sebaliknya, personel penghubung sipil ditempatkan pada komando militer yang sesuai. Personel ini harus memberikan dan menginterpretasikan, sebagaimana diperlukan :
a. pengaruh dan tujuan kebijakan penerbangan sipil, peraturan dan prosedur yang mempengaruhi operasi militer.
b. Membantu poersonel militer dalam persiapan, koordinasi, dan proses pengetahuan pergerakan lalu lintas militer.
c. Membantu dalam pemecahan masalah yang timbul dari kesalapahaman terhadap operasi militer, prosedur sipil, pembatasan sistem, dan masalah lain yang terkait dengan operasi.
Di bawah beberapa ketetapan, otoritas militer dapat mendelegasikan tanggung jawab pengkoordinasian aktivitas dari hari ke hari kepada personil ATS sipil yang bekerja pada unit Area Control Center (ACCs). Aktivitas tersebut meliputi pengarahan singkat kepada pemandu lalu lintas udara mengenai aktivitas militer dan melaksanakan tugas sebagai penghubung kerja selama aktifitas militer dan melaksanakan tugas sebagai penghubung kerja selama aktivitas militer tesebut berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar