Indonesia sebagai anggota International civil aviation Organization (ICAO), seyogyanya kita mengikuti ICAO Recommendations yang menggariskan kebijakan2 dibidang penerbangan sipil yang telah menjadi konsensus para anggotanya.
ICAO Recommendations yang berkaitan dengan airport dan route charges tercantum dalam ICAO Doc 9082/6 tentang ICAO’s Policies on Charges for Airports and Air Navigation Services.
· Bila mana bandar udara dipergunakan untuk penerbangan internasional, maka semua pihak yang memakai bandar udara tersebut seyogyanya menangung beaya pengoperasian bandar udara tersebut secara adil dan proporsional.
· Pengelola bandar udara harus melaksanakan pencatatan dan penyediaan informasi secukupnya yang dibutuhkan pengelola sendiri dan pemakai jasa, serta mengidentifikasi seakurat mungkin penggunaan fasilitas dan jasa yang berkaitan dengan airport charges.
· Pengelola bandar udara harus melaksanakan akuntansi sebagai dasar penentuan dan pengalokasian beaya yang akan direcover, mengumumkan neraca secara berkala, dan menyediakan data finansial yang memadai dalam konsultasi dengan pemakai jasa bandara.
·
· Airline dan pemakai jasa lainnya tidak dapat dikenakan pungutan atas fasilitas dan jasa yang tidak dinikmatinya, selain yang disediakan sesuai dengan Regional Air Navigation Plan.
· Yang dapat dimasukkan kedalam cost adalah fasilitas dan jasa yang disediakan untuk kebutuhan bagi penerbangan internasional, diluar fasilitas dan prasarana yang disewakan secara terpisah / eksklusif kepada pihak lain.
· Pengalokasian beaya harus memperhitungkan pula fasilitas yang dipergunakan oleh Instansi Pemerintah.
· Persentase beaya yang dialokasikan kepada berbagai kelompok pemakai jasa, termasuk pesawat terbang milik Pemerintah, harus memakai dasar yang dapat dipertanggung-jawabkan sehingga pemakai tidak terbebani beaya yang bertentangan dengan prinsip akuntansi yang wajar.
· Beaya yang berkaitan dengan pemberian jasa Approach and Aerodrome Control harus dibukukan secara terpisah.
· Bandar udara dimungkinkan untuk memperoleh pendapatan yang melebihi beaya operasional yang Iangsung dan tidak langsung untuk pengembangan bandar udara dan lainnya.
· Kemampuan untuk membayar tidak dapat dipakal sebagai dasar pengenaan charge.
· Airport charging system harus sesuai dengan prinsip2 sebagal berikut :
· Charging system yang digunakan haruslah sederhana dan sesuai untuk bandar udara internasional.
· Pungutan janganlah sedemikian rupa sehingga menimbulkan keengganan untuk memakai fasilitas yang diperlukan untuk keselamatan penerbangan.Perhitungan pungutan harus didasarkan prinsip akuntansi yang wajar dan prinsip ekonomi yang berlaku umum.
· Pungutan harus bersifat non-diskriminatif bagi semua pemakal yang melaksanakan penerbangan internasional, baik airline nasional maupun asing.
· Discount yang diberikan kepada pemakai jasa tertentu, tidak dapat dibebankan kepada pemakai jasa lainnya.
· Kenaikan pungutan seyogyanya dilaksanakan secara bertahap.
· Apa bila pungutan di bandar udara dilaksanakan oleh berbagai pihak, agar diusahakan sedapat mungkin untuk menggabungkannya dalam satu tagihan, untuk kemudian membagikan penerimaannya diantara mereka sendiri.
· Fleksibilitas dalam pelaksanaan pungutan perlu diperhatikan agar dapat melaksanakan penyempurnaan sistim pemungutan dengan mudah di kemudian hari.
· Airport charges terhadap international general aviation harus diperhitungkan dengan wajar dengan mempertimbangkan penggunaan fasilitas bandar udara dan untuk mendorong perkembangan transportasi udara pada umumnya.
Prinsip dasar dalam menetapkan Landing Charges.
- ICAO merekomendasikan prinsip2 dasar dalam menentukan landing charge sebagai berikut:
- Landing charge harus didasarkan weight formula dengan memakai MTOW ( maximum permissable take-off weight ) yang tercantum dalam CoA ( certificate of airworthiness, surat tanda laik udara ).
- Dalam keadaan tertentu seperti di bandar udara yang padat atau waktu2 yang padat, dapat diterapkan fixed charge per aircraft atau kombinasi fixed charge dengan weight-related element.
- Landing charge scale harus didasarkan pada a constant rate per 1000 kilograms or pounds, tetapi rate tersebut dapat berbeda untuk range2 tertentu,
- Apabila dikenakan pungutan untuk Approach dan Aerodrome Control, balk secara terpisah atau bagian dan Landing Charge, aircraft weight dapat dipakai sebagai dasar perhitungan, tetapi harus degressif semakin besar pesawat terbangnya.
- Differensiasi tarif tidak dibenarkan untuk jarak terbang yang berbeda.
- Harus diusahakan sedapat mungkin agar menggabungkan berbagal pungutan untuk landing dan take-off kedalam satu tagihan.
- Apa bila ada pombatasan berat pesawat terbang untuk pendaratan yang signifikan dan untuk jangka panjang, maka tarip yang didasarkan berat pesawat terbang harus disesuaikan dengan pembatasan tersebut.
- Landing charge harus mencakup penggunaan runway light dan special radio aids untuk landing demi keselamatan.
Fasilitas Dan Jasa Pelayanan Pendaratan Pesawat Terbang :
Didalam ICAO Doc 9082/6 Appendix I disebutkan fasilitas dan jasa yang merupakan komponen untuk menghitung landing charge adalah:
Landing Area, yaitu landasan dan tanah lapang untuk shoulder dan approach area, taxiway dan alat bantu pendaratan.
Apron tidak termasuk landing area karena termasuk Terminal Area, dan untuk parkir pesawat terbang dikenakan Aircraft Parking Charge dan pungutan lainnya yang terkait.
Faktor2 yang dipakai untuk menghitung besarnya landing charge adalah:
Weight-related landing charge.
Biasanya yang dipakai adalah MTOW (maximum permissable take-off weight). Tanip per ton dapat proporsional atau degressif semakin berat pesawat terbang..
Walaupun tidak sesuai dengan ketentuan ICAO, argumentasi yang kita kemukakan adalah besarnya investasi untuk upgrading fasilitas HLP untuk mengakomodasi B747 yang frekwensinya masih sangat rendah dan tarip yang masih dibawah bandara lainnya.
Ability to pay’ principle.
Airlines yang mengoperasikan pesawat terbang besar mempunyai kemampuan untuk membayar charges yang lebih besar.
Selain keausan dan kerusakan landasan yang ditimbulkan, pesawat terbang yang besar juga memerlukan separasi vortex yang lebih besar pula, sehingga runway capacity per hour akan lebih kecil.
Sebaliknya, pesawat terbang kecil dengan kecepatan yang rendah membutuhkan waktu panduan yang lebih lama, sedangkan pesawat terbang besar atau kecil memakal fasilitas pendaratan yang sama.
Dengan demikian, korelasi antara aircraft weight dengan landing charge menjadi kurang kuat.
ICAO dalam Doc 9082/6 butir 22.viii menyatakan :
The capacity of users to pay should not be taken into account until all costs are fully assessed and distributed on an objective basis. At that stage, the contributing capability of States and communities concerned should be taken into consideration, it being understood that any State or charging authority may recover less than its full costs in recognition of local, regional or national benefits received.
Movement-related charge :
Beberapa bandar udara menerapkan landing charge yang Iebih tinggi atau suatu minimum charge selama peak hours, dengan tujuan agar sebagian pengoperasian pesawat terbang dapat dialihkan ke jam-jam yang kurang sibuk, terutama pesawat2 terbang kecil.
Diharapkan agar traffic dapat lebih merata sepanjang hari, sehingga penggunaan fasilitas bandar udara dapat lebih optimal.
Sistim ini ditentang oleh airlines karena tidak mempunyal dasar yuridis yang kuat, tetapi hanya menambah cost mereka.
Airlines juga tidak dapat merubah schedule dengan mudah terutama untuk long-haul flights dengan kendala curfew dan berbagai restrictions yang dihadapi serta pola bepergian para penumpang.
Differential landing charges by season or time of day :
Landing charge yang lebih tinggi dapat pula dikenakan selama peak season selain peak hour, misalnya selama summer, Christmas I New Year holidays.
Surcharges.
Selain landing charge, pungutan lain yang diberlakukan di berbagai Negara adalah:
1/ Peak surcharge.
Sebagal mana dikemukakan diatas, landing charge yang lebih tinggi dikenakan selama peak hour dan peak season.
Cara lain yang ditempuh adalah pengenaan peak hour I peak season
surcharge diatas landing charge yang berlaku.
2/ Security charge.
Semakin meningkatnya ancaman terorisme, terutama setelah Tragedi 9/11, ICAO Annex 17: Security, Safeguarding International Civil Aviation Against Acts of Unlawful Interference, mengharuskan bandar udara melaksanakan 100 % Hold Baggage Screening, terhitung tanggal 1 Januari 2006, suatu peningkatan pengamanan bandar udara yang jauh lebih ketat terutama terhadap penumpang dan bagasinya.
Implementasi ketentuan ICAO tersebut membutuhkan investasi yang cukup besar untuk multi-level screening dengan security equipment yang canggih dan pengoperasiannya, seperti Computerized X-Ray Scanner, Tomographic dan Multi-view Scanner, ion scanner, explosive trace detector, surveillance camera didalam dan diluar terminal, obyek vital, seluruh area bandar udara dan pagar perimeternya.
Beaya pengamanan tersebut dibebankan kepada penumpang berupa Security Charge.
3/ Noise-related surcharge.
Di banyak bandar udara, penduduk yang bermukim di sekitar bandar udara menuntut kompensasi kepada pengelola bandar udara untuk kebisingan yang ditimbulkan oleh pesawat udara berupa :
• relokasi kediaman mereka dengan tingkat kebisingan diatas ambang batas toleransi.
• sound proofing dari kamar tidur sampai seluruh rumah sesuai tingkat kebisingannya.
Oleh karena kebisingan tersebut ditimbulkan oleh pesawat terbang, kebijakan yang diambil oleh pihak bandar udara dapat berupa:
· melarang beroperasinya pesawat terbang yang melampaui ambang batas kebisingan, seperti pesawat Caravelle.
· membatasi penerbangan ( curfew ) pada jam-jam tertentu di waktu tengah malam.
· mengenakan noise-related surcharge tenhadap pesawat terbang sesuai dengan tingkat kebisingan yang ditimbulkan.
· memberikan discount terhadap pesawat terbang yang Iebih ‘quiet’.
4/ Transfer passenger charge.
Transfer passenger charge dipungut berdasarkan pertimbangan bahwa transfer passengers juga mempergunakan fasilitas terminal termasuk baggage handling facilities dan security check.
• Dasar2 yang dipergunakan dalam penentuan Landing Charge antara lain adalah :
a. ICAO Recommendations.
Prinsip2 ICAO telah dipakai dalam penentuan Landing Charge yang berlaku, antara lain sebagai beriku t:
Walaupun accounting system yang dipergunakan oleh Ditjen Hubud dan Angkasa Pura belum sempurna pada waktu itu, tetapi prinsip cost recovery telah dipakai sebagai dasar perhitungan.
Non-discrimination.
Tarip yang sama berlaku bagi semua pemakai, tanpa perbedaan antara foreign atau national carriers.
No cross-subsidy.
Landing Change kepada pesawat terbang TNI, Polri dan Instansi Pemerintah lainnya tidak dibebankan kepada pemakal jasa lainnya.
Perbedaan tarip Internasional dan Domestik.
Adanya perbedaan tarip untuk penerbangan internasional dan domestik dapat dibenarkan, asalkan tidak membedakan nationality airlines.
Weight-related formula.
Dasar perhitungan Landing Charge adalah MTOW dengan increments of 1000 kilograms.
Weight limitation.
Jika di suatu bandar udara ada batasan berat maksimum pesawat terbang yang dapat beroperasi, maka maximum Landing Charge disesuaikan dengan batasan tersebut
Klasifikasi bandar udara.
Kiasifikasi bandar udara, karena perbedaan prasarana bandar udara adalah sesuai dengan ketentuan ICAO.
Selama beberapa dasa warsa terakhir, telah terjadi perkembangan yang sangat besar di dunia transportasi udara yang terlihat dari peningkatan volume traffic yang luar biasa, peningkatan dan modernisasi prasarana bandar udara, introduksi type pesawat terbang yang Iebih besar dan perubahan traffic pattern.
Peningkatan traffic yang diikuti dengan peningkatan dan modernisasi prasarana bandar udara, telah merubah pula revenue dan cost structure.
Demi kepentingan Management dan para stakeholders untuk dapat mengetahui kinerja operasional dan keuangan dengan lebih akurat, sudah saatnya untuk meninjau kembali dan menyempurnakan Landing Charge berkaitan dengan ketentuan2 ICAO sebagai benikut:
a. Konformitas dengan ICAO Recommendations.
Prinsip2 dasar yang digariskan ICAO perlu dipergunakan sebagai pedoman penyempurnaan pungutan agar dapat kita pertanggng-jawabkan kepada para pemakai jasa dan menjelaskannya di forum internasional seperti ICAO, ACI dan IATA jika diperlukan.
b. Cost calculation Landing Change ( dan pungutan2 I tanip2 Iainnya ).
Adalah demi kepentingan Management pula untuk mengetahui dengan tepat cost structure dan tiap jasa yang diberikan, dan dapat dipergunakan sebagai masukan untuk menentukan business strategy dan business development jangka panjang I pendek, pengembangan airport infrastructure dan kebijakan strategis lainnya.
c. Landing Charge scale.
Skala dengan interval pada titik 40 dan 100 ton MTOW perlu ditinjau kembali karena frekwensi mayoritas type2 pesawat terbang yang beroperasi telah berubah dari beberapa waktu yang lalu.
Pada awal tahun 1970-an, mayoritas pesawat terbang yang digunakan untuk penerbangan domestik adalah F-27, F-28 dan DC-9, dan jenis pesawat yang besar adalah DC-8, B-707, Convair 990, sedangkan bandar udara utama adalah Kemayoran dengan batas maksimum 270.000 pounds.
Pricing policy.
Dalam penentuan tarip pada tahun 1968, beberapa pedoman yang dipakai adalah antara lain :
1/ Differensiasi tarip berdasarkan jenis penerbangan.
Pedoman yang digunakan untuk pembedaan tarip domedtik dan internasional adalah :
Penerbangan internasional :
100 % tarip dasar, dinyatakan dalam US Dollar dengan kurs yang berlaku.
Penerbangan domestik :
75 % tarip dasar. dinyatakan dalam Rupiah.
Dengan naiknya kurs US Dollar yang luar biasa akibat Krisis Moneter, perbedaan Landing Charge Domestik terhadap Internasional menjadi sangat besar :
Catatan :
Perbedaan yang sangat besar terlihat pula pada tarip Route Charge Domestik dan Internasional, karena mempunyai pola yang sama.
Kebijakan Pemerintah yang over-protective terhadap domestic airlines karena airport charges merupakan direct operating cost bagi airlines, walaupun kurang dari 5 % dari operating cost airline.
Pertimbangan agar harga tiket penerbangan domestik jangan terlalu mahal yang dapat berdampak pada high cost economy, terutama pada waktu inflasi belum dapat dikendalikan.
Pertimbangan lain adalah karena investasi yang cukup besar untuk pengembangan infrastruktur bandar udara dan pembangunan bandar udara baru ( Bandara Soekarno-Hatta ), ditanggung oleh Pemerintah dan dilimpahkan kepada Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II sebagai Penyertaan Modal Negara.
Selama ini Angkasa Pura I dan II belum melaksanakan peninjauan kembali struktur dan perhitungan beaya dari jasa yang diberikan dan menggunakannya sebagai dasar kebijakan pertaripan dan strategi business.
Penyesuaian tarip oleh Pemerintah dilaksanakan dengan menaikkan besaran tarip yang jauh dibawah kenaikan kurs US Dollar, sehingga perbedaan tarip Internasional dan Domestik semakin melebar.
2/ Klasifikasi Bandar udara.
Peningkatan infrastruktur bandar udara telah dilaksanakan untuk memenuhi demand yang meningkat dengan sangat signifikan.
Dalam melaksanakan rekalkukasi beaya, perlu ditinjau pula apakah perbedaan tarip berdasarkan klasifikasi bandar udara masih valid, atau dengan perkataan lain, apakah klasifikasi bandar udara telah mencerminkan service level bandar2 udara yang telah ditingkatkan prasarananya.
3/ Aircraft parking charge.
Pungutan parkir pesawat terbang seyogyanya dihitung berdasarkan luas apron yang dipergunakan termasuk clearance area untuk maneuver.
Oleh karena pesawat terbang dengan berat yang sama mungkin mempunyai luas yang berbeda, sedangkan datanya sering kali tidak available, maka untuk mempermudah penagihan dipergunakan MTOW yang juga dipakai sebagai dasar untuk menghitung Landing Charge.
Untuk meningkatkan kapasitas apron, khususnya contact stands yang jumlahnya terbatas, bandar udara yang ramai mengusahakan agar pemakaian parking space oleh airlines, terutama pada peak hours, dapat dipersingkat dengan cara :
Mempersingkat free parking time menjadi satu jam, waktu yang cukup untuk turn-around.
Free parking tidak berlaku jika block-on / block-off time melebihi satu jam.
Mengenakan ‘peak hour surcharge’.
Selain beaya konstruksi, sarana pendukung di bandar udara juga jauh lebih mahal.