a. Pengertian Hukum Pidana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, hukum berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim.
Hukum pidana adalah hukum yang menentukan peristiwa (perbuatan kriminal) yang diancam dengan pidana (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Hal 410-411:2003)
Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, S.H. (Prof. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Hal 1-5, Jakarta:2000) hukum pidana merupakan bagian keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Sedangkan menurut Prof. Pompe “ Hukum Pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu” (Mulyatno: 2000)
Sedangkan menurut Mezger, Hukum Pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. (Masruchin Rubai, S.H.,M.S, Asas-asas Hukum Pidana, UM Press: 2001).
Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 hal:
1) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
2) Pidana.
Maksud dari perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang memungkinkan dijatuhi pidana. Perbuatan demikian secara singkat disebut perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan yang dimaksud pidana adalah penderitaan yang disengaja dibebankan oleh negara kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana).
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana jenis-jenis pidana dalam pasal 10 terdiri atas:
1) Pidana Pokok
a) Pidana Mati
b) Pidana Penjara
c) Pidana Kurungan
d) Pidana Denda
2) Pidana Tambahan
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman Putusan Hakim
Hukum Pidana pada dasarnya mempunyai fungsi mengatur hidup masyarakat atau menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu mempunyai fungsi khusus yaitu melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang memeperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya. Kepentingan hukum yang dilindungi hukum pidana dapat berupa nyawa, kehormatan, kemerdekaan dan harta benda.
Sanksi pidana memang merupakan sanksi yang paling tajam karena sanksi ini dapat mengenai harta benda, kehormatan, kemerdekaan, bahkan kadang-kadang merampas nyawa terpidana. Sanksi yang tajam inilah yang membedakan hukum pidana dengan bidang hukum lainnya. Karena sanksi pidana paling tajam, maka hukum pidana dipandang sebagai obat terakhir (ultimum remedium), yaitu hukum pidana baru digunakan apabila upaya-upaya pada bidang hukum lain tidak mampu atau dianggap tidak mempan. Konsekuensi dari anggapan demikian penggunaan hukum pidana harus dibatasi, kalau masih ada jalan lain penggunaan hukum pidana harus dihindari.
b. Tindak Pidana Penerbangan
Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana, dalam bahasa Belandanya strafbaarfeit. Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan yang dapat dipidana adalah:
1) Peristiwa pidana
2) Perbuatan pidana
3) Pelanggaran pidana
4) Perbuatan yang dapat dipidana
Simons menerangkan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. (Mulyatno, hal 56:2000)
Tindak pidana penerbangan dapat diartikan sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab di bidang penerbangan.
Dalam mempelajari unsur-unsur tindak pidana dikenal 2 aliran yaitu: aliran monistis dan aliran dualistis. Aliran monistis memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana, aliran ini tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (criminal act) dengan unsur yang melekat pada orang yang melakukan tindak pidana (criminal responsibility) atau criminal liability/pertanggung jawaban dalam hukum pidana.
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Definisi ini meliputi perbuatan dan pelaku.
Prof. Moelyanto mengemukakan unsur-unsur tindak pidana adalah (Masruchin Rubai, hal 23:2001)
1) Perbuatan (manusia)
2) Memenuhi rumusan undang-undang
3) Bersifat melawan hukum
Memenuhi rumusan undang-undang merupakan syarat formil, yang merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Bersifat melawan hukum merupakan syarat materiil, karena perbuatan yang dilakukan harus betul-betul oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Untuk mengetahui suatu perbuatan adalah tindak pidana maka harus dilihat diperaturan perundang-undangan yang ada apakah perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. Ketentuan-ketentuan pidana tersebut tercantum di dalam:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Undang-undang di luar KUHP yang mengatur pemberian sanksi pidana.
Penentuan apakah suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau bukan dengan melihat di peraturan yang mengaturnya merupakan pengejawantahan dari asas legalitas dan prinsip non retroaktif (pasal 28I, UUD 1945), sehingga apabila dalam suatu perbuatan seseorang yang belum diatur dalam suatu peraturan yang menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana maka orang tersebut tidak bisa dikategorikan melakukan tindak pidana.
Hukum Pidana yang merupakan hukum publik berlaku untuk segenap warga Negara Indonesia (pasal 2-5, 7 dan 8 KUHP), sehingga personel penerbangan Indonesia yang merupakan warga negara Indonesia akan terkena oleh ketentuan pidana yang diatur dalam perundang-undangan Indonesia, selain dari pada itu juga berdasar pada pasal 27 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Berdasarkan hal itu maka insan penerbangan memiliki kedudukan yang sama dimuka hukum (equality before the law) dengan warga negara yang lain.
Dalam hal tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Bab XXII Pasal 410 – 443 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, personel penerbangan dikenakan juga sanksi pidana bila mereka memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal yang mengatur tentang perbuatan mereka dan bila mereka melanggar ketentuan tersebut maka akan dikenai sanksi pidana sebagaimana sudah diatur tersebut.
Selain dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga ketentuan pidana yang terdapat dalam KUHP. Pasal-pasal dalam KUHP yang dapat dikenakan adalah antara lain pasal 55 ayat 1, 359, 360, 361 dan pasal 479 (Kombes Pol Drs. Johnny Tangkudung, S.H., MM, Seminar Nasional Sehari “Implementasi Hukum Pidana Terhadap Accident Dan Incident Penerbangan”Auditorium Kampus STPI Curug, 19 Juli 2006).
Proses penyelesaian yang dilakukan oleh POLRI dalam penegakan hukum pidana adalah sebagai berikut:
a. Penyelidikan.
b. Penindakan :
1) Pemanggilan
2) Penangkapan
3) Penahanan
4) Penggeledahan
5) Penyitaan
c. Pemeriksaan :
1) Saksi
2) Ahli
3) Tersangka
d. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara (Selra)
1) Pembuatan resume
2) Penyusunan berkas perkara
3) Penyerahan berkas perkara
Penentuan seseorang dikatakan bersalah telah melakukan suatu tindak pidana harus dibuktikan adanya unsur kesalahan tersebut, unsur kesalahan adalah sebagai berikut: (Masruchin Rubai:2001)
a. Adanya kemampuan pertanggungjawaban dari si pembuat.
b. Adanya hubungan bathin antara si pembuat dan perbuatan
c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak alasan pemaaf.
Bila seseorang memenuhi unsur-unsur tersebut dan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur baik dalam KUHP atau perundang-undangan yang lain maka kepadanya akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan tersebut.
Dalam pemberian sanksi pidana tersebut tidak mudah karena harus dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan dengan alat-alat bukti sebagaimana di atur dalam pasal 184 KUHAP yaitu berupa: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
2. Penanganan Kecelakaan Pesawat Udara
Kecelakaan pesawat udara sipil (Accident) adalah suatu kejadian yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang naik pesawat udara sampai semua orang keluar dari pesawat, dimana:
a. seseorang meninggal atau mengalami luka serius sebagai akibat dari:
1) berada di dalam pesawat, atau
2) kontak langsung dengan bagian pesawat, termasuk bagian yang terlepas dari pesawat, atau
3) terkena dampak langsung jet blast.
Kecuali jika luka-luka tersebut disebabkan oleh penyebab alamiah/natural causes, diri sendiri atau orang lain atau terjadi pada penumpang gelap yang berada di bagian pesawat yang tidak diperuntukkan bagi penumpang/crew; atau
b. pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur yang:
1) mempengaruhi kekuatan struktur, karakteristik dan performa terbang pesawat, dan
2) memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen yang rusak, Kecuali untuk kegagalan atau kerusakan mesin, dengan kerusakan mesin, cowling dan accessories, kerusakan pada propeller, wing tip, antenna, tires, brakes, fairings,lubang kecil/dekukan pada kulit (skin) pesawat;
c. pesawat tersebut hilang atau sama sekali tidak terjangkau.
Serius Insiden (Serious Incident) adalah suatu peristiwa dimana pesawat udara mengalami kejadian yang membahayakan, antara lain yang disebabkan:
a. Kegagalan fungsi atau kerusakan pada Flight Control System;
b. Ketidakmampuan dari Flight Crew Member untuk menjalankan tugas secara normal yang diakibatkan oleh adanya luka atau sakit;
c. Kerusakan komponen struktur turbin mesin kecuali kompresor dan daun-daun turbin dan baling-baling;
d. Kebakaran;
e. Hampir terjadinya tabrakan pesawat udara di udara;
f. Barang berbahaya;
g. Untuk Pesawat multi mesin berbadan lebar/besar (mempunyai maksimum berat tinggal landas lebih dari 12.500 lbs)
1) Kerusakan sistem listrik dalam penerbangan yang membutuhkan bantuan emergency bus yang digerakan oleh sumber daya dukung seperti baterai, unit daya tambahan (auxiliary power unit) atau generator yang digerakkan oleh udara untuk mempertahankan kemudi terbang atau instrumen-instrumen penting.
2) Kerusakan sistem hidrolik dalam penerbangan yang mengakibatkan ketergantungan pada satu-satunya sistem hidrolik atau sistem mekanis yang tersisa untuk pergerakan permukaan kemudi terbang.
3) Kehilangan terus menerus tenaga atau daya dorong yang dihasilkan oleh dua mesin atau lebih.
4) Evakuasi dari pesawat udara yang memakai sistem pintu keluar dari pesawat secara darurat (emergency exit).
Sedangkan kejadian (incident) adalah peristiwa selain kecelakaan yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi keselamatan pengoperasian pesawat udara. Dari pengertian tersebut kejadian merupakan peristiwa yang dialami oleh pesawat udara selain kecelakaan ataupun kejadian serius yang sudah ditetapkan kriterianya di dalam CASR 830.
Bila di Indonesia terjadi kecelakaan atau kejadian serius seperti diatas maka kewenangan untuk melakukan investigasi peristiwa tersebut adalah KNKT yang dibentuk berdasarkan Keppres No.105 Tahun 1999 Tentang KNKT
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sebagai lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan yang memiliki kewenangan melakukan investigasi dan penelitian kecelakaan transportasi, yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan. Investigasi yang dilakukan oleh KNKT adalah dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan transportasi dengan penyebab yang sama. Sedangkan tugasnya adalah:
a. melakukan investigasi dan penelitian yang meliputi analisis dan evaluasi sebab-sebab terjadinya kecelakaan transportasi;
b. memberikan rekomendasi bagi penyusunan perumusan kebijaksanaan keselamatan transportasi dan upaya pencegahan kecelakaan transportasi;
c. melakukan penelitian penyebab kecelakaan transportasi dengan bekerjasama dengan organisasi profesi yang berkaitan dengan penelitian penyebab kecelakaan transportasi.
Kewenangan dan tugas KNKT tersebut tercantum dalam pasal 1 dan 2 Keppres No. 105 Tahun 1999 Tentang Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi memiliki 3 sub komite yaitu: sub komite penelitian kecelakaan transportasi darat, laut dan udara. Ketiga sub komite penelitian tersebut meneliti tentang penyebab kecelakaan yang terjadi di transportasi darat, laut maupun udara sesuai dengan namanya masing-masing.
Dalam penanganan penyelidikan kecelakaan transportasi udara di atur secara teknis yang terdapat dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 1 Tahun 2004 tentang Pemberitahuan Dan Pelaporan Kecelakaan, Kejadian Atau Keterlambatan Kedatangan Pesawat Udara Dan Prosedur Penyelidikan Kecelakaan/Kejadian Pada Pesawat Udara. Dalam Kepmen tersebut diatur tentang tata cara pelaporan dan prosedur penyelidikan kecelakaan/kejadian pada pesawat udara yang harus dilakukan oleh KNKT, sehingga Kepmenhub tersebut merupakan salah satu pedoman kerja dari KNKT. Selain dari Kepmenhub No.1 Tahun 2004 yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugasnya KNKT juga berpedoman pada Annex 13 Chicago Convention sebagai konsekwensi negara Indonesia sebagai anggota dari ICAO.
Berdasarkan pada CASR 830.23 Responsibility of NTSC:
a) The NTSC is responsible for the organization, conduct, and control of all accident and serious incident investigations within the Republic of Indonesia, where the accident or serious incident involves any aircraft as specified in 830.5. The NTSC is also responsible for investigating accidents and serious incidents that occur outside Indonesia, when the accident or serious incident is not in the territory of another country, i.e. in international waters.
Penafsiran dari frase tersebut adalah KNKT bertanggung jawab atas pengaturan, pengadaan dan pengendalian penyelidikan kecelakaan dan kejadian serius pada pesawat udara yang terjadi di dalam negara Republik Indonesia, dimana kecelakaan atau kejadian serius yang melibatkan tiap pesawat udara seperti ditentukan dalam 830.5. KNKT juga bertanggung jawab atas penyelidikan kecelakaan-kecelakaan dan kejadian serius yang terjadi di luar wilayah Indonesia, apabila kecelakaan atau kejadian serius tersebut tidak terjadi di dalam wilayah negara lain, misalnya di perairan internasional.
b) Certain aviation investigations may be conducted by the Directorate General of Air Communications (DGAC), pursuant to a request from NTSC to investigate certain aircraft accidents and serious incidents. The NTSC determines the probable cause of such accidents or serious incidents. Under no circumstances are aviation investigations where the portion of the investigation is so delegated to the DGAC by the NTSC considered to be joint investigations in the sense of sharing responsibility. These investigations remain NTSC investigations.
Pengertian dari frase diatas adalah beberapa penyelidikan dapat dilakukann oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, menurut permintaan KNKT untuk menyelidiki beberapa kecelakaan dan kejadian serius yang terjadi pada pesawat udara. KNKT menentukann kemungkinan-kemungkinan penyebab kecelakaan-kecelakaan atau kejadian-kejadian serius tersebut. Tanpa perlu ditentukan oleh keadaan, penyelidikan penerbangan yang diserahkan kepada Ditjen Hubud oleh KNKT dimaksudkan sebagai kerja sama penyelidikan dengan tujuan membagi tanggung jawab penyelidikan-penyelidikan ini tetap merupakan penyelidikan-penyelidikan KNKT.
c) The NTSC is the agency charged with fulfilling the obligations of the Republic of Indonesia under Annex 13 to the Chicago Convention on International Civil Aviation. Annex 13 contains specific requirements for the notification, investigation, and reporting of certain incidents and accidents involving international civil aviation. In the case of an accident or serious incident in a foreign state involving civil aircraft of Indonesian registry or manufacture, where the foreign state is a signatory to Annex 13 to the Chicago Convention of the International Civil Aviation Organization, the state of occurrence is responsible for the investigation. If the accident or serious incident occurs in a foreign state not bound by the provisions of Annex 13 to the Chicago Convention, or if the accident or serious incident involves a state aircraft, the conduct of the investigation shall be in consonance with any agreement entered into between the Republic of Indonesia and the foreign state.
Pengertian dari frase di atas adalah KNKT merupakan Komite yang memiliki wewenang untuk memenuhi kewajiban negara Republik Indonesia pada Annex 13 dalam Konvensi Chicago mengenai penerbangan sipil internasional. Annex 13 memuat ketentuan-ketentuan mengenai pemberitahuan, penyelidikan dan pelaporan kejadian tertentu yang melibatkan penerbangan sipil internasional. Dalam kasus kecelakaan atau kejadian serius pada pesawat udara sipil, yang terdaftar atau dibuat di Indonesia terjadi di dalam wilayah suatu negara asing, dimana negara tersebut termasuk sebagai peserta penandatangan Annex 13 pada Konvensi Chicago dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization), maka negara tersebut bertanggung jawab untuk penyelidikan yang diadakan. Apabila kecelakaan atau kejadian serius pada pesawat udara terjadi di dalam wilayah negara asing tersebut tidak terikat pada pasal-pasal dalam Annex 13 dalam Konvensi Chicago, atau apabila kecelakaan atau kejadian serius tersebut melibatkan pesawat umum publik, pelaksanaan penyelidikan harus sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Republik Indonesia dan negara asing tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar