Kamis, 27 Oktober 2011
Konsep Siklus SMS pada ATS Unit
Rabu, 12 Oktober 2011
STUDI DESAIN KONSEP SIMULATOR AERODROME CONTROL TOWER
ATS Safety & Contingency
Senin, 03 Oktober 2011
Pelaporan Kecelakaan Penerbangan
SERIOUS INCIDENT DAN ACCIDENT PENERBANGAN
Selasa, 30 Agustus 2011
STUDI HUKUM PIDANA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN YANG MELIBATKAN PROFESI PEMANDU LALU LINTAS UDARA
Konvensi internasional negara-negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO) di Tokyo pada tahun 1963 melakukan pembahasan terkait “offences and certain other acts on board aircraft” atau pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara. Konvensi kemudian dilanjutkan di Hague pada tahun 1970 untuk membahas hal-hal yang terkait dengan “suppresion of unlawful seizure of aircraft”11 atau pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, hingga pada akhirnya konvensi di Montreal pada tahun 1971 kembali membahas mengenai “suppresion of unlawful act againts the safety of civil aviation” atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberantasan tindakan-tindakan melawan hukum yang mengancam keamanan penerbangan sipil. Disepakati bahwa negara-negara anggota memiliki kewajibkan untuk turut serta dalam pencegahan atas tindakan-tindakan yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan sipil secara global serta membentuk ketentuan atau aturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan substansi dari konvensi tersebut.
Pemerintah Republik Indonesia selaku anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971 menyusun serta menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana / Prasarana Penerbangan yang berlaku pada tanggal 26 April 1976 serta menambahkan sebuah bab baru setelah Bab XXIX dalam KUHP dengan Bab XXX yang dengan terperinci mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan. Dengan adanya penambahan dalam KUHP tersebut menimbulkan suatu istilah baru dalam pengertian suatu delik pidana, yaitu tindak pidana penerbangan, dimana “setiap perbuatan yang memenuhi rumusan pasal yang termuat dalam Bab XXX atau Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 479 huruf r KUHP tersebut dinyatakan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan”.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi tindak pidana menjadi dua jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Delik-delik yang termasuk kejahatan dimuat dalam Buku II dan yang termasuk pelanggaran dimuat dalam Buku III, akan tetapi dalam KUHP tidak disebutkan kriteria yang digunakan dalam membedakan antara kedua jenis delik tindak pidana tersebut. Terdapat beberapa pendapat dalam membedakan kedua jenis delik tersebut, yakni secara kualitatif dan secara kuantitatif. Secara kualitatif, kedua delik tersebut dibedakan menjadi rechtdelicten dan wetsdelicten. Yang dimaksud dengan rechtdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, namun yang menjadi tolak ukur adalah apakah perbuatan tersebut oleh masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu kejahatan. Sedangkan yang disebut dengan wetsdelicten adalah apabila suatu perbuatan yang oleh suatu aturanperundang- undangan dinyatakan sebagai suatu delik yang diancam dengan pidana, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai pelanggaran.
Sudarto memiliki pandangan terkait dengan pembedaan secara kualitatif tersebut, dimana beliau menyatakan bahwa: “perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan”
Pendapat kedua, yang membedakan antara kedua jenis delik tersebut secara kuantitatif, “hanya dengan meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, yaitu pelanggaran merupakan perbuatan yang lebih ringan daripada kejahatan”15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 yang memuat tentang kejahatan dalam penerbangan dan sarana / prasarana penerbangan dalam KUHP menunjukkan dengan tegas dalam pasal-pasalnya bahwa tindak pidana penerbangan termasuk dalam jenis kejahatan, terlebih lagi karena dimuat dalam buku II KUHP.
Ketentuan pidana dalam regulasi penerbangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penerbangan, juga memberikan ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana. Ketentuan pidana ini diberlakukan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan dalam undang-undang ini disamping sanksi administratif yang juga berlaku dan ditentukan dalam undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab XXII, yang terdiri dari empat puluh dua pasal yang secara umum menekankan bentuk-bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan selain dari tindak pidana penerbangan yang telah diatur dalam Bab XXX KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-undang ini tidak mencabut ketentuan-ketentuan pidana lain diluar dari regulasi ini.
Menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan adalah meskipun ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang ini diberlakukan bagi setiap orang, sesuai dengan rumusan pasal yang ada, namun terdapat pengecualian dalam pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penerbangan. Hal ini diatur dalam Pasal 411 ayat (1) yang menentukan dengan tegas bahwa tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh orang yang bertindak, baik untuk dan/atau atas nama perusahaan ataupun untuk kepentingan dari perusahaannya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan perusahaan tersebut, baik secara sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada perusahaan ataupun pengurusnya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa undang-undang penerbangan ini memiliki karakteristik yang khusus serta cakupan yang luas, karena tindak pidana penerbangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana penerbangan juga memiliki beberapa kekhususan yang bersifat menyimpang dari ketentuan umum KUHP. Penyimpangan terhadap ketentuan umum dalam KUHP dapat terlihat pada subyek delik yang dimana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dimungkinkan pemidanaan terhadap badan hukum, yang dalam KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subyek delik. Akan tetapi, undang-undang tentang penerbangan ini bukanlah sebagai hukum pidana khusus, karena sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang ini ditempatkan sebagai daya paksa untuk melaksanakan aturan-aturan administratif.
Terkait dengan penyidikan atas tindak pidana penerbangan, undang-undang ini menentukan bahwa yang bertindak selaku penyidik atas setiap bentuk tindak pidana penerbangan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang instansinya berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawab dalam bidang penerbangan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 399 ayat (1). Akan tetapi, penyidik yang ditunjuk tersebut tetap melakukan koordinasi dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri serta meminta bantuan dari Polri untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap tindak pidana penerbangan yang terjadi. Ketentuan tersebut didasarkan karena penyidikan terhadap tindak pidana penerbangan memerlukan suatu keahlian khusus dalam bidang penerbangan sehingga perlu adanya penyidik khusus untuk melakukan penyidikan disamping penyidik Polri.
Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak pidana
Kecelakaan pesawat udara secara umum selalu dihubungkan dengan tiga faktor penyebab, yaitu faktor kesalahan manusia (human error), faktor pesawat terbang (machine), dan faktor lain seperti cuaca, dll.
Menurut statistik, faktor kesalahan manusia mempunyai andil paling besar, disusul faktor pesawat terbang dan yang terakhir faktor cuaca. Ketiga faktor penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus.
Kesalahan manusia yang dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan telah diminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan rutin dan berkala bagi para personel penerbangan, khususnya bagi para personel yang berkaitan langsung dengan aktivitas rutin penerbangan. Pemeriksaan secara berkala tersebut merupakan suatu kewajiban bagi setiap personel penerbangan yang telah memiliki sertifikat kecakapan ataupun lisensi sesuai dengan bidangnya masing-masing, hal tersebut lebih dipertegas dalam Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Tujuan dari pemeriksaan secara berkala atas personel penerbangan tersebut adalah agar dapat diketahui secara pasti terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kinerja dari setiap personel sehingga dapat dihindari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan suatu misi penerbangan.
Dilakukannya pemeriksaan secara berkala dan rutin terhadap personel penerbangan menjadi suatu tolak ukur ataupun standarisasi bahwa suatu penerbangan bukanlah bidang yang biasa-biasa saja, melainkan dibutuhkan suatu keseriusan dan ketelitian dalam segala aspek yang berkaitan, sehingga apabila dilakukan suatu pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan secara khusus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran tersebut dapat berakibat pada timbulnya kecelakaan yang fatal.
Hukum pidana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat dalam Bab XXX KUHP, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah memberikan Pengaturan secara khusus hal-hal yang terkait dengan penerbangan.
Terkait dengan kecelakaan sebuah pesawat udara, dalam ketentuan aturan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur dengan tegas bahwa suatu perbuatan, baik dengan unsur sengaja, melawan hukum, ataupun karena kealpaan yang dapat menyebabkan suatu pesawat udara celaka (incident), hancur serta tidak dapat dipakai atau rusak (accident), merupakan sebuah peristiwa pidana.
Patut untuk dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia (human factor) sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara aspek pidana kepada pelaku tindak pidana tersebut. Agar dapat dibuktikannya, maka dibutuhkan suatu penyelidikan secara komprehensif yang dilakukan oleh Kepolisian selaku penyelidik atas suatu peristiwa yang memiliki indikasi pidana serta menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam ketentuan pidana, baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP.
Final Resume
Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian masyarakat luas dan dalam beberapa kasus diduga merupakan tindakan melanggar hukum. Namun penuntutan pidana terhadap Pemandu Lalu Lintas Udara terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang berpandangan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pemandu Lalu Lintas Udara di Indonesia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun aturan ini dimungkinkan dapat bertentangan dengan ketentuan dalam Annex 13 International Civil Aviation Organization yang menyatakan bahwa tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang karena terdapat faktor kesengajaan dan/atau kelalaian.
Dimana penerapan peraturan perundang-undangan nasional selain ketentuan dalam regulasi penerbangan internasional yaitu KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bukanlah sebagai bentuk pengesampingan dari adagium lex specialis derogate legi generalis, akan tetapi sebagai suatu langkah guna tercapainya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.
Rabu, 20 Juli 2011
Expected Approach Time
For that purpose he may use radar vectors to the final approach course to establish a mileage interval between aircraft and keep a safe spacing on final.
However, when using procedural control (see, things are a little bit different in the sense that the spacing between aircraft will considerable be increased..... )
The controller may have to deal with traffic reaching the IAF at the same time or almost and of course can't have them starting the approach procedure all together. In addition, according to the type of procedure and to local rules, it happens that no aircraft can leave the IAF and start an approach procedure until the preceeding aircraft has landed.
Then the controller will have to keep some of the arrivals into the holding pattern(s) and give regulation times. That is times they may leave the holding pattern again.
The first one will start the procedure directly and the other ones will stay into the holding pattern(s) until they are authorized to leave it. These regulation times are called EAT (Expected Approach Time), representing the time at which ATC expects to be able to give a clearance to an aircraft to leave the IAF and start the instrument approach procedure.
When given an EAT, the pilot is responsible for managing the holding pattern so that he/she overflies the IAF at the given time. He may shorten the published legs of the pattern (say 30 seconds outbound/ inbound legs instead of the published 1 minute for instance).
If the EAT has changed by 5 minutes or more, ATC must advise the pilots ASAP!
A Pilot who experience a radio failure, should leave the Holding as close as possibel to the last received EAT.
In certain countries, the fact of assigning a time to leave the holding to start a apporach is called TIMED APPROACHES procedure.
Example :
Say, the average time between IAF and runway is 7 mins for the types of aircraft involved, and no aircraft can leave the IAF until the preceeding has landed. Say the IAF altitude is 3000 ft.
Given the following aircraft : A expecting IAF at 10:12, B expecting it at 10:14 and C at 10:17.
According to the above, 2 of them will have to wait a little bit before proceeding beyond the IAF.
A is cleared as soon as arriving and leaves the IAF at, say, 10:13 and then should land at 10:20.
Keep B in the holding at 4000 ft and give EAT 10:20. When C arrives, keep it at 5000 ft and give EAT 10:27.
B will have to wait for 6 mins and C for 10 mins.
If the pilots comply with the given times, B will reach the IAF when A has landed and will be authorized for the approach.
Make sure to have B at 3000 ft over the IAF, then give 4000 ft to C as soon as 4000 ft are released by B.
7 mins later, it should be OK for C too.
This is why it is important the pilots respect the given times. If B reaches the IAF 2 minutes late, then C will have to be given a new EAT at 10:22. If other aircraft are to come behind, such delays may involve their holding to be quite long.
This is a simple case. Things may be much more complicated if the types of aircraft are really different (small turboprops and 4-engine commercial jets for instance). The timed approaches procedure / EAT assignments have to be adapted to each airfield. Some guidelines may be indicated on divisions websites.
Normally, the rule is first at IAF, first to land. However, the controller may have to make some tactical choices like authorizing the second arriving aircraft first if this can improve the approach sequence.
Selasa, 17 Mei 2011
Kode Etik
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.
Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik engineer, dokter, guru, pustakawan, pengacara dan lain-lain.
Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh pengadilan, karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Persatuan Insinyur Indonesia terdapat Kode Etik Insinyur Indonesia. Bila seorang insinyur dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Insinyur Indonesia, bukannya oleh pengadilan.
Sifat kode etik profesional
Kode etik adalah pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan (yang membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi.
Sifat dan orientasi kode etik hendaknya singkat; sederhana, jelas dan konsisten; masuk akal, dapat diterima, praktis dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan lengkap; dan positif dalam formulasinya. Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada rekan, profesi, badan, nasabah/pemakai, negara dan masyarakat. Kode etik diciptakan untuk manfaat masyarakat dan bersifat di atas sifat ketamakan penghasilan, kekuasaan dan status. Etika yang berhubungan dengan nasabah hendaknya jelas menyatakan kesetiaan pada badan yang mempekerjakan profesional.
Kode etik digawai sebagai bimbingan praktisi. Namun demikian hendaknya diungkapkan sedemikian rupa sehingga publik dapat memahami isi kode etik tersebut. Dengan demikian masyarakat memahami fungsi kemasyarakatan dari profesi tersebut. Juga sifat utama profesi perlu disusun terlebih dahulu sebelum membuat kode etik. Kode etik hendaknya cocok untuk kerja keras. Sebuah kode etik menunjukkan penerimaan profesi atas tanggung jawab dan kepercayaan masyarakat yang telah memberikannya.
Mengapa diperlukan pendidikan etika profesi?
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
Dalam rangka menjunjung tinggi integritas, kehormatan dan martabat profesi sesuai dengan kode etik profesi menurut ABET terdapat 4(empat) prinsip dasar (fundamental principles) yang harus dilakukan diantaranya:
1. Using their knowledge and skill for the enhancement of human welfare;
(Menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia)
2. Being honest and impartial, and serving with fidelity the public, their employers and clients;
(Bersikap jujur dan tidak memihak, serta melayani masyarakat, pegawai dan kliennya dengan setia)
3. Striving to increase the competence and prestige of the engineering profession;
(Berusaha untuk meningkatkan kompetensi dan gengsi profesi keteknikan)
4. Supporting the professional and technical societies of their disciplines.
(Mendukung organisasi profesional dan teknis dari disiplin yang telah disepakati)
Pilar utama yang menjadi penyangga kode etik:
1. Etika kemanfaatan umum (utilitarianism ethics), yaitu setiap langkah/tindakan yang menghasilkan kemanfaatan terbesar bagi kepentingan umum haruslah dipilih dan dijadikan motivasi utama;
2. Etika kewajiban (duty ethics), yaitu setiap sistem harus mengakomodasikan hal-hal yang wajib untuk diindahkan tanpa harus mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin bisa timbul, berupa nilai moral umum yang harus ditaati seperti jangan berbohong, jangan mencuri, harus jujur, dan sebagainya. Semua nilai moral ini jelas akan selalu benar dan wajib untuk dilaksanakan, sekalipun akhirnya tidak akan menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri;
3. Etika kebenaran (right ethics), yaitu suatu pandangan yang tetap menganggap salah terhadap segala macam tindakan yang melanggar nilai-nilai dasar moralitas. Sebagai contoh tindakan plagiat ataupun pembajakan hak cipta/karya orang lain, apapun alasannya akan tetap dianggap salah karena melanggar nilai dan etika akademis;
4. Etika keunggulan/kebaikan (virtue ethics), yaitu suatu cara pandang untuk membedakan tindakan yang baik dan salah dengan melihat dari karakteristik (perilaku) dasar orang yang melakukannya. Suatu tindakan yang baik/benar umumnya akan keluar dari orang yang memiliki karakter yang baik pula. Penekanan disini diletakkan pada moral perilaku individu, bukannya pada kebenaran tindakan yang dilakukannya; dan
5. Etika sadar lingkungan (environmental ethics), yaitu suatu etika yang berkembang di pertengahan abad 20 ini yang mengajak masyarakat untuk berpikir dan bertindak dengan konsep masyarakat modern yang sensitif dengan kondisi lingkungannya. Pengertian etika lingkungan disini tidak lagi dibatasi ruang lingkup penerapannya merujuk pada nilai-nilai moral untuk kemanusiaan saja, tetapi diperluas dengan melibatkan “natural resources” lain yang juga perlu dilindungi, dijaga dan dirawat seperti flora, fauna maupun obyek tidak bernyawa (in-animate) sekalipun.
Dengan adanya kode etik profesi, maka akan ada semacam aturan yang bisa dijadikan “guideline” untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Disamping itu kode etik profesi ini juga bisa dipakai untuk membangun “image” dan menjaga integritas maupun reputasi profesi, serta memberikan gambaran tentang keterkaitan hubungan antara pemberi dengan pengguna jasa keprofesian.
Sabtu, 07 Mei 2011
TANTANGAN & PROSPEK PENDIDIKAN DIPLOMA DI ERA NEW ECONOMY
Sektor Pendidikan Nasional memasuki perkembangan baru setelah Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) berlaku efektif terhitung tanggal 8 Juli 2003. Dalam prosesnya UU-SPN ini telah mendapat sorotan dari masyarakat luas dan para pelaku di sektor pendidikan. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Namun demikian, berlakunya UU-SPN yang baru ini telah menjadi tonggak sejarah perkembangan Sistem Pendidikan Nasional dimasa depan yang penuh tantangan.
Perkembangan beberapa besaran makro ekonomi nasional sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda membaik, walaupun sebagian pengamat berpendapat bahwa perbaikan ekonomi kita seharusnya masih bisa lebih dipercepat lagi. Menyongsong diberlakukannya ekonomi pasar bebas dimana kompetisi dan globalisasi menjadi ciri utama, maka tuntutan tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dengan daya saing tinggi menjadi suatu keharusan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih diperlukan berbagai usaha dan kerja keras untuk meningkatkan kualitas SDM, khususnya tenaga kerja yang mampu bersaing secara regional maupun internasional.
Angka pengangguran secara perlahan namun pasti terus merayap naik mencapai, termasuk yang berstatus setengah penganggur. Hal ini semakin menjadi tantangan dalam menyiapkan tenaga kerja terdidik dan berkeahlian. Dalam kondisi seperti ini sudah seharusnya jajaran pelaku Pendidikan Nasional terus melanjutkan pengembangan SDM nasional secara terpadu dan terarah.
Program Pendidikan Diploma menjadi semakin penting mengingat kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang semakin ditentukan oleh beberapa faktor, terutama yang bertumpu kepada kemampuan atau berbasis kompetensi dalam menjawab berbagai tantangan dalam tatanan ekonomi baru. Tatanan ekonomi baru ditandai antara lain dengan terjadinya transformasi ekonomi industri kepada suatu bentuk ekonomi baru yang didukung oleh telekomunikasi, teknologi informasi (IT), dan jaringan multimedia yang semakin pintar.
Dalam situasi seperti inilah akan makin terasa pentingnya keahlian yang dimiliki oleh SDM serta semakin pentingnya peranan mereka dalam memanfaatkan berbagai momentum ekonomi yang bisa datang secara mendadak dan tidak sempat diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya. Beberapa negara yang juga tergolong developing countries seperti India, China dan Phillipines telah memetik hasil dan lebih inovatif memanfaatkan fenomena new economy untuk kemajuan bangsanya.
2. Sekilas Kondisi Pendidikan Tinggi di Indonesia
Walaupun belum mempunyai sejarah yang cukup panjang, sektor Pendidikan Tinggi di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan. Sejarah pendidikan tinggi dimulai dengan hanya dua universitas yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta yang berdiri pada tahun 1949 dan Universitas Indonesia di Jakarta pada tahun 1950. Sekarang hampir setiap ibukota provinsi telah mempunyai perguruan tinggi baik swasta maupun negeri dengan berbagai jurusan dan jenjang pendidikan mulai dari Program Diploma hingga Program Doktoral.
Selanjutnya guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja, telah di kembangkan pula jalur pendidikan Diploma II dan Diploma III di 19 sekolah politeknik kerekayasaan dan tata niaga serta 6 sekolah politeknik pertanian. Sistem sekolah politeknik dibangun untuk menampung 23 ribu mahasiswa, yang maksimal dapat menghasilkan 7.300 lulusan di bidang rekayasa, tata niaga dan pertanian.
Berikut ini adalah kutipan dari misi Sistem Pendidikan Tinggi untuk jenjang diploma dan S-1 yang telah disesuaikan dengan wawasan masa depan hingga 2018. Yaitu menyelenggarakan fungsi kelembagaan pendidikan tinggi untuk “Menghasilkan anggota masyarakat yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak tinggi, berbudaya Indonesia, bersemangat ilmiah, serta memiliki kemampuan akademik dan suatu profesional dan sanggup berkinerja baik di lingkungan kerjanya, serta mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengembangkan kemampuan diri terhadap tuntutan kemajuan di bidangnya, dan berperan dalam pemeliharaan dan operasi proses produksi, bagi lulusan jenjang Diploma dan S-1. “
Sayangnya, mencermati perkembangan pendidikan diploma akhir-akhir ini dan berdasarkan penelitian di berbagai instansi terkait ternyata belum terlihat adanya rencana pengembangan jenjang pendidikan diploma menyeluruh atau komprehensif baik yang ada di PTN, PTS, maupun di berbagai Politeknik. Hal ini tercermin dengan dikelompokkannya program pendidikan diploma kedalam kelompok vokasional.
3. Memahami Paradigma New Economy
Banyak sekali jargon yang dilekatkan kepada new economy. New economy dikenal dengan banyak istilah seperti digital economy, information economy, knowledge economy, cyber economy, internet economy, network economy dan lain sebagainya. Information and Communication Technology (ICT) telah menjadi faktor pemicu utama timbulnya fenomena new economy. ICT dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah telematika.
Berbagai kemajuan di bidang telematika telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan ekonomi suatu bangsa, selanjutnya kualitas hidup manusia. Sebagai suatu bentuk konvergensi dari teknologi informasi, telekomunikasi, dan multimedia, ternyata telematika telah menciptakan berbagai peluang dalam pembangunan ekonomi sekaligus tantangan.
Beberapa ciri utama new economy seperti diuraikan oleh Don Tapscott dalam Digital Economy (1996) meliputi: (1) knowledge based; (2) digital; (3) molecular; (4) virtual; (5) networking; (6) immediacy; (7) disintermediation; (8) globalization; (9) innovation based; (10) discordance; (11) prosumption; dan (12) converging industry.
Jika ditinjau dari sisi ilmu ekonomi, maka perbedaan mendasar antara new economy atau lebih dikenal dengan economics of information dengan “old” economy atau economics of things terletak pada 5 hal prinsip seperti dijabarkan oleh Phillip Evans dan T.S. Wurster (2000). Perbedaan tersebut adalah (1) jika mereplikasi sesuatu produk dalam ekonomi konvensional memerlukan ongkos cukup besar, maka informasi dapat direplikasi dengan ongkos mendekati nihil; (2) sesuatu itu akan cepat aus, sementara informasi tidak; (3) sesuatu harus eksis atau ada di suatu tempat tertentu untuk dilihat dan diperdagangkan, tetapi informasi bisa datang dari mana saja; (4) ekonomi konvensional memiliki sifat diminishing return, tetapi ekonomi di era informasi tidak memilikinya; dan (5) sesuatu produk akan konsisten untuk pasar yang sempurna, sementara ekonomi informasi tidak memerlukan pasar yang sempurna (perfect market).
Dengan demikian kehadiran new economy di era globalisasi dan kompetisi ini pada gilirannya juga akan merubah struktur berbagai industri.
4. Tantangan dan Prospek Program Diploma dalam Mengisi Pasar Tenaga Kerja di Era New Economy
Struktur ekspor Indonesia hingga saat terjadinya krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1997 masih saja mengandalkan produk-produk bernilai tambah rendah dari industri padat karya. Sedangkan pada saat yang sama China, India, Phillipines bahkan Vietnam telah beranjak kepada produk IT dan produk lain yang bernilai tambah tinggi. Negara-negara tersebut telah mempersiapkan langkah-langkah yang telah disesuaikan dengan paradigma ekonomi baru seperti diuraikan pada Bagian 3. Akibatnya tenaga kerja Indonesia menjadi tidak murah lagi dibandingkan dengan tenaga kerja yang dimiliki negara lain yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih baik. Hal ini menjadi tantangan utama di era ekonomi baru.
Tantangan berikutnya adalah berlakunya AFTA maupun WTO pada saat kita masih belum pulih dari krisis ekonomi. Hal ini diperkirakan menjadi tantangan yang tidak mudah karena produsen tidak harus berlokasi di Indonesia. Untuk jenis produk dan proses pemasaran yang telah mampu memanfaatkan telematika, maka mereka akan mencari negara dengan tingkat keamanan yang lebih baik dan risk yang lebih rendah. Industri tidak lagi bertumpu kepada murahnya tenaga kerja. Sementara kita masih cenderung hanya menjadi pasar.
Dalam 20 tahun kedepan diperkirakan struktur perekonomian Indonesia akan didominasi oleh sektor jasa, mencapai sekitar 48 % . Sementara itu pengelolaan suatu jenis jasa dan industri sudah tidak lagi bertumpu kepada satu mata rantai produksi. Maka menjadi tantangan pula untuk mengisi lapangan kerja di sektor industri yang mengutamakan berbagai kegiatan outsourcing yang semakin banyak.
Sementara itu diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, tidak pelak lagi semakin membuka akses partisipasi ekonomi ke daerah. Kekurangan SDM di daerah pada umumnya akan dapat diisi oleh SDM yang sudah berpengalaman dan mempunyai kompetensi baik disuatu daerah yang sama atau dari daerah lain.
Penetrasi tenaga kerja dari satu wilayah ke wilayah lain akan sangat ditentukan oleh skill yg sudah dimiliki. Hal ini hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang sudah terasah pengalaman prakteknya. Dengan kata lain, peluang SDM berkeahlian yang bisa disediakan oleh pendidikan program diploma semakin besar.
Semakin gencarnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bisa dijawab antara lain melalui perilaku clean government dan clean corporate governance yang menekankan kepada perbaikan mutu pelayanan publik. Hal ini salah satunya dapat diwujudkan dengan mempraktekannya melalui kebijakan e-government.
Program e-government yang bertumpu kepada kegiatan di bidang telematika kembali membutuhkan tenaga terampil mulai dari menyiapkan sistem, database atau pun hanya sekedar membuat dan mengupdate suatu situs web atau website. Dengan kata lain, tenaga kerja yang dibutuhkan nanti akan bertambah secara lebih signifikan dari kelompok program diploma.
Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan di atas, serta memperhatikan pula keseimbangan pasokan tenaga kerja, maka prospek SDM program Diploma memasuki pasar kerja cukup besar.
Hal ini didukung oleh berbagai fakta dan kenyataan yang ada selama ini yang telah diberikan oleh program Diploma, meliputi: (1) waktu study yang relatif lebih pendek; (2)flexibilitas lamanya study yang dipilih bisa disesuaikan dengan preference mahasiswa masing-masing; (3) Gaji awal yang tidak terlalu besar sehingga memudahkan untuk masuk pasar kerja (kompetitif); dan (4) mutu lulusan selama in tidak kalah bersaing karena kebanyakan mahasiswa program diploma memang terlatih, terampil dan banyak dari lulusan SMU yang memang relatif lebih baik dibanding yang dari kejuruan.
5. Kesimpulan dan Saran
Memperhatikan kondisi pendidikan diploma yang ada selama ini, peluang yang dijanjikan di era new economy, serta tantangan dan prospek yang ada di berbagai sektor industri dan jasa, dapat dikatakan bahwa pendidikan program diploma telah menjadi pengisi gap tenaga kerja terampil dan berkompeten di bursa tenaga kerja.
Namun demikian untuk lebih meningkatkan partisipasi lulusan program diploma dalam pasar dan bursa kerja nasional, regional maupun internasional ada beberapa langkah yang sebaiknya diperhatikan oleh perguruan tinggi penyelenggara maupun oleh pemerintah. Hal itu adalah: (1) perlunya didirikan lembaga pemerintah sebagai pusat pengembangan industri terkait, lembaga regional sebagai pusat pengembangan industri di daerah, dan lembaga pemeriksa dan testing; (2) perlu pula didorong pendirian beberapa instansi yang menjadi inisiatif swasta tetapi didukung pemerintah seperti pusat promosi small medium industry, dan pusat teknologi informasi industri; serta (3) pendirian berbagai asosiasi terkait dengan kompetensi lulusan program diploma, pusat R/D untuk industri spesifik, pusat analisis produktivas; (4) perlu terus dicarikan cara untuk medudukkan pendidikan program diploma ke tempat yang lebih tepat dan benar dalam kerangka SPN. Kelihatannya para dosen yang mengabdikan diri di program diploma harus lebih banyak berkomunikasi dan saling tukar pengalaman kerja antar sesama penyelenggara program diploma. Perlu kiranya dibentuk Forum Pengelola Pendidikan Program Diploma yang dapat menyampaikan masukan dari berbagai lapisan masysarakat kepada pembuat keputusan dan regulator pendidikan tinggi di Indonesia.
Diharapkan dengan kerjasama antara komponen pemerintah, masyarakat pelaku industri serta masyarakat pengguna jasa, maka diharapkan kontribusi lulusan program diploma yang dapat masuk pasar tenaga kerja di era reformasi akan menjadi lebih besar serta semakin bermutu.
PUSTAKA
1. Ditjen Dikti, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1995-2005, dapat juga di down load di http://www.dikti.org/kpptjp/kpptjp.html
2. Saunders, et.all. Telecommunication and Economic Development. John Hopkins Univeristy Press, Baltimore, 1994
3. Hornik, R. "Communications as Complement in Development". Journal of Communications, Vol. 30. No.2, Spring 1990.
4. Wellenius, B. Telecommunications, World Bank Experience and Strategy. Washington, 1994
5. Gore, Al. Plugged into the world's knowledge, Financial Times, September 19th, 1992.
6. Tapscott, Don, Digital Economy 1996, New York, USA
7. Evans, Phillip and T.S Wurster, Blown to Bits, 2000, HBSP
Jumat, 15 April 2011
Pelayanan Bandar Udara
Namun demikian, walaupun kegiatan operasi bandara sangat kompleks, faktor keselamatan dan keamanan penerbangan serta kepuasan pelanggan harus tetap menjadi prioritas pertama. Standarisasi pelayanan operasi bandara pada dasarnya dibuat untuk dijadikan pedoman pelaksanaan tugas bagi para pelaksana agar kualitas pelayanan yang diberikan dapat memenuhi standar yang telah ditentukan, sekaligus memenuhi aspek aviation safety & security,kelancaran operasional dan optimalisasi penggunaan sumber daya.
Operation management concept, yaitu konsep yang diterapkan dalam manajemen operasi yaitu keterpaduan pola tindak dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan lalu lintas udara dan pelayanan operasi bandara yang mendukung adanya peningkatan kinerja operasional secara keseluruhan guna meningkatkan aspek aviation safety & security dan kualitas pelayanan serta aspek komersial melalui optimalisasi penggunaan sumber daya.
Airport operation philosophy, pelaksanaan kegiatan pelayanan operasi bandara memiliki prinsip dasar yang harus dilaksanakan, yaitu berorientasi kepada keamanan, keselamatan dan kelancaran operasi penerbangan namun dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan dan aspek komersial.
Airport service performance, kualitas pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa bandara memiliki persyaratan khusus yang pada intinya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para penumpang pesawat udara. Persyaratan khusus tersebut sebagai tolok ukur pelayanan (quality of service control) yang memiliki batasan-batasan dengan nilai yang telah disepakati, misalnya : proses check-in penumpang maksimum 2,5 menit, jumlah trolley yang tersedia minimal 60% dari jumlah penumpang, suhu udara didalam terminal antara 23-27 derajat celcius, dan lain-lain.
Ramp operation, kegiatan ramp operation meliputi pelayanan terhadap pesawat udara selama berada di ramp (apron), termasuk menyiapkan fasilitas untuk loading-unloading penumpang, bagasi, kargo dan barang-barang pos dari dan ke pesawat udara. Kegiatan tersebut dilakukan sebelum pesawat udara tiba, setelah berada di apron dan pada saat pesawat udara melakukan persiapan lepas landas. Dalam melaksanakan kegiatan pesawat di ramp, ada kegiatan yang dapat dilakukan secara terpisah/ tidak tergantung satu sama lainnya. Tetapi ada juga kegiatan yang berhubungan satu sama lainnya atau kegiatan yang harus dilakukan secara berurutan (in sequence). Kegiatan ini tidak dapat dilaksanakan bersama-sama , sebelum kegiatan yang satu dikerjakan maka kegiatan yang lain belum dapat dilakukan.
Selain itu terdapat sistem informasi operasi penerbangan yang merupakan rangkaian sistem pelayanan kepada para pengguna jasa bandara dalam hal pemberian informasi penerbangan, baik melalui media elektronik,media cetak maupun langsung berhubungan dengan petugas informasi dan penerangan umum.
Potret Training & Man Powering Issue Penerbangan Indonesia
Umum
Undang - Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pada Bab IX mengatur tentang Sumber Daya Manusia. Tersurat dengan jelas bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap penetapan kebijakan penyediaan dan pengembangan SDM di bidang penerbangan (angkutan udara, kebandarudaraan, navigasi penerbangan, keselamatan penerbangan dan keamanan penerbangan) dari mulai perencanaan, pendidikan dan pelatihan, perluasan kesempatan kerja dan pengawasan pemantauan serta evaluasi untuk mewujudkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 juga mengatur bahwa dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang pekerjaannya. Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan kepada peserta didik yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.
Perkembangan Penerbangan di Indonesia
Peningkatan permintaan atau kebutuhan (demand) terhadap moda transportasi udara belum seiring dengan peningkatan penyediaan (supply) jasa transportasi udara secara menyeluruh. Peningkatan taraf ekonomi dan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan fungsi waktu mempengaruhi pola transportasi masyarakat pada negara kepulauan tercinta ini kepada transportasi udara yang lebih efisien.
Makin menggeliatnya bandara-bandara di daerah-daerah berkembang, meningkatnya jumlah dan rute operasi serta jumlah pesawat menyebabkan tuntutan kebutuhan sumber daya manusia yang berkompeten makin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pemerintah dituntut untuk segera dapat memenuhi kebutuhan tersebut untuk tetap menjaga tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan.
Pendidikan dan pelatihan merupakan pintu awal yang harus dilalui oleh sumber daya manusia yang akan berkecimpung dalam dunia penerbangan untuk mendapatkan kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya, kebijakan yang tepat di bidang pengembangan sumber daya manusia terutama untuk pendidikan dan pelatihan merupakan kunci utama suksesnya penyediaan sumber daya manusia yang berkompeten.
Prediksi perkembangan ke depan berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam beberapa puluh tahun ke depan, perkembangan positif tetap akan terjadi di dunia penerbangan, yang artinya akan semakin meningkat baik dari sisi capital/asset maupun dari sisi operasionalnya. Pertumbuhan jumlah penumpang, pesawat, rute penerbangan, bandar udara dan lain-lain yang berimplikasi pada penambahan jumlah sumber daya manusia berkompetensi pada bidang masing-masing.
Kesiapan sumber daya manusia di tingkat daerah juga perlu dipersiapkan dalam rangka antisipasi perkembangan penerbangan. Sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah menuntut pemerintah harus dapat memberikan ilmu pengetahuan terkini tentang peraturan penerbangan menyangkut operasional penerbangan berkaitan dengan keselamatan penerbangan agar kebijakan pemerintah daerah dapat sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat terutama di bidang transportasi udara.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang melimpahkan urusan transportasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menuntut tersedianya SDM berkompeten di bidang penerbangan di tiap-tiap propinsi atau kabupaten/kota yang mengelola atau di dalamnya terdapat pengelolaan transportasi udara. Namun dalam pembinaan SDM teknis masih merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang harus membina dan memenuhi kompetensi teknis SDM di tiap-tiap daerah.
Pendidikan dan Pelatihan Penerbangan
Merupakan tugas tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan SDM penerbangan yang berkompetensi dan profesional di bidangnya untuk melaksanakan tugas teknis operasional dalam rangka mewujudkan transportasi udara yang aman, nyaman, teratur dan berkesinambungan.
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan merupakan institusi dibawah Kementerian Perhubungan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyediakan SDM berkompetensi tersebut.
Sampai dengan saat ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan dan Unit Pelaksana Teknis bersinkronisasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah menjadi institusi pencetak dan pengembang SDM penerbangan yang mensuplai kebutuhan tenaga teknis penerbangan untuk pihak Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melalui program-program diklat yang dilaksanakan.
Matrik Permasalahan Pendidikan dan Pelatihan di bidang Penerbangan
No. | Permasalahan | Uraian | Rencana Aksi | Tindak Lanjut |
1. | Kompetensi Awal (Input) | Kompetensi awal bisa dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dengan kompetensi sejenis; | Perlunya kajian tentang program pendidikan yang sudah bisa diselenggarakan oleh masyarakat; | Sinergi program diklat awal yang kompetensinya sudah bisa diselenggarakan masyarakat; |
2. | Kompetensi Teknis Penerbangan dan SKP | SKP bisa diperoleh apabila sudah mengikuti program pendidikan pelatihan teknis (sertifikat kompetensi) serta lulus uji kompetensi; | BPSDM Perhubungan dan UPT seharusnya lebih fokus kepada pendidikan dan pelatihan teknis; | Pengembangan program pendidikan dan pelatihan kompetensi; |
3. | Pola Diklat | Sekarang pola yang digunakan untuk diklat awal adalah pendidikan diploma, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan pendidikan non diploma/short course; | Perlunya kajian tentang kemungkinan pola pendidikan non diploma untuk kompetensi awal yang belum bisa diselenggarakan masyarakat (CASR memfasilitasi untuk pola non diploma dengan memperhatikan input kompetensi awal); | Perombakan pola diklat dari program diploma menjadi non diploma/short course untuk efisiensi; |
4. | Pola Pembiayaan | Tidak diketahui secara pasti komponen biaya diklat secara rinci sehingga banyak komponen pembiayaan diklat yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk diklat yang beroutput ke masyarakat (swasta); | Penghitungan ulang komponen biaya diklat dan tinjauan output diklat dan telaah terhadap output diklat; | Pembuatan Standar Biaya Khusus (SBK) Diklat yang komprehensif serta pemberhentian subsidi pemerintah untuk program diklat yang beroutput ke masyarakat; |
5. | Ineficiency | Perlu tetap dipertahankan penyelenggaraan diklat penerbang untuk fungsi control namun tidak efisiennya biaya diklat yang ada mengurangi daya saing dengan diklat masyarakat terutama untuk pendidikan penerbang; | Perlunya studi komparasi dan penghitungan yang jelas terhadap komponen biaya diklat penerbang yang berdaya saing; | Penyesuaian biaya diklat penerbang (pilot) yang efisien dan berdaya saing; |
6. | Pengguna lulusan | Output diklat penerbangan yang dibiayai pemerintah seharusnya bermuara (output) untuk mensuplai kebutuhan pemerintah namun banyak diklat yang bermuara kepada swasta; | Pendataan penyerapan lulusan diklat untuk mengetahui daya serap dan target pasar; | Masukan untuk perencanaan diklat pada tahun-tahun mendatang kepada Direktorat Jenderal dan Pemerintah; |
7. | Partisipasi Swasta | Pihak swasta (perguruan tinggi dan lembaga diklat swasta) banyak yang sudah mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pada kompetensi penerbangan; (sesuai UU No. 1 Tahun 2009 ttg Penerbangan dimungkinkan) | Pemilahan pendidikan dan pelatihan yang sudah bisa dilaksanakan masyarakat, market share dan rencana pembinaan serta pengawasan; | Pengambilan sikap atas beberapa jenis kompetensi yang sudah bisa dilaksanakan oleh masyarakat sehingga tidak kelebihan kuota (misal: penutupan/penghentian pelaksanaan pendidikan yang kompetensinya sudah bisa diselenggarakan oleh masyarakat; |
Tuntutan pemenuhan sumber daya manusia berkompetensi yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penerbangan dihadapkan dengan kapasitas lembaga pendidikan dan pelatihan. Di sisi lain tuntutan SDM penerbangan berkompeten di lapangan sesuai amanah UU No. 1 tentang Penerbangan dihadapkan dengan permasalahan kepegawaian. Hal tersebut menuntut kebijakan baru di bidang pendidikan dan pelatihan penerbangan.
Berdasarkan evaluasi dan pemantauan yang dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan serta data-data empiris, mengindikasikan beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan berencana membuat kebijakan terkait dengan perbaikan, efisiensi dan efektifitas dalam dunia pendidikan dan pelatihan penerbangan merespon perkembangan terkini di bidang penerbangan.
Pertumbuhan dunia penerbangan yang begitu dinamis menuntut pemenuhan SDM yang real time untuk menangani operasional penerbangan di Indonesia. Program penyediaan SDM berkompetensi melalui pendidikan dan pelatihan dituntut untuk bisa link and match dengan kebutuhan saat ini, sehingga perlu dikaji apakah program pendidikan yang dilaksanakan saat ini akan menjawab kebutuhan lapangan pada saat ini atau atau paling tidak untuk jangka pendek, karena kebutuhan SDM beberapa tahun mendatang akan sangat mungkin berbeda dengan kebijakan yang saat ini diterapkan apabila tidak diserta dengan research and development yang berkesinambungan.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengungkapkan data bahwa terdapat kekurangan SDM yang berkompeten di berbagai bidang kerja di penerbangan baik yang ditangani Pemerintah (PNS) maupun swasta (non-PNS). Hal ini menuntut BPSDM Perhubungan untuk dapat menentukan langkah-langkah strategis terkait dengan strategi perencanaan dan pengembangan SDM penerbangan dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Analisa terhadap kebutuhan kompetensi lapangan saat ini terkait dengan banyaknya kompetensi baru yang dibutuhkan dan jurusan pendidikan yang sudah tidak signifikan untuk diselenggarakan juga perlu dilakukan untuk menghindari tidak terserapnya lulusan pada jurusan tertentu yang pada saat ini terjadi (match), sehingga perlu diadakan pemetaan kompetensi, kebutuhannya dan selanjutnya dibuatkan rencana program pendidikan yang sesuai dan sesuai kebutuhan pada masa mendatang.
Perombakan dan perubahan paradigma mungkin akan muncul sebagai implikasi dari hasil perubahan kebijakan yang terjadi, namun hal tersebut paling tepat untuk diambil dalam rangka efisiensi dan efektifitas di bidang pendidikan dan pelatihan khususnya perhubungan udara menjawab tuntutan pemenuhan SDM di masa mendatang.
Capital vs. Outcomes
Pemerintah memberikan modal atau sumber daya kepada institusi pendidikan dan pelatihan dalam hal ini Pusdiklat Perhubungan Udara dan UPT dalam hal penyiapan dan pemenuhan kebutuhan SDM berkompetensi di bidang penerbangan agar operasional penerbangan di Indonesia dapat tertangani dengan baik oleh SDM yang berkompeten di bidangnya, yang pada muara akhirnya adalah keselamatan dapat terjaga pada tingkatan yang diinginkan oleh pemerintah.
Tingkat keselamatan penerbangan yang intangible serta sistem perencanaan pemerintah yang cenderung tidak memperhitungkan Break Event Ratio seringkali membuat kita terlena akan investasi (capital) yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dibandingkan dengan manfaat (outcomes) yang dapat diterima sehingga seringkali arah pengembangan pendidikan dan pelatihan cenderung meningkatkan capital namun tidak diserta dengan evaluasi yang komprehensif terhadap manfaat (outcomes) yang dihasilkan. Outcomes bukanlah hanya gambaran kuantitas atau jumlah gap yang sudah terpenuhi namun lebih kepada target akhir berupa kinerja atau performance yang ada dilapangan sebagai hasil dari pendidikan dan pelatihan dalam rangka menunjang dan mempertahankan keselamatan penerbangan.
Perkembangan teknologi di bidang penerbangan memang tidak bisa dipungkiri menuntut sistem pendidikan dan pelatihan yang lebih canggih sehingga lulusan diklat dapat lebih cepat untuk beradaptasi dengan kondisi nyata di lapangan, dalam hal ini pengembangan sarana dan prasarana diklat seperti kurikulum yang up-to date serta penggunaan simulator sangat diperlukan. Namun tentunya perlu kajian yang lebih komprehensif disesuaikan dengan kondisi faktor terkait lainnya untuk hasil yang lebih optimal. Contoh kasus adalah apabila mengadakan satu alat simulator maka perlu dipertimbangkan tingkat penggunaan (utilitas) SDM instruktur yang berkompeten serta SDM dan program perawatan yang reliable, sehingga alat tersebut benar-benar dapat berguna proses belajar mengajar dibandingkan dengan sistem konvensional berdasarkan evaluasi dan studi komparasi yang harus dilakukan secara periodik.
Pembiayaan yang dikucurkan oleh pemerintah untuk pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan (subsidi) juga perlu dikaji efisiensi penggunaannya terkait dengan output dan outcomes yang dihasilkan. Pengguna lulusan UPT diklat Penerbangan adalah pihak Pemerintah (Direktorat Jenderal Perhubungan Udara) dan pihak swasta (BUMN, Perusahaan Penerbangan, Perusahaan Ground Handling, dll), terkait dengan pengguna lulusan subsidi pemerintah adalah lebih tepat digunakan untuk para peserta pendidikan dan pelatihan yang penempatannya pada pemerintah atau dengan kata lain investasi kembali kepada investor , namun pada saat ini kenyataan yang terjadi adalah pemerintah juga mensubsidi program pendidikan yang outputnya adalah kepada pihak swasta.
Mekanisme serah terima (transfer) memang ada dan dilakukan namun dalam kenyataannya investasi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pengembalian yang diterima oleh pihak pemerintah akibat tidak bisa terperincinya komponen biaya diklat secara mendetail sehingga ada komponen-komponen biaya diklat masih melekat pada komponen biaya lain yang harus ditanggung oleh pemerintah dan perlu penghitungan dan pemilahan lebih lanjut, semisal komponen biaya listrik, air, perawatan, penyusutan, dan biaya lainnya.
Peran masyarakat dan pihak lain
Tujuan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan oleh pemerintah adalah untuk memenuhi kebutuhan SDM berkompetensi di dunia penerbangan selama belum dapat dipenuhi atau diselenggarakan oleh masyarakat. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut andil dalam penyediaan SDM penerbangan berkompetensi melalui pendidikan dan pelatihan baik formal maupun informal. Perkembangan saat ini banyak bermunculan dari masyarakat yang ingin dan mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan baik formal maupun non formal, sebagai contoh adalah universitas yang membuka jurusan di bidang penerbangan, lembaga pendidikan dan pelatihan yang mendidik penerbang/pilot, teknik pesawat udara, ground handling, aviation security, dll. yang saat ini bermunculan.
Kajian terhadap kompetensi yang sudah bisa dilaksanakan oleh swasta/masyarakat perlu dilakukan secara akademis dan yuridis sebagai penentu kebijakan selanjutnya. Penyediaan SDM berkompetensi yang sudah bisa dilakukan oleh pihak swasta tentunya tetap dalam pengawasan dan kendali pemerintah, sehingga untuk kompetensi tertentu yang tetap memerlukan campur tangan pemerintah maka perlu dikaji market share yang ada.
Kajian akademis adalah sejauh mana muatan kurikulum pendidikan pada diklat formal dan non formal yang diselenggarakan oleh pihak swasta dapat memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan baik secara nasional maupun internasional, sehingga dapat diketahui kekurangan dan langkah pemenuhan selanjutnya.
Kajian yuridis atau hukum adalah sejauh mana dimungkinkan dalam aturan baik nasional maupun internasional suatu kompetensi pada pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh masyarakat dapat disesuaikan atau disetarakan.