Selasa, 28 Oktober 2008

STRESS PREVENTION IN AIR TRAFFIC CONTROL

Survey to the Member of Association of IATCA
Initiated by of Steering Comitte of IATCA-2008


General
Air traffic controllers are widely recognized as an occupational group which has to cope with a highly demanding job that involves a complex series of tasks, requiring high levels of knowledge and expertise, combined with high levels of responsibility, not only with regard to risking lives, but also the high economic costs of aeronautical activities.
Indonesia Air Traffic Controller Association (IATCA) survey to the member of the association, which reviews the sources and consequences of stress in air traffic control and the measures which have been taken in a number of branch organization of IATCA to prevent and reduce stress in the occupation.

Sources and consequences of stress in air traffic control
Surveys show that the main sources of stress reported by air traffic controllers as member’s of association are related both to the operative aspects of their job and to organizational structures. In the former case, the most important factors are peaks of traffic load, time pressure, resolving conflicts in the application of rules, and the limitations and reliability of equipment. The factors relating to organizational structure mainly concern shift schedules (and particularly night work), role conflicts, unfavourable working conditions and the lack of control over work.
Analysis has emphasized the complexity of the work of air traffic controllers. For example, the cognitive/sensory capacities required for high performance at radar workstations include spatial scanning, movement detection, image and pattern recognition, prioritizing, visual and verbal filtering, coding and decoding, inductive and deductive reasoning, short- and long-term memory, and mathematical and probabilistic reasoning. Air traffic controllers are also among the groups of workers who are most exposed to critical accidents which cause unusually strong emotional reactions, such as air accidents with loss of life or serious injury, near collisions or loss of control due to overload.
However, the consequences of these stressors on the performance of individual air traffic controllers may differ widely in relation to factors such as age, life style, work experience, personality traits, attitude, motivation and physical and mental health. Indeed, many studies on the consequences of stress on air traffic controllers have reported apparently contradictory findings. Nevertheless, a number of studies indicate that the demanding work of air traffic controllers may well be a risk factor in the long term in the development of stress-related symptoms, including headaches, chronic fatigue, heartburn, indigestion and chest pain, as well as such serious illnesses as hypertension, coronary heart disease, diabetes, peptic ulcers and psychoneurotic disorders.

Prevention of stress for air traffic controllers
In view of the safety and operational implications of the service provided, the air traffic control profession is understandably under close scrutiny at many levels.
In Indonesia, for example, the various national air traffic control systems come under the umbrella of the Directorate General of Civil Aviation. It is therefore hardly surprising that many measures have been taken to improve the health and safety of air traffic controllers, including stress prevention programmes. Air traffic controllers have to pass regular physical tests in order to retain their operating licence, which provides them with an added motivation to maintain themselves in good physical condition.
Based on a wealth of practical examples, the survey reviews the various interventions which have been made in the following areas:
  1. The external socio-economic environment, including national legislation, international and national directives and social support, in terms of facilities such as transport to work, canteens and sleeping facilities;
  2. Technology and work organization, including the improvement of job planning and the reliability of work systems, the reduction of working times and the arrangement of work teams and rest pauses in accordance with work load, the arrangement of shift schedules according to psycho-physiological and social criteria, and approaches to improve the participation of air traffic controllers in decisions which concern them;
  3. The workplace and the structure of tasks, with particular reference to the ergonomic design of workstations and improvements in work environment factors, such as lighting, noise, micro-climatic conditions and indoor air quality;
  4. The improvement of individual responses and behaviour, through guidance in individual ways of coping with stress, measures related to selection and training, and counselling and other supporting measures, including critical incident stress management; and
    health protection and promotion, with emphasis on the conversion of medical surveillance from a process predominantly concerned with the formal certification of fitness for work into a more positive intervention designed to maintain and improve the health and well-being of air traffic controllers.

Minggu, 26 Oktober 2008

MORALITAS KAUM TERDIDIK DI ERA GLOBAL-(Benarkah Masyarakat Terdidik di Indonesia Telah Makin Bermoral - Suatu Tinjauan Filsafat Ilmu)

I. Pendahuluan
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Malcolm Waters (Tilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etno-space, techno-space, finance-space, media-space, idea-space, dan sacri-space. Dengan demikian universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi era global berikutnya. Apakah pembangunan versi “pribuminisme” mampu mempertahankan hegemoni pembangunan eropasentrisme, amerikasentrisme atau modernisasi dalam era globalisasi? (Hettne (2001). Moralitas yang bagaimanakah yang akan dianut oleh masyarakat kebanyakkan, khususnya kaum terdidik, yaitu mereka yang telah menyelesaikan pendidikan formal minimal strata satu. Apakah telah terjadi transformasi nilai-nilai ataukah sebaliknya tetap berpegang (conformed) pada nilai-nilai tradisional sambil melakukan pembangunan? Apakah nilai-nilai yang dianutnya bisa dianggap benar? Inilah beberapa pertanyaan yang akan ditelusuri jawabannya dari sudut pandang filsafat ilmu sebagai bahan perenungan bagi kaum terdidik dalam melakukan peran kepemimpinan dalam membangun Masyarakat Indonesia.

II. Realitas Moral Kaum Terdidik
Beberapa informasi dari berbagai media massa tercetak maupun elektronik, yang sifatnya kasuistik tetapi menarik untuk dikritisi, antara lain:
Fenomena pertama adalah kaum politisi. “money politics” dan “money game” merupakan istilah yang sudah sangat populer pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass-root). Istilah tersebut sudah tidak lagi menjadi rahasia umum, bahkan cenderung menjadi semacam sinisme yang ditujukan terhadap kaum politisi. Demikian pula di lembaga legislatif (DPR/DPRD) budaya “datang, duduk, diam-diam dapat “traveller”s cheque” (Kompas, 23 September 2001 halaman 23) diduga hanya merupakan salah satu temuan yang terjadi secara kebetulan. Haryatmoko mengutip pendapat Yves Michaud (1976) dalam tulisannya berjudul “Terorisme, Politik-Porno, dan Etika Keyakinan” (Kompas 29 September 2001, hal. 4) mengemukakan bahwa, semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu disebut sebagai “politik porno”. Bentuk politik porno antara lain: demonstrasi dengan kekerasan, penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba, pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu, dan sebagainya. Apakah para politisi kita juga terlibat “Politik-Porno”? Apa bedanya mereka dengan pelacur? “Manakah yang lebih bermoral, pelacur yang baik atau oknum politikus yang melakukan politik porno yang jahat”? Apa bedanya seorang pelacur dengan seorang politikus? Apa jawabannya jika ada orang yang mengajukan pertanyaan demikian? Dalam masyarakat yang sudah terlanjur menistakan pelacur, sementara para politisi bisa beretorika mengenai kebaikkan, keadilan, kesejahteraan dan lain-lain sebagainya sambil menginjak-injak apa yang mereka sebut rakyat itu, pasti sulit untuk mendapatkan jawaban bahwa, pelacur yang baiklah yang bermoral. Atau jawaban lain adalah baik pelacur maupun oknum politikus sama-sama tidak bermoral, mereka sama-sama melacur. Hanya saja yang satu melacur dengan menggunakan (maaf) “anu”-nya, sedangkan yang satu lagi melacur dengan inteleknya (Gunawan, 1997).
Bermoralkah para politisi kita di DPR/DPRD yang mendapatkan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang semuanya dibayar dari uang hasil keringat rakyat (mungkin juga uang pinjaman luar negeri yang dalam hal ini akan menjadi beban rakyat juga sampai beranak-pinak), tetapi kurang atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan penderitaan dan perjuangan para pengungsi, petani, buruh tani, nelayan kaum cilik yang miskin yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah berjasa membuat mereka menjadi besar dan terhormat? Bukankah mereka itu seyogianya berpihak, membela dan memperjuangkan mayoritas masyarakat miskin agar bisa hidup selayaknya seperti orang-orang yang telah diangkatnya?
Fenomena kedua adalah kaum teknokrat/akademisi. Pertama, beberapa waktu lalu muncul berita heboh dari Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) tentang penjiplakan tesis oleh seorang dosen (mahasiswa program magister) dari Universitas Swasta yang bernaung di bawah Departemen Agama dan seorang pejabat tinggi (kandidat doktor). Menurut Rusli Karim (Ansori, 2000), fenomena jiblak-menjiblak karya ilmiah secara statistik berkisar antara 40 sampai 85 persen. Apakah perilaku plagiator karya ilmiah tersebut bermoral? Kedua, fenomena mulai melunturnya sikap kritis kaum akademisi (Sobary, Kompas tanggal 2 September 2001). Ketiga, oknum dosen/guru yang jarang mengajar/membimbing mahasiswa/siswa; dosen biasa diluar (kebalikan dari dosen luar biasa); pemimpin dosen/guru yang kurang memperhatikan atau berempati dengan nasib dosen/guru dan sivitas akademikanya. Keempat, mahasiswa/dosen yang memanipulasi data atau menyimpan hasil penelitian; dapat disebut sebagai dosen/guru atau seorang pemimpin dosen/guru yang bermoral?
Fenomena ketiga adalah kasus kaum birokrat/eksekutif. Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia, dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun 2001. Disamping itu, ternyata praktek korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%) bahkan lembaga keagamaan tidak luput dari korupsi (27,7%), (Kompas, hal 8, tanggal 17 September 2001). Pertanyaannya, siapakah yang melakukan tindakan korupsi tersebut? Bukankah mereka itu merupakan kaum terdidi, dan terlebih lagi merupakan orang-orang yang telah mengaku beragama, mengaku berjanji bahkan bersumpah kepada Tuhan-nya sebelum menjalankan tugas? Bermoralkah mereka ?.
Fenomena keempat adalah kasus kaum yudikatif. Menurut hasil pengumpulan (pooling) pendapat diketahui bahwa, perlakuan yang diterima warna negara selama ini 72,7 persen belum adil. Menurut responden tidak ada satu institusi keadilan di negeri ini yang sudah mempraktekan keadilan bagi masyarakat. Institusi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian pun belum mencerminkan keadilan (71 persen). Lebih parah lagi MA yang dipandang sebagai benteng akhir untuk mencari keadilan ternyata hanya 2/3 persen. Ketidakadilan ini tercermin dalam penuntasan berbagai kasus yang menyangkut politik, ekonomi, KKN, pelanggaran HAM, dan pelanggaran militer. Hilangnya kewibawaan kaum penegak hukum dalam menerapkan rasa keadilan masyarakat tampaknya menjadi batu sandungan kian terpuruknya lembaga peradilan di mata publik. Akhirnya masyarakat (responden) menyakini bahwa hanya 15 persen kebenaran hukum yang masih dipegang oleh penegak hukum (Kompas tanggal 8 Oktober 2001, halaman 8). Kasus pembebasan Tommy Soeharto merupakan fakta sejarah yang sulit untuk dibantah. Apakah perilaku tersebut bermoral?
Walaupun wajah moralitas kaum terdidik negeri kita nampak memprihatinkan, tetapi secara kasuistik masih saja ada orang yang memiliki integritas diri yang tinggi. Sobary dalam tulisannya: “Zaman Sontoloyo” (Kompas, 2 September 2001), mengemukakan antara lain: Munir, Baharuddi Lopa, Adi Andojo Sutjipto, Benjamin Mangkudilaga, Mulia Lubis, Sutradara Ginting, Malik Fajar, Cak Nur, dan yang lainnya. Disamping itu masih ada tokoh lain, seperti Bapak/Ibu dosen/guru, politisi/birokrat yang masih memiliki integritas diri yang tinggi .
Berdasarkan uraian tersebut, maka diajukan pertanyaan antara lain: “fenomena apakah yang sebenarnya telah melanda kaum terdidik, yaitu yang diwakili oleh kaum politisi, kaum birokrat, dan kaum teknokrat/akademisi, kaum yudikasi atau praktisi lainnya? Dekadensi moralkah? ataukah sesungguhnya telah terjadi transformasi nilai sehingga melahirkan moral baru yang membingungkan masyarakat terdidik lain ataupun masyarakat kebanyakan (non-terdidik)? Adakah korelasi antara moral kaum terdidik dengan tingkat pendidikan yang telah diraihnya?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian moral, moralitas, jenis-jenis moral, dan filsafat pendidikan.

III. Pengertian dan Jenis Moral
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa, konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian bagi Hegel kebebasan manusia bukan sekedar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial didalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu: (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c) tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif, yaitu Hegel menganggap bahwa Kant berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan, tak perlulah subjek setiap kali mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka ia harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Magnis Suseno, 1992).
Selaras dengan pendapat tersebut, Kattsoff (1996) menambahkan bahwa moral seseorang dapat ditilik dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat).
Tarumingkeng (2001) merangkum beberapa jenis moral yang dipetik dari berbagai sumber di internet (Tinjauan Ensiklopedi Filsafat), antara lain: (1) moral realism (moral berdasarkan kondisi yang nyata/realitas); (2) moral luck (moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan), (3) moral relativitism (moral yang bersifat relatif), (4) moral rational (moral berdasarkan penggunaan akal sehat atau prosedur rasional), (5) moral scepticism (moral yang menunjukkan sikap ragu-ragu karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun), dan (6) moral personhood (moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan pribadi atau merupakan bagian dari moral masyarakat. Moral masyarakat menyangkut semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal-hak dan kewajiban).

IV. ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan "what", misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how" sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.
Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis.
Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).
Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico).
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakekat ilmu. Oleh sebab itu, filsafat ilmu ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat ilmu tersebut, seperti :
1. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud hakiki objek tersebut ? Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, mengindera) ?
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apa kriterianya ? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
3. Untuk apa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma-norma moral / profesional ?
Ketiga kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologis.
Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut :
1. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.
2. Landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi seperti telah diuraikan diatas.
3. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta membagi peningkatan kualitas hidup manusia.

V. Moralitas Kaum Terdidik
Mencermati berbagai realitas moral yang diperankan oleh kaum politisi, kaum teknokrat/akademisi, kaum bikokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, maka apa jawabannya terhadap moral mereka? Tidak bermoralkah? Berdasarkan tinjauan jenis-jenis moral yang berkembang seiring era globalisasi, maka jawabannya, adalah bahwa mereka semua bermoral. Pelacur atau pekerja seks komersialpun bermoral, hanya saja masing-masing orang/pribadi menganut nilai-nilai moral yang berbeda, dan masing-masing pribadi menilai moral orang lain berdasarkan pandangan pribadinya yang diduga bertentangan dengan moral orang lain (I know, but Others not know, or I do not know, but Others know).
Berdasarkan perilaku (overt behavior) yang dimainkan oleh kaum politisi, yaitu perilaku “money politics”, “money game” dan “politik-porno”, maka dapat disimpulkan dari sudut pandang masyarakat (pandangan objektivitas) versi Hegel, bahwa moral yang dianut oleh kaum politisi adalah moral luck, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan. Hal ini disebabkan oleh faktor kapasitas, temparamen, cara bertindak dan adanya proyeksi tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Hagel (Tarumingkeng, 2001) yang mengemukakan bahwa, ada empat faktor keberuntungan yang berperan dalam menentukan moral seseorang, yaitu: (1) Constitutive Luck, yaitu menyangkut kecenderungan, kapasitas dan temperamen seseorang; (2) Circumstantial Luck, yaitu menyangkut jenis masalah dan situasi yang dihadapi; (3) Causal luck, yaitu menyangkut bagaimana sesuatu ditentukan oleh keadaan sebelumnya, dan (4) Resultante Luck, yaitu menyangkut cara seseorang bertindak dan memproyeksikan sesuatu hal. Disisi lain, dari sudut pandang subjektivitas versi Kant, kaum politisi bisa memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa, kami menganut moral relativitism. Menurut Pratogoras (Tarumingkeng, 2001) moral relativitism adalah “man is the measure of all things, atau “a human being is measure by all things” Selanjutnya disebutkan bahwa moral relativitism dibangun berdasarkan perilaku seseorang dan nilai budaya/tradisi yang dianutnya. Dengan demikian akan muncul dilema moral antara “rakyat” dengan “wakil rakyat” yang akan menghasilkan conflict of interest pada akan berakhir dengan konflik sosial.
Bagaimana dengan moral kaum teknokrat/akademisi? Tidak bermoralkah mereka? Kasus jiplak-menjiplak skripsi/tesis/disertasi, kasus dosen/guru “biasa diluar”, kasus pemimpin dosen/guru yang kurang berempati terhadap bawahannya, kasus sikap kurang kritis dari sudut pandang subjektivitas dapat dikategorikan dalam moral luck dan moral relativitism. Sejauh pertimbangan nilai menguntungkan pribadi secara relatif, maka moral tersebutlah yang dianut. Tetapi dari sudut pandang tata nilai sosial (pandangan objektivisme) moral yang dianutnya berseberangan dengan moral rational. Demikian pula dengan sikap kurang kritis dapat disebut sebagai moral scepticism.
Kaum birokrat/eksekutif menjadi fokus pembicaraan mengenai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Di negara yang mengaku beragama ternyata tingkat korupsinya semakin mencengangkan, sekaligus memilukan nurani. Apakah para birokrat atau penyelenggara ini tidak bermoral? Jawabannya tidak, ternyata moral yang mereka anut sama-sama kompak dengan moral-nya kaum politisi dan kaum akademisi, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif sesuai dengan nilai budayanya. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan. Jika masyarakat menggugat, maka mungkin pula “politik porno” yang diturunkan untuk “mengamankan” masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi jika moral luck ini semakin membudaya, maka diduga akan tinggal hitung tahun saja Indonesia bisa bangkrut, colaps dan akhirnya bisa menjadi senasib dengan negara Yogoslavia dan Uni soviet.
Bagaimana dengan moral kaum yudikatif? Berdasarkan data hasil pooling pendapat tersebut, ternyata lembaga-lembaga peradilan belum mencerminkan keadilan. Faktor apakah yang menyebabkan demikian? Apakah ada “money game”? yang jelas ada indikasi kearah itu. Jawabannya ya, moral yang mereka sama dengan moral-nya kaum politisi, kaum akademisi, dan birokrat, yaitu moral luck, dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang bersifat relatif. Moral realism, dan moral rational yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan bahkan dikebiri.
Budaya moral luck, moral relativism, dan moral scepticism tersebut jika dibiarkan berkembang, maka akan menimbulkan petaka bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian strategi yang dilakukan adalah: “strategi membasmi tikus dengan menggunakan perangkap” ataukah “menangkap kelinci dengan memakai jerat”. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang mampu melakukan strategi tersebut?

VI. Qua Vadis Moralitas Kaum Terdidik ?
Mencermati perilaku moral yang sedang dianut oleh kaum politisi, teknokrat/ akademisi, dan kaum birokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, baik di tataran pusat maupun daerah; dan dalam rangka pembangunan Indonesia Baru, yaitu: Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; Indonesia yang steril dari kerusuhan dan pengungsian; Indonesia yang memiliki “good-governance”; Indonesia yang dapat mengejar ketertinggalan pendidikan, dan Indonesia yang maju dan mandiri, maka kaum terdidik di perlu melakukan beberapa strategi antara lain:
1. Reorientasi Moral Kaum Terdidik
Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pembangunan pada akhirnya akan dapat meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat jika semua stake-holder pembangunan memiliki nilai-nilai intrinsik yang tinggi (Kartasasmita, 1996). Pembangunan yang dilakukan dengan landasan moral luck dan moral relativitism akan menggerogoti dan akhirnya meruntuhkan masyarakat dan negara itu sendiri. Demikian pula pembangunan masyarakat Indonesia perlu ditinjau kembali berdasarkan kearifan global dan lokal dalam hidup berbagai aspek kehidupan. Pertama-tama harus dimulai dari dalam diri (keluarga) kaum terdidik yang duduk di birokrasi/eksekutif, legistatif, yudikatif, perguruan tinggi, lembaga keagamaan, lembaga bisnis, dan para praktisi (LSM). Reorientasi moral dari moral luck, moral relativitism dan moral scepticism ke moral rational; dan moral realism mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia Baru. Kaum terdidik sebagai bagian dari komunitas sosial perlu mempertimbangkan atau melakukan akuntabilitas publik terhadap profesinya, karena kehidupan kaum terdidik ibarat pelita yang terletak di atas sebuah gunung yang dapat menerangi keremangan dan kegelapan kehidupan, dan ibarat garam yang dapat memberikan cita rasa terhadap kebusukan dan kelestarian Bangsa Indonesia.
2. Reaktualisasi Modal Sosial
Reorientasi moral kaum terdidik belumlah cukup, tetapi masih harus diperkaya dan dikembangkan dengan investasi sumberdaya manusia yang memiliki peran strategis dalam membangun Indonesia dimasa kini dan mendatang. Reaktualisasi modal sosial (social capital), seperti: kejujuran, kepercayaan, kesediaan dan kemampuan untuk bekerjasama-berkoordinasi, penjadwalan waktu dengan tepat, kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya pembangunan merupakan hal yang fundamental dalam melengkapi kesucian hati nurani. Hal ini perlu dilakukan mengingat pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih mengutamakan aspek ekonomi, yang akhirnya memunculkan sejumlah masalah dan bencana nasional, seperti: ketimpangan sosial, disparitas pendapatan yang mencolok, ketidakadilan, ketidakmerataan hasil pembangunan, kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan dan sebagainya. Disinilah letaknya bias program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian diperlukan sikap kearifan lokal dalam membangun manusia di daerah masih-masing sesuai spesifik lokasinya. Pembangunan ekonomi yang dilakukan seiring dengan pembangunan modal sosial pelaksana dan penerima manfaat pembangunan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan itu sendiri.
Seorang dosen lulusan program magister (S-2) dan program doktor (S-3) di Jepang pernah berceritera di depan kelas, dan setelahnya mengajukan satu pertanyaan kepada para mahasiswa program magister. Pertanyaannya sederhana: “apakah yang menyebabkan negara Jepang itu maju”? jawabannya singkat, yaitu: karena mereka memiliki “kejujuran” pada hati nuraninya alias mereka memiliki modal sosial yang tinggi. Jika mereka kedapatan melakukan suatu kesalahan dalam pemerintahan maka mereka dengan berjiwa besar untuk mengundurkan diri. Berbeda sekali dengan di Indonesia, bangga kalau korupsi, bangga pamer harta hasil korupsi, bangga kalau menceriterakan jumlah persenan yang diterima dari hasil kolusi proyek-proyek, padahal sebelum jadi pimpro atau pimpinan biasa saja.
Tak terasa sudah kurang lebih empat tahun krismon melanda Indonesia, tetapi nampaknya tidak seorangpun pejabat, birokrat, anggota dewan, dan pimpinan perguruan tinggi yang mengundurkan diri (kecuali Soeharto dipaksa untuk mundur) dari jabatan karena ketidak-mampuannya mengatasi masalah krismon. Yang terjadi hanya bongkar pasang presiden, bongkar pasang angota kabinet, terjebak isu global tentang “insiden WTC” yang akhirnya ibarat “memercik air di dulang”. Masyarakat non-terdidik bertanya-tanya kalau sampai mereka yang bergelar sarjana/insinyur, master, doktor, dan profesor yang jumlahnya berlimpah ruah tidak mampu memecahkan masalah krismon, masalah politik porno, lalu apa gunanya pendidikan yang diperolehnya itu?
3. Transformasi Pendidikan
Mengacu pada fenomena perilaku moral yang dilakukan oleh kaum terdidik, maka dapat ditarik suatu simpulan sementara bahwa, jenjang pendidikan tinggi yang diperoleh ternyata cenderung berkorelasi secara negatif dengan moral kaum terdidik, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka moralnya cenderung semakin rendah. Gejala ini dikarenakan oleh beberapa fakfor, antara lain:
Pertama, karakteristik personal dari orang yang bersangkutan, seperti: motivasi yang terkait dengan kebutuhan dasar (basic needs) atau rendahnya tingkat pendapatan. Fakta yang ada, yaitu seorang profesor (guru besar) yang mengajar di perguruan tinggi gajinya relatif rendah dibandingkan dengan gaji seorang manajer atau direktur sebuah perusahan swasta. Honor konsultan asing biasanya dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan konsultan dalam negeri padahal kemampuannya tidak diragukan.
Kedua, karakteristik situasional, yaitu: kebijakan pemerintah terhadap kaum terdidik, yaitu rendahnya pengakuan (recognation) pemerintah terhadap kemampuan kaum terdidik. Contohnya, yaitu terbatasnya dana pendidikan. Hal ini telah menimbulkan berbagai konsekuensi dalam bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Terbatasnya dana beasiswa untuk mahasiswa pascasarjana di dalam negeri turut mempengaruhi daya beli terhadap buku dan kemampuan melakukan penelitian, dan lain sebagainya.
Ketiga, sistem pendidikan. Pasca penerbitan UU Sisdiknas, program pendidikan nasional dapat dinilai hanya sebatas melahirkan “manusia karet”. Hal ini dikarenakan oleh kepemihakan program pendidikan pada pengembangan logika (ilmu pengetahuan), dan meredusir pendidikan budi pekerti (etika dan estetika). Disarankan agar pendidikan harus dikembalikan pada dinamika kultural Bangsa Indonesia. Abdul Malik Fajar (Mendiknas) mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus ada dalam mengembangkan pendidikan, yaitu: (1) pertumbuhan, (2) perubahan, (3) pembaharuan, dan (4) kontinuitas.
Mencermati realitas pendidikan Indonesia, maka diperlukan perhatian kebijakan pemerintah terhadap pengakuan kaum terdidik, khususnya mengenai kesejahteraan, peningkatan dana pendidikan, dan khususnya diperlukan transformasi dalam sistem pendidikan formal dari yang bersifat pragmatis ke arah filsafat aliran neoposivitisme, yaitu dari aspek filsafat dan pendidikan, seperti dirangkum oleh Mudyahardjo (2001), sebagai berikut:
1. Aspek Filsafat
(a) Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan yang diungkap oleh ilmu-ilmu kealaman. Bentuk kenyataan yang sebenarnya adalah sebuah jaringan hubungan sebab-akibat yang berlangsung dalam waktu dan tempat atau spatio temporal-causal network.
(b) Humanologi
Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan tubuh (monistik). Manusia adalah homo sapiens sehinga merupakan: (a) animal symbolicum, yaitu binatang yang memiliki bahasa yang mempunyai aturan-aturan sintaksis, semantis dan pragmatik, dan, (b) animal rationale, yaitu mempunyai kemampuan berpikir ilmiah atau berpikir tersusun sistematis, dan berpikir reflektif kritis atau memperkirakan dasar pemikiran.
(c) Epistemologi
Sumber pengetahuan adalah penginderaan. Penginderaan hanya dapat menangkap peristiwa-peristiwa tinggal dan material. Pengetahuan merupakan hasil pengolahan dengan menggunakan logika induktif terhadap fakta hasil penginderaan. Logika tersusun dari aturan-aturan sintaksis. Pernyataan tidak semalanya mempunyai makna. Sebuah pernyataan mempunyai makna apabila: (a) dapat dibuktikan kebenarannya secara intersubjektif atau pembuktian mudah dilakukan sekurang-kurangnya dua orang, dan (b) berdasarkan hukum-hukum sintaksis bahasa atau hukum-hukumpenyusunan bentuk kalimat.
(d) Aksiologi
Tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat bio-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.

2. Aspek Pendidikan
(a) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan bersifat sosial atau tak langsung adalah membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, moral yang bersifat biopsiko-sosiochonomik sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (1) berpikir jernih, (2) penyimpulan yang mantap dan tepat, (3) mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (4) objektivitas, (5) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan. Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah, sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
(b) Kurikulum Pendidikan
Mengutamakan pendidikan intelektual (ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan pendidikan teknologi, matematika, pendidikan bahasa) dan pendidikan moral. Pendidikan moral untuk mengembangkan kebajikan: (1) sikap berusaha mencapai kesempurnaan diri, (2) sikap adil, (3) sikap jujur, tidak memihak, (4) sikap mengakui kesamaan antara sesama manusia.
(c) Metode pendidikan
Pengajaran ilmu dipraktekan sebagai seni. Pengajaran ilmu untuk hal-hal pokok diajarkan melalui eksperimen/latihan intelektual. Pendidikan moral diajarkan melalui pembiasaan moral berdasarkan prinsip otonomi fungsional, dengan cara atau proses, yaitu: (1) seseorang menerima nilai-nilai dari luar melalui belajar dari ilmu dan/atau yang diperkenalkan orang lain melalui teladan dan/atau perintah. Nilai-nilai ini merupakan nilai pinjaman yang bersifat instrumental atau dapat dipakai sebagai alat penolong sementara dalam mempertimbangkan apakah suatu tindakan akan dilakukan atau tidak, dan (2) melalui penggunaan nilai-nilai pinjaman yang bersifat sementara berangsur-angsur menjadi nilai-nilai yang diakui sebagai milik sendiri yang mantap tertanam menjadi dasar pertimbangan moral sesuatu tindakan.
(d) Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik kurang dilengkapi dengan instink, tetapi mempunyai kemampuan terpendam yang memungkinkan dirinya untuk berpikir pada tingkatan yang tertinggi. Peserta didik tidak hanya pasif menerima bantuan, tetapi aktif melakukan latihan dan peniruan. Para pendidik bertugas: (1) melatih intelektual dan vokasional, (2) menyajikan informasi secara sistematis, (3) membimbing. Dalam pendidikan moral sebagai pembentukan kesadaran moral atau pembentukan superego, pendidik berperan sebagai: (1) memberi ganjaran, dan (2) memberi hukuman.

VII. Penutup
Dampak globalisasi telah menimbulkan transformasi nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran akan hak-hak personal seseorang semakin tinggi, kehidupan yang cenderung semakin individualis, semakin permisif, dan lunturnya nilai-nilai intrinsik. Moral kaum terdidik yang diwujudkan dalam berperilaku cenderung mengedepankan moral luck, moral scepticism, moral relativitism, yaitu moral yang cenderung subjektif yang menguntungkan pribadi. Sedangkan moral masyarakat non-terdidik lainnya dianggapnya citeris paribus. Masyarakat non-terdidik masih mengharapkan pencerahan, keteladan hidup, dan berbagi kehidupan yang lebih adil, merata, arif dan bijaksana dalam menuju suatu tatanan kehidupan bersama yang lebih baik dan lebih sejahtera, dan lebih mandiri.
Akhirnya, selagi kaum terdidik diberi gelar, diberi jabatan, diberi kedudukan, diberi peran dalam bentuk apapun, maka biarlah semuanya itu digunakan untuk melayani sesama di Republik Indonesia ini, khususnya bagi kaum non-terdidik.



PUSTAKA
Anshori, D. S., (Ed.) 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat. Otosentrisitas Pendidikan dalam Wacana Politik Pembangunan Alqaprint, Jatinangor, Bandung.
Fajar, M., Pendidikan Harus Bisa Membekali Lulusannya Menghadapi Kehidupan. Harian Kompas Tanggal 15 September 2001.
Gunawan, F.X. R., 1997. Pelacur dan Politikus. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
Haryatmoko, 2001. Terorisme, Politik Porno, dan Etika Kenyakinan. Kompas. Jakarta
Hettne, B., 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kattsoff, L. O., 1996. Pengatar Filsafat. Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.
Kompas, Tanggal 5 dan 17 September 2001.
Kompas, Tanggal 8 dan 14 Oktober 2001.
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Suatu Pengantar.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Nurudin, 2001. Komunikasi Propaganda. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Suseno, F. M., 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Suriasumantri, J. S., 2000. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar harapan. Jakarta.
Sobary, M., 2001. Zaman Sontoloyo. Harian Kompas. Tanggal 2 September 2001.
Tarumingkeng, R. C., 2001. Kumpulan Bahan/Materi Kuliah Pengantar Falsafah Sains (dalam bentuk CD). IPB. Bogor.
Taruma, T. Kompas Tanggal 22 September 2001.
Tilaar, H.A.R., 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi. Visi, Misi, dan program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Grasindo. Jakarta.

Senin, 20 Oktober 2008

PENGELOLAAN STRES

Menurut Professor Cary Cooper dari The University of Manchester Institute of Science, seperti yang dikutip oleh Lesley Towner dalam buku Managing Employee Stress (2002, hal 19), stres adalah tekanan yang terlalu besar bagi manusia.
Mengutip pengertian stres dari T. Hani Handoko dalam buku Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia (2001, hal 200) stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi fisik seseorang. Kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressor.
Dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia, Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1996, hal.301) menyebutkan bahwa para ahli mengatakan stres dapat timbul sebagai akibat tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara seseorang dengan lingkungannya. Dengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan mengalami stres. Biasanya stres semakin kuat apabila seseorang menghadapi masalah yang datangnya bertubi – tubi.
Stres yang terjadi pada setiap individu dapat diakibatkan oleh satu atau lebih stressor. T. Hani Handoko (2001, hal 200) menjelaskan bahwa ada 2 (dua) kategori penyebab stres, yaitu on the job dan off the job.
Hampir setiap kondisi pekerjaan bisa menyebabkan stres tergantung pada reaksi individu. Sebagai contoh, seorang pegawai akan mudah menerima dan mempelajari prosedur kerja baru, sedangkan seorang pegawai lain tidak atau bahkan menolaknya. Bagaimanapun juga, ada sejumlah kondisi kerja yang sering menyebabkan stres bagi para pegawai.
Menurut T. Hani Handoko (2001, hal 200) dan Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1996, hal 301) di antara kondisi-kondisi kerja tersebut adalah sebagai berikut :
a. Beban kerja yang berlebihan
b. Tekanan atau desakan waktu
c. Kualitas supervisi yang jelek
d. Iklim kerja yang menimbulkan rasa tidak aman
e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai
f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab
g. Ketidakjelasan peranan pegawai dalam keseluruhan kegiatan organisasi
h. Frustasi yang ditimbulkan oleh intervensi pihak lain yang terlalu sering sehingga seseorang merasa terganggu konsentrasinya
i. Konflik antar pegawai dengan pihak lain di dalam dan di luar kelompok kerjanya
j. Perbedaan sistem nilai yang dianut perusahaan dan pegawai
k. Berbagai bentuk perubahan yang terjadi yang pada umumnya memang menimbulkan rasa ketidakpastian
Di lain pihak, stres pegawai juga disebabkan masalah-masalah yang terjadi di luar perusahaan. Penyebab-penyebab stres off the job antara lain :
a. Kekuatiran keuangan
b. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan keluarga
c. Masalah-masalah jasmani
d. Masalah-masalah perkawinan, seperti perceraian
e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian keluarga
ICAO circular 238 – AN/143 mengutip definisi Hans Selye bahwa stres adalah respon non spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang ditujukan kepadanya. Konsep ini berasumsi bahwa terdapat suatu tingkat fungsi tubuh yang normal atau optimal dan stressors (stimulus atau situasi yang menimbulkan stres pada seseorang) menyebabkan penyimpangan dari keadaan normal ini. Stres secara umum menunjukkan usaha tubuh untuk beradaptasi atau berhadapan dengan tuntutan situasional dan kembali ke keadaan normal sesegera mungkin.
Stres bisa dibedakan menjadi :
a. Life stress, yaitu stres yang dihasilkan oleh peristiwa atau masalah dalam hidup seseorang. Misalnya perceraian, kehilangan keluarga, dan sebagainya.
b. Environmental stress, yaitu meliputi efek dari faktor – faktor seperti suhu, kelembaban, suara, tekanan, cahaya dan getaran.
c. Cognitive stress, yaitu stres yang menunjuk pada tuntutan kognitif atau mental dari tugas itu sendiri.
Stres terkait dengan kemampuan seseorang untuk memperhatikan isyarat - isyarat dalam lingkungan. Dalam situasi sederhana dengan sedikit isyarat, stres akan meningkatkan prestasi kerja karena perhatian menjadi terfokus. Sedangkan dalam situasi yang kompleks dengan banyak isyarat, stres akan menurunkan prestasi karena banyak isyarat akan tidak terperhatikan.
Menurut Dokumen 9426 Air Trafic Planning Manual, pemimpin unit pemandu lalu lintas udara (unit chief controllers) dan para petugas evaluasi (evaluation officers) perlu selalu waspada atas tanda – tanda stres pada anggota stafnya dan mestinya tidak ragu – ragu untuk membantu meringankannya. Pada langkah ini, suatu diskusi informal supervisor dengan pegawai pelaksana sering dapat menghindari hilangnya kecakapan secara progresif. Ini dapat juga meningkatkan keselamatan operasi unit yang terkait.
Bila stres sedang berlangsung maka di dalam tubuh manusia akan terjadi proses reaksi kimia yang merupakan respon atas terjadinya stres. Tubuh akan memberikan sinyal (tanda) : sistem otomatis syaraf manusia telah dipicu oleh pesan dari otak. Hormon - hormon (adrenalin, noradrenalin, dan cortisol) dilepaskan ke dalam aliran darah manusia. Pupil mata akan mengecil, pendengaran menjadi lebih peka, sistem pembuangan kita menutup dan mulut menjadi terasa kering, sistem kekebalan manusia menutup diri, banyak berkeringat, otot menjadi tegang, detak jantung meningkat dan tekanan darah naik. Dengan cara ini, tubuh manusia disiapkan untuk bereaksi fisik segera pada ancaman tersebut.
Pengaruh reaksi kita terhadap stres terdiri dari :
a. Pengaruh fisik meliputi : sakit kepala, sakit leher, sesak di sekitar dada, jantung berdebar, jantung terbakar, kelelahan, hilangnya selera, pusing, sakit punggung, sesak napas, berkeringat, tidak dapat mencerna, kecapaian, tidak dapat tidur, diare, selera meningkat, migraine, gatal – gatal, gagap, gemetar, perut sakit
b. Pengaruh mental meliputi : iritasi, kesulitan mengambil keputusan, kehilangan selera humor, kesulitan berkonsentrasi, depresi, perilaku tidak bersahabat, takut sendirian, kurang memperhatikan kehadiran, merasa tidak mampu mengatasi, pasif, agresif, merasa gagal, menarik diri, cemas, aktivitas berlebihan, ketakutan, kurang minat terhadap kehidupan, kehilangan libido, paranoid, cengeng.
Dalam mencegah dan mengurangi terjadinya stres pada pegawai maka terlebih dahulu adalah mempertimbangkan area utama dimana stres itu muncul dan untuk memikirkan tindakan apa yang bisa diambil untuk memperbaiki efektivitas setiap pegawai di tempat kerja. Menurut Lesley Towner dalam bukunya Managing Employee Stress (2002, hal.79) area kunci tempat munculnya stres adalah pada :
a. Budaya organisasi tersebut
Budaya organisasi memancar dari atas dan tersaring ke dalam organisasi dalam bentuk struktur manajemen, metode komunikasi, gaya manajemen yang dominan, kebijaksanaan dan praktek kerjanya. Budaya tersebut memiliki kekuatan dan akan dirasakan serta dimengerti oleh pegawai di setiap tingkatan baik secara positif maupun negatif.
Munculnya masalah stres pada pegawai banyak berakar dari masalah budaya organisasi, dapat disebutkan antara lain :
1) Kurangnya komunikasi
2) Kurangnya konsultasi
3) Gaya manajemen otokratik
4) Kurangnya kepercayaan
5) Kurangnya partisipasi
6) Terlalu banyak aturan
7) Sikap terhadap absensi, kemampuan dan disiplin
Hal tersebut di atas merupakan area yang sangat mungkin menimbulkan stres, sehingga perlu direspon secara baik oleh para pimpinan kerja, dengan cara antara lain :
1) Melaksanakan rapat tim secara berkala
2) Menerima komentar dari semua staf
3) Mengikutsertakan tim dalam organisasi kerja
4) Mengembangkan garis komunikasi informal
5) Memiliki kebijakan pintu terbuka
6) Menggunakan kebijakan serta prosedur yang ada secara sensitif dan adil
b. Lingkungan dimana orang bekerja
Lingkungan fisik dimana pegawai menghabiskan sekitar 40 (empat puluh) jam seminggu memainkan bagian yang penting dalam efektivitas mereka sepanjang jam-jam tersebut. Sementara peraturan kesehatan dan keamanan meminta untuk mengira tingkat kerusakan akibat racun, gas dan suara bising, ada lebih banyak pengaruh fisik yang bisa menurunkan kesejahteraan emosional pegawai dan karenanya tidaklah mahal untuk dibenahi.
c. Manusianya
Manusia adalah sumber stres terbesar di tempat kerja, baik seorang manajer, pemimpin tim, rekan kerja atau bawahan. Perlakuan-perlakuan yang umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari (ketidakadilan, berbohong, pelecehan, konflik personal dan sebagainya) dapat menimbulkan stres baik bagi yang mengalami maupun yang menanganinya.
d. Pekerjaan itu sendiri
Pada saat seorang individu baru mulai bekerja pada suatu tempat maka timbul suatu pemikiran dari seorang pimpinan organisasi apa yang dapat diharapkan/dilakukan pada individu tersebut. Namun sering kali, setelah beberapa waktu bekerja, semuanya mulai tidak dapat diterima atau bahkan berubah drastis. Beban kerja yang bervariasi, pekerjaan yang membosankan, jam kerja yang diperpanjang, peralatan kerja yang terlalu kuno adalah contoh-contoh yng dapat merubah pandangan baik pimpinan maupun pegawai (individu).
e. Kesempatan untuk pengembangan
Sedikit orang yang pernah mencapai potensi yang dimilikinya secara penuh. Adalah kepentingan organisasi untuk memberikan setiap kesempatan pada para pekerjanya untuk memaksimalkan potensi mereka. Banyak organisasi secara khusus tertekan oleh dana yang terbatas, tidak melihat pelatihan dan pengembangan sebagai suatu investasi. Sebagai contoh sebuah organisasi memberikan suatu peralatan yang menjadi beban bagi pekerja, tetapi pekerja tidak diberikan dengan hal lain yang mendukung tentang penggunaan peralatan tersebut (pelatihan, pembimbing, mentor). Jika hal ini terjadi maka pada diri pekerja tersebut merasa kurang dihargai dan dalam jangka pendek akan segera merasa semakin kurang motivasinya, kurang efisien dan dalam kasus yang ekstrim menjadi subversif dan menghancurkan.
f. Manajemen perubahan
Segala perubahan dalam hidup kita akan menimbulkan stres pada tingkatan tertentu. Setiap individu harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang mempengaruhi baik dalam kehidupan pribadi maupun ditempat kerja.

Menurut T. Hani Handoko (2000, hal 201), stres dapat sangat membantu atau fungsional, tetapi juga dapat berperan salah (disfungsional) atau merusak prestasi kerja. Secara sederhana hal ini berarti stres memiliki potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja, tergantung seberapa besar tingkat stres yang terjadi. Gambar 1. menyajikan model stres - prestasi kerja yang menunjukkan hubungan antara stres dan prestasi kerja. Bila tidak ada stres, tantangan kerja juga tidak ada, dan prestasi kerja cenderung untuk menjadi rendah. Sejalan dengan meningkatnya stres, prestasi kerja mempunyai kecenderungan untuk naik, karena stres membantu pegawai untuk mengerahkan segala sumber daya dalam memenuhi berbagai persyaratan atau kebutuhan pekerjaan. Adalah suatu rangsangan sehat untuk mendorong para pegawai agar memberikan tanggapan terhadap tantangan-tantangan pekerjaan. Bila stres telah mencapai puncak, yang dicerminkan kemampuan pelaksanaan kerja harian pegawai, maka stres tambahan akan cenderung tidak menghasilkan perbaikan prestasi kerja.
Akhirnya, bila stres menjadi terlalu besar, prestasi kerja akan mulai menurun, karena stres mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Pegawai kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya, menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusan-keputusan dan perilakunya menjadi tidak teratur. Akibat paling ekstrim adalah prestasi kerja menjadi nol, karena karyawan menjadi sakit atau tidak kuat bekerja lagi, putus asa, keluar atau melarikan diri dari pekerjaan, dan mungkin diberhentikan.
Ashar Sunyoto Munandar dalam buku Psikologi Industri dan Organisasi (2001, hal. 374) menulis bahwa Selye membedakan antara distress, yang destruktif, dan eustress, yang merupakan kekuatan yang positif (eustress mengandung suku awal yang dalam bahasa Yunani berarti ‘baik’, seperti yang terdapat dalam kata euphoria).
Ashar Sunyoto Munandar juga menyatakan bahwa makin tinggi dorongan berprestasi, makin tinggi tingkat stresnya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan – gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif. Sampai titik tertentu bekerja dengan tekanan batas waktu dapat merupakan proses kreatif yang merangsang. Seseorang yang bekerja pada tingkat optimal menunjukkan antusiasme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam berpikir (mental clarity) dan pertimbangan yang baik. Jika orang terlalu ambisius, memiliki dorongan kerja yang besar atau jika beban kerja menjadiberlebih, tuntutan pekerjaan tinggi, maka unjuk kerja menjadi rendah. Tanda – tanda beban berlebih adalah mudah tersinggung, kelelahan fisikal dan mental, ketidaktegas, hilangnya obyektivitas, kecenderungan berbuat salah, kekhilafan dalam ingatan dan hubungan interpersonal yang tegang. Agar tetap berada dalam kesehatan yang baik dan bekerja pada tingkat puncak, kita harus mampu mengenali titik optimal kita dan mampu menggunakan teknik – teknik mengatasi stres.

Lembaga Penanganan Search and Rescue (SAR) Transportasi

Badan SAR Nasional (disingkat Basarnas) merupakan yang menangani masalah SAR sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006. Basarnas mempunyai tugas pokok melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian, dan pengendalian potensi SAR dalam kegiatan SAR terhadap orang dan material yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan/atau penerbangan, serta memberikan bantuan dalam bencana dan musibah lainnya sesuai dengan peraturan SAR nasional dan internasional. Secara jelas tugas dan fungsi SAR adalah penanganan musibah pelayaran dan/atau penerbangan, dan/atau bencana dan/atau musibah lainnya dalam upaya pencarian dan pertolongan saat terjadinya musibah. Penanganan terhadap musibah yang dimaksud meliputi 2 hal pokok yaitu pencarian (search) dan pertolongan (rescue). Dalam melaksanakan tugas penanganan musibah pelayaran dan penerbangan harus sejalan dengan IMO dan ICAO. Basarnas mempunyai UPT sebanyak 24 UPT yang disebut dengan Kantor SAR. Kantor SAR mempunyai wilayah tanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan, koordinasi dan pelaksanaan operasi SAR di wilayahnya. Sampai saat ini Badan SAR Nasional merupakan instansi tingkat eselon I di Departemen Perhubungan.
Sejarah Basarnas dimulai dengan terbitnya
Keputusan Presiden no 11 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang Badan SAR Indonesia (BASARI), dengan tugas pokok menangani musibah kecelakaan dan pelayaran. BASARI berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Presiden dan sebagai pelaksanan di lapangan diserahkan kepada PUSARNAS (Pusat SAR Nasional) yang diketuai oleh seorang pejabat dari Departemen Perhubungan. Pada tahun 1980 berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan nomor KM.91/OT.002/Phb-80 dan KM 164/OT.002/Phb-80, tentang Organisasi dan tata kerja Departemen Perhubungan, PUSARNAS menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS). Perubahan struktur organisasi BASARNAS mengalami perbaikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM. 80 tahun 1998, tentang Organisasi dan Tata Kerja BASARNAS dan KM. Nomor 81 tahun 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor SAR. Pada tahun 2001 struktur organisasi BASARNAS diadakan perubahan sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan KM. Nomor 24 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubugan dan Keputuasan Menteri Perhubungan No 79 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Search and Rescue (SAR).

Peraturan Perundangan di Sektor Transportasi Udara

Dunia penerbangan di Indonesia diatur dengan perangkat peraturan perundangan. Undang-undang yang mengatur penerbangan adalah UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sebagai pengganti UU No.83 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687). UU ini terdiri dari 15 bab dengan jumlah pasal sebanyak 76 pasal. Pada beberapa pasal aspek keselamatan penerbangan sudah menyentuh tentang ketentuan prasarana & sarana, pelaksana penerbangan, dan juga tentang sertifikasi penerbang. Berikut ini adalah ulasan singkat tentang UU No. 15 tahun 1992 dari aspek keselamatan penerbangan.
Aspek keselamatan sudah mulai dibahas pada Pasal 1 dengan pernyataan seperti tertulis pada UU tersebut sebagai berikut:
“Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : ……………….. 15. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.”
Jelas tertulis pada pasat di atas bahwa sarana penerbangan (pesawat udara) harus memenuhi persyaratan minimum guna menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran udara. Apakah sebenarnya persyaratan minimum itu? Persyaratan ini tentunya dikembalikan lagi ke pabrik pembuat pesawat itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah prosedur pengoperasian dan pemeliharaan pesawat sudah dilaksanakan sesuai dengan manual standar?
Uraian lanjut tentang keselamatan penerbangan juga ditambahkan dalam Bab IV Pembinaan, Pasal 8 yang berbunyi: “Prasarana dan sarana penerbangan yang dioperasikan wajib mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.” Pasal ini jelas bahwa baik prasarana maupun sarana keduanya harus secara bersama-sama memenuhi standar persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan. Prasarana dan sarana ini dapat kita kelompokkan sebagai kelompok perangkat keras (hardware).
Pada pasal 8 di atas kelompok prasarana & sarana dengan jelas diungkap, bagaimana dengan perangkat hidupnya (lifeware)? Perangkat hidup sendiri adalah personil yang terlibat dalam pengoperasian maupun pemeliharaan prasarana & sarana. Di dalam bagian selanjutnya, Bab V Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara Serta Penggunaannya Sebagai Jaminan, pasal 12 Ayat (1) s/d (3) diulas tentang personil penerbangan. Pasal 12 tersebut tertulis sebagai berikut:
1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan.
2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 12 menyebutkan dengan jelas bahwa setiap personil penerbangan (pilot, teknisi, … dst) diwajibkan memiliki sertifikat kecakapan. Tata cara mendapatkan sertifikat itu sendiri seperti dijelaskan pada Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pasal-pasal selanjutnya hingga pasal 24 membahas tentang keamanan dan keselamatan penerbangan.
Perangkat lain yang sudah mulai tersentuh namun belum cukup jelas adalah tentang organisasi penerbangan di Indonesia atau kita sebut saja dengan organoware. Organisasi ini didalamnya setidaknya meliputi pembuat reguasi (regulator) dan pelaksanaan operasi (operator). Di Indonesia regulator dunia penerbangan diserahkan pada Departemen Perhubungan sedangkan operator adalah para maskapai penerbangan. Sebagai regulator, tugas Departemen Perhubungan adalah menyusun ketentuan-ketentuan yang terkait dengan dunia penerbangan dan mengawasi pelaksanaannya di lapangan. Sebagai operator, tugas maskapai adalah memenuhi kebutuhan angkutan bagi penumpang dan/atau barang seperti tertulis pada pasal 41 ayat (1) sebagai berikut:
“(1).Perusahaan angkutan udara niaga, wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan.”
Jelas bahwa hubungan antara regulator dan operator penerbangan ini harus terjaga dengan baik, dalam hal ini topoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing pihak harus dijalankan sebaik-baiknya. Pada laporan ini belum dibahas secara lebih detail apakah tupoksi perangkat organoware ini sudah dilaksanakan dengan baik, namun pada laporan selanjutnya akan disampaikan sesuai dengan hasil kunjungan lapangan ke beberapa kota. Bagian akhir yang cukup menarik untuk dibahas dalam UU No. 15 Tahun 1992 adalah tentang sanksi. Aturan ini diuraikan dalam Bab XIII Ketentuan Pidana. Dimulai dari Pasal 54 hingga 53, bahasan difokuskan pada ketentuan sanksi akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh personil/organisasi pengoperasi penerbangan. Sebagai contoh adalah sanksi bagi pilot yang membahayakan penerbangan seperti tertulis pada Pasal 60 sebagai berikut:
“Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”
Pihak yang dimaksud pada pasal 60 (“Barangsiapa menerbangkan pesawat udara … .”) di atas adalah pilot dan kru pesawat terbang. Pasal-pasal lainnya umumnya membahas ketentuan pidana terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Perangkat lain yang juga penting untuk diperhatikan selain hardware, lifeware, dan organoware adalah software. Software disini lebih dekat dengan perangkat peraturan pendukung UU No. 15 Tahun 1992 ini. Dari kajian sementara terdapat beberapa PP dan Kepmen dalam dunia penerbangan seperti tersaji pada data di bawah ini.

PP dan Kepmen tantang penerbangan di Indonesia-Peraturan Pemerintah (PP)&Keputusan Menteri (Kepmen)
PP No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan
Kepmen No. 44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional
PP No.3 Tahun 2000 (Perubahan Atas PP No. 40 Tahun 1995) Tentang Angkutan Udara
Kepmen No. 45 Tahun 2002 tentang Penyerahan Penyelenggaraan Bandar Udara Umum (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota)
-
Kepmen No. 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara
-
Kepmen No. 48 tahun 2002 tentang Penyerahan Penyelenggaraan Bandar Udara Umum

Kepmen No. 11 Tahun 2001tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara
Civil Aviation Safety Regulations/CASR No.
91, 121, 135, 145, dll
Kepmen No. 11 Tahun 1996 tentang Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Peraturan perundangan di Bidang Kelaikan Udara
PP. No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan
Kepmen No.25 Tahun 2001 tentang Rancang Bangun Standar Kelaikan Udara untuk Pesawat Udara Kategori Normal Utility Akrobatik dan Komuter.
Annex 1 s/d 18, ICAO Convention

Uraian di atas sedikit memberikan gambaran bahwa pada dasarnya baik perangkat keras (hardware), perangkat hidup (lifeware), perangkat organisasi (organoware) dan perangkat lunak (software) sudah masuk dalam perundangan di Indonesia. Pada pelaporan selanjutnya akan dikaji pelaksanaan di lapangan apakah antar berbagai ware tersebut sudah terintegrasi dengan baik.

Senin, 06 Oktober 2008

TANTANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA MASA DEPAN


Kalau lembaga pendidikan tinggi pertama di Indonesia baru berdiri pada 1920 ( Technische Hoogeschool, THS, Bandung, sekarang ITB ), maka lembaga pendididkan tinggi pertama di dunia setelah Academia Plato pada abad empat abad sebelum Masehi adalah Bologna pada abad ke-11 (Italia), Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris) pda abad ke-12.Setelah periode ini perguruan tinggi yang bentuk kelembagaanya menjadi universitas telah mengalami sutu evolusi yang demikian panjang dari sekedar penghasil lulusan.

Pada 1809, dengan pionirnya Von Humbolt (Jerman), universitas berkembang sebagai lembaga riset, dan pada 1862 menjadi lembaga pengabdi kepada masyarakat dengan adanya gerakan Land Grant oleh Presiden Abraham Lincoln melalui Morril Act-nya. Setelah periode ini, khususnya di AS dan Eropa Barat (Inggris, Jerman, dan Perancis ), disamping sebagai lembaga pendidikan, universitas adalah juga lembaga riset dan lembaga pengabdi kepada masyarakat. Karena itu, penulis memandang bahwa penerapan Tri Dharma adalah bentuk mutakhir universitas di dunia, yang dalam bahasa Clark Kerr dalam bukunya The Uses of university, dinyatakan sebagai berikut :

”A university anywhere can aim no higher than to be as British as possible for the sake of the graduates and research personel, as American as possible for the sake of the public at large.”

Kerr memandang universitas yang ideal adalah universitas yang menggabungkan tiga tradisi. Yaitu tradisi undergraduate Britania dengan college model Oxford dan Cambridge, program pasca-sarjana yang berorientasi riset model Jerman, dan model pengabdian kepada masyarakat ala AS. Clark Kerr juga menyatakan :

“The basic reality, for the university, is the widespread recognition that new knowledge is the most important factor in economic and social growth. We are just perceiving that the university is invisible product, knowledge, may be the most powerful single element in our culture, affecting the rise and fall profession and even social classes, region and even nations”

Dari pernyataan Clark Kerr tampak demikian menentukannya universitas dalam mempengaruhi perkembangan masyarakat dan peradabannya.

Pandangan itu, yang disimpulkan oleh Clark Kerr pada 1963 setelah berhasil memimpin University of California yang berpusat di Berkeleym pada 1996 masih diikuti oleh Komisi Internasional Unesco untuk pendidikan abad ke-21 seperti yang diutarakan oleh komisi tersebut dalam kalimat berikut :

”It is primarily the universities that unite all the traditional functions associated with the advancement and transmission of knowledge; research, innovation teaching nad training, and continuing education. To these one can add another function that has been growing in importance recent years; international co-operation.

These functions can all contribute to sustainable development. As autonomous centers for research and creation of knowledge, universities can address some of development issues facing society.”

Menghasilkan lulusan yang berkualitas secara intelektual dan professional, menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ikut serta dalam memecahkan masalah nasional masyarakat bangsanya maupun masalah kemanusiaan adalah hakikat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Atas dasar landasan pemikiran ini pula tampaknya Presiden Soekarno dalam Rencana Pembangunan semesta Delapan Tahunan dari 1961 – 1969, antara lain menetapkan sasaran bagi didirikannya sekurang-kurangnya sebuah universitas negeri untuk setiap provinsi. Hakikat penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi pada 1962 adalah mencoba menerapkan Land Grant Movement Presiden Abraham Lincoln 1862 (seratus tahun sebelumnya ) di Indonesia, yang tujuannya adalah melibatkan secara langsung universitas dalam proses pembangunan untuk mempercepat proses industrialisasi dan manufaktur.

Kini kita bertanya : “Sejauh mana keberadaan universitas di Indonesia telah mempengaruhi percepatan pembangunan nasional ?” Tampaknya kita belum dapat memberikan jawaban yang positif. Bahkan kita menyaksikan betapa universitas kita, dari yang paling tua sampai yang paling muda, baik negeri maupun swasta, belum menunjukkan keinginan besar dan atau belum diberi kesempatan untuk terlibat, melibatkan diri, dan atau dilibatkan dalam memecahkan masalah- masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Puluhan tahun beberapa daerah Indonesia dilanda demam berdarah,ironisnya belum tampak upaya masyarakat akademik universitas melakukan riset untuk mencari obat guna mengatasi atau mencegahnya.

Setiap musim hujan, dari kota sampai desa hampir seluruh wilayah Nusantara terancam musibah banjir dan tanah longsor. Dan sebaliknya, jika musim kemarau kita menghadapi krisis air bersih. Apakah yang sudah dilakukan oleh pihak Universitas? Akhir-akhir ini Indonesia, sebagai negara yang pernah menjadi penghasil gula terbesar di dunia, menghadapi banjir gula impor yang harganya lebih murah, dan dunia akademik tampak belum memberi pemikiran strategis untuk meningkatkan produktivitas industri gula tebu di Indonesia. Tampaknya terlalu banyak fenomena yang menunjukkan betapa darma riset dan pengabdian kepada masyarakat belum terlaksana sebagaimana diharapkan. Padahal setiap universitas pada umumnya memiliki lembaga penelitian dengan berbagai pusat penelitian, serta memiliki lembaga pengabdian masyarakat. Setiap dosen pun, untuk kepentingan kenaikan pangkat, diwajibkan melakukan riset. Disamping itu, program doktor pun telah ada di berbagai universitas. Namun riset yang dilaksanakan belum banyak yang bermakna untuk memajukan ilmu pengetahuan.

Dengan terjadinya gempa tektonik dan gelombang Tsunami yang dahsyat di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam, dunia akademik Indonesia ditantang untuk mengembangkan pikiran dan teknologi untuk Indonesia yang mampu menghadapi segala ancaman dan tantangan. Wujud pengabdian masyarakat dunia akademik bukan hanya mengirimkan sukarelawan dan mengumpulkan dana, melainkan terutama adalah pemikiran dan teknologi pemecahan masalah.

Yang paling menarik dari peta nasional kita adalah bahwa setelah hampir satu dekade mengalami krisis multidimensi, universitas-universitas kita tidak ada yang secara sendiri-sendiri atau bersama melakukan suatu upaya untuk dapat memberikan rekomendasi yang didasarkan atas studi multidisiplin yang mendalam, komprehensif, dan secara akademik dan profesional dapat dipertanggungjawabkan untuk memecahkan masalah nasional yang berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial budaya, dan industri. Yang menonjol hanyalah munculnya berbagai kritik, komentar, protes, dan demonstrasi yang mengatasnamakan kampus baik dari kalangan mahasiswa maupun Forum Rektor, atau perorangan, yang umumnya bernuansa politik.

Dari ketiga Darma Perguruan Tinggi, yang tampaknya tetap berjalan adalah darma . Walaupun demikian, kualitas lulusan diukur dari etos kerjanya, kemampuan intelektual, kreativitas, disiplin, karakter, serta moralnya belum seperti yang diharapkan. Ini dapat dilihat dari masih mudahnya sarjana lulusan universitas dalam melakukan tugas profesionalnya, baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik, teknik, maupun pendidikan, mengabikan nilai-nilai moral.Kita menyaksikan betapa banyak kasusu permainan uang dan konspirasi politik dalam politik dan penegakan hukum, kebocoran pajak dan maraknya korupsi, dan lekas rusaknya banyak bangunan serta masih belum berkualitasnya proses pembelajaran di berbagai jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Dengan kata lain,darma pendidikan yang dilaksanakan dalam lingkungan pendidikan tinggi belum mampu menjadi wahana pembudayaan kemampuan,nilai,dan sikap dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Kini dunia telah memasuki era globalisasi.Maka wujud implementasi Tri Darma pun perlu disesuaikan.Para penganut globalisasi memandang era ini sebagai era post industrial society.Sheila Naughter,yang bersama kawannya mengadakan studi pembaharuan manajemen universitas (terutama negeri) AS,Inggris Raya,Kanada,dan Australia mengajukan pertanyaan:

What is the scope of economic change that characterizes the last quarter of the twentieth century and how does is affect hihgher education?’’

Jawabannya:

We have moved from an industrial to a post industrial society and higher education is more important to the latter. Post industrial societies depends on higher education for training and research and development (R and D) to a degree than do industrial societies.’’

Kenyataan terjadinya perubahab masyrakat dari masyrakat industri ke masyrakat pasca industri tersebut menterbelakangi perubahan manjemen universitas di Negara-negara maju. Universitas makin meningkat kedudukannya sebagai learning institution dalam perubahan masyarakat industri. Ben David menyatakan:

“ As many inventions of the industrial revolution made by non schooled and inventions as by trained scientists (Ben-David 1965;Noble 1976); most of the discoveries of the current technological revolution were made by persons with advanced degree. The post-industrial technological revolution depend universities. Universities provide the necessary for the increasing member of proffesionals employed by corporotion to invent and innovate with regard to sophisticated technologies and product to increasing member of cases universities on the sites where new technologies and product are developed,often in partnership with bussines through funding provided in part by the state.”

Perkembangan di Indonesia belum sejauh seperti yang digambarkan. Namun kita tidak dapat mengeluh bahwa kita telah berada dalam era globalisasi.

Dosen dan mahasiswa dalah inti civitas akademika suatu universitas dan perguruan tinggi dalam segala bentuknya. Dalam sejarah perkembangan perguruan tinggi di dunia, ada universitas yang keberadaannya karena inisiatif mahasiswa ( Bologna di Italia pada abad ke-11) dan ada yang atas inisiatif dosen ( seperti universitas Paris pada abad ke-12). Masing-masing membawa model yang berbeda pula dampaknya pada perkembangan peradaban dunia. Model Bologna, yang menjadikan mahasiswa paling dominan dalam penlenggaraan universitas, mempengaruhi model universitas yang berkembang melalui Spanyol selanjutnya Amerika Latin. Clark Kerr melukiskannya dalam kalimat berikut:” The Bologna pattern had an impact on salamanca and Spain generally and then in Latin America, where students to this day are usually found in the top governing councils. Their impact is genrally more to lower than to raise academics standards although there are exceptions such as Buenos Aires after Peron under leadership of Risieri Frondizi. Students also involve the university as an institution in the national political controversies of the moment.”

Berbeda dengan Bologna, yang menempatkan mahasiswa pada posisi dominan bahkan melibatkan universitas dalam percaturan politik nasional sesaat, model Paris berkembang melalui Oxford dan Cambrdge (Inggris), Jerman, dan AS. Dalam kaitan ini Kerr menguraikan kedudukan faculty (dosen) di AS dan British Commonwealth dalam kalimat betikut :

“Faculties generally in United States and the British Commonwealth, some earlier and some later, have achieved authority over admissions, approval of courses, examinations, and granting of degrees- all handled in a rather routine from the point of

view of the faculty as a whole. They have also achieced considerable influence over faculty appointments and academic freedom, which are not handling routinely. Faculty control and influence in these areas are essential to the proper conduct of academic laife.”

Kekuatan besar senat dalam berbagai kebijakan universitas ini berkurang sejak diperkenalkannya sistem elektif bagi mahasiswa dalam mengambil mata kuliah.

Dari uraian tentang kedudukan mahasiswa dan dosen dalam perkembangan universitas, yang merupakan inti kebudayaan unversitas, dapatlah dipahami bahwa masalah kemerdekaan akademik adalah masalah kemerdekaan dosen dan mahasiswa untuk mengajar dan belajar. Doktrin ini mulai muncul bersamaan dengan lahirnya konsep universitas sebagai lembaga riset,selain lembaga pendidikan (di Jerman). Karena itu muncul doktrin lehfreiheit, kemerdekaan dosen untuk mengajar dan melaksanakan riset, dan lernfreiheit, kemerdekaan mahasiswa untuk belajar. Dengan doktrin ini maka dosen bebas menciptakan mata kuliah yang dipandang penting dan melaksanakan riset, dan mahasiswa bebas untuk memilih mata kuliah yang dikehendakinya.

Sebagai konsekuensi kemerdekaan akademik bagi setiap dosen, di berbagai universitas besar kita mengenal catalogue courses yang meliputi sampai ribuan bahkan puluhan ribu mata kuliah. Mata kuliah itu lazimnya terbagi dalam undegraduate courses, upper division courses, dan graduate courses. Bukan hanya perumusan courses outline yang menjadi kewenangan seorang guru besar (di University of California, profesor meliputi assistant professor sampai full professor dan dibedakan dari lecturer dan instructor), berwenang mengusulkan mata kuliah baru atau program baru sesuai dengan perkembangan disiplin ilmunya. Sedangkan mahasiswa memiliki kebebasan memilih mata kuliah yang akan diambilnya sesuai dengan jurusan yang ditempuh.

Dari kacamata ini :”sudahkah ada academic freedom di Indonesia?” Masih banyak universitas yang tidak mengenal mata kuliah pilihan dan mahasiswa pun juga masih banyak yang belum memiliki kemerdekaan memilih mata kuliah. Yang ada adalah kemerdekaan politik,yang sesungguhnya bukan merupakan wilayah akademik dan universitas, melainkan wilayah politik. Secara tidak sadar, dilihat dari tingkah laku politik mahasiswa dan sementara dosen serta rektor, kita tampaknya terpengaruh oleh model Bologna, yaitu mengutamakan kemerdekaan politik dan melibatkan diri dalam kemelut politik sesaat. Padahal model ini dalam sejarah menunjukkan kurangnya sumbangan universitas bagi pembangunan bangsa. Kiranya kita perlu belajar betapa negara- negara Amerika Latin yang telah merdeka ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka dan telah memiliki universitas yang lebih tua dari Harvard University (1639), tapi tingkat perkembangannya ada yang masih di belakang Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan, apalagi dengan AS yang kemerdekaannya hampir bersamaan dengan negara Amerika Latin.

Dalam kondisi belum begitu bermaknanya peranan universitas dalam pembangunan masyarakat bangsa Indoneisa, isu tentang debirokratisasi terus berlangsung, Sentralisasi dan birokratisasi telah dijadikan kambing hitam bagi kemerdekaan universitas dan lembaga pendidikan pada umumnya untuk dapat melaksanakan fungsinya. Sampai berapa jauh hal tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, diperlukannya suatu studi yang mendalam. Namun suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa birokrasi merupakan model penyelenggaraan organisasi pemerintahan dan administrasi suatu lembaga atau usaha agar dapat berjalan secara efisien dan efektif. Perkembangan ilmu pengetahuan memang memerlukan kemerdekaan dan otonomi tanpa camur tangan kepentingan diluar kepentingan ditemukannya kebenaran ilmiah dan dikembangkannya teknologi baru. Namun untuk memberikan dukungan terhadap kegiatan keilmuan yang bermakna, baik kependidikan maupun keilmuan,diperlukan dukungan dana. Dalam kaitan dengan dukungan dana ini, yang sumbernya dapat hibah, subsidi, maupun pinjaman serta dukungan pembiayaan, diperlukan mekanisme administrasi yang diatur dalam kerangka birokrasi (good governance).

Disinilah titik temu antara birokrasi dan kepentingan otonomi keilmuan suatu universitas. Yang menarikuntuk disoroti adalah bahwa pada saat dunia akademik Indonesia belum kuat untuk mewujudkan kemerdekaan memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sikap apriori terhadap pemerintahan marak. Padahal sebuah universitas sebesar Harvard University, yang pendapatan per tahunnya (bukan dari student fee) mencapai miliaran dollar AS, tidak dapat melepskan diri dari status Federal Grant University, karena sebagian besar grant diperoleh dari Pemerintah Federal, baik dari Departemen Pendidikan, Kesehatan, dan Kesejahteraan, Departemen Pertahanan, Departemen Pertanian, NASA, Badan Tenaga Atom, National Science Foundation, dan lembaga federal lainnya. Dan ini dapat terjadi karena kemampuan pemimpin universitas (unsur birokrasi) melobi dan bernegosiasi dengan badan-badan pemberi grant tersebut.Dalam pada itu, sejarah universitas di negara-negara maju seperti Perancis, melalui kebijakan Napoleon, yang menjadikan universitas sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Perancis dibawah Menteri Perancis, atau Jerman yang menjadikan universitas bagian dari sistem pendidikan nasional dan berada di bawah kekuasaan negara bagian, dan Inggris yang berada di bawah Royal Commission, membuktikan ketergantungan perkembangan universitas pada pihak pemerintah.

Berangkat dari kenyataan sejarah di negara-negara maju, Clark Kerr sampai pada kesimpulan tentang dominannya peranan administrasi dalam penyelenggaraan universitas:

“The general rule is that the administration everywhere becomes, by force of circumstances if not by choice,a more prominent feature of university. As the institution becomes larger, administration becomes more formalized and separated as a distinct function; as the institution becomes more complex, the role of administration becomes more central in integrating it; as it becomes more related to the once external world, the administration assumes the burdens of these relationships.”

Dari uraian di atas, dan dengan mengutip kesimpulan studi Clark Kerr, jelaslah betapa dalam masyarakat yang semakin kompleks dan mutakhir, besarnya tanggng jawab universitas baik dalam melaksanakan darma pendidikan, darma penelitian, dan darma pengabdian kepada masyarkat, pelaksanaan otonomi keilmuan dan kemerdekaan akademik, perlu didukung oleh sistem administrasi dengan model manajemen yang modern yang efisien dan efektif.


PENUTUP

Dari serangkaian uraian analitis tentang peranan strategis universitas dalam era globalisasi, dapatlah ditarik beberapa generalisasi sebagai berikut ;

1. Bahwa universitas di Indonesia, yang diharapakan berperan sebagaimana universitas di negara berkembang, pada umumnya belum dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan negara bangsa, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi.

2. Bahwa Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai doktrin universitas di Indonesia yang digariskan sejak 1962, yang menempatkan universtitas sebagai motor penggerak pembangunan negara bangsa yang modern, ternyata belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, baik dalam mengemban misi pendidikan, penelitian, maupun pengabdian masyarakat.

3. Bahwa dalam era globalisasi, yang hakikatnya telah menjadikan dunia memasuki era pasca-industrialisasi, kedudukan universitas sebagai lembaga pendidikan, lembaga pengembangan ilmu pengetahuan, dan peserta aktif dalam proses pembangunan ekonomi menjadi sangat strategis.

4. Bahwa makna darma pengabdian masyarakat lembaga pendidikan tinggi, terutama universitas dalam era globalisasi bukan sekedar melakukan bakti sosial atau pengerahan sukarelawan, melainkan dan terutama adalah dalam memecahkan masalah-masalah nasional maupun internasional, baik yang kontemporer maupun yang berjangka panjang mealui kemampuan akademik universitas.

5. Bahwa agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dalam perubahan yang cepat dalam era globalisasi, perlu diupayakan sekuat tenaga agar universitas di Indonesia dikembangan dan dikelola secara efisien dan efektif sehinggga benar-benar dapat menjadi pust pendidikan yang bermutu, pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang responsif, pruduktif, dan kompetitif, dan sebagai pusat pemikiran, penemuan, dan inovasi yang dapat diabdikan secara langsung untuk memecahkan masalah-masalah nasional. Untuk itu pengelolaan perguruan tinggi harus benar-benar:

(1) Memungkinkan terciptanya suasana akademik yang menjadikan guru besar dan tenaga pengajar lainnya dapat secara bergairah, penuh tanggung jawab dan ketekunan sebagai ilmuwan dan pendidik, melaksanakan kemerdekaan akademiknya, yaitu mengajar dan melakukan penelitian.

(2) Memungkinkan para mahasiswa dengan penuh kebahagiaan mendapatkan rangsangan dan tantangan untuk merealisasikan kemerdekaan akademiknay, yaitu belajar dengan fasilitas yang memenuhi syarat agar mereka dapat menjadi ilmuwan/tekmolog/profesional yang berkarakter dan bemoral serta bergairah untuk mengabdi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Menetapkan dan mempertahankan standard of excellent dan meritocracy, baik dalam rekrutmen tenaga pengajar dan penerimaan mahasiswa maupun dalam promosi mereka.

KONSEP DASAR NAVIGASI PENERBANGAN

Jauh sebelum ilmu penerbangan dikemukakan, manusia sejak dahulu telah menemukan dasar-dasar pengetahuan navigasi dalam perjalanannyanya dari satu pulau ke pulau lain dan dari satu benua ke benua lain nya. Hal ini mengikatkan kita kepadan raja Kartanegara dari Singosari yang telah berhasil menguasai nusantara melaluo laut dan bahkan mengadakan hubungan dengan Negara tetangga.Jelaslah bahwa pengetahuan atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu telah di kenal sejak dahulu yang sekarang di kenal dengan istilah navigasi.
Navigasi berasal dari kata Yunani yaitu : Navis artinya perahu (kapal) dan Agare berarti mengarahkan . Kemudian setelah manusia menemukan pesawat terbang dipakailah dasar-dasar navigasi tersebut dengan beberapa tambahan untuk disesuaikan dengan sifat-sifat dan peralatan serta keadaan alam yang mempengaruhi. Pengetahuan yang berhubungan dengan keudaraan tersebut disebut Avigation asal kata dari Avis (burung) dan Agare (mengarahkan) dan selanjut nya di namakan : Aero navigation atau Air navigation.
Kalau kita telaah definisi daripada Navigasi adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara untuk menuntun arah penerbangan pesawat dari satu titik pemberangkatan ke titik tujuan dalam segala macam keadaan , cuaca ,dengan seaman-aman nya dan seefisien mungkin. Dari definisi ini kita memahami bahwa melalui pengetahuan navigasi ini perjalanan (penerbangan) pesawat diperhitungkan dan dituntun , arahkan agar dapat terbang selamat sampai tujuan serta dengan seefisien mungkin. “Mengapa diperlukan perhitungan-perhitungan navigasi sedangkan pesawat itu sendiri dapat terbang tinggi dan leluasa tanpa ada rintangan bangunan serta dapat diarahkan kemana saja?” Sepintas lalu memang demikian tetapi kenyataan nya setiap penerbangan selalu dihadapkan kepada macam-macam pengaruh baik dari dalam maupun dari luar pesawat itu sendiri.
Macam-macam pengaruh tersebut antara lain dapat kita beda-bedakan:
- Angin : Di alam semesta ini selalu terjadi proses yang menuju keseimbangan akibat dari peredaran bumi mengelilingi matahari dan perputaran bumi itu sendiri serta susunan bumi maka terjadilah perbedaan tekanan serta suhu udara tiap tempat.
- Cuaca : Pemanasan matahari mengakibatkan penguapan , pencairan , pembekuan dan lain-lain nya yang selanjut nya terjadilah pedut , awan , hujan , salju (dalam istilah) meteo hal ini dinamakan precipitation yang mempengaruhi terhadap penerbangan (daya penglihatan berkurang dan dapat membahayakan).
- Kemampuan pesawat : kemampuan teknis pesawat misalnya batas tinggi , batas jarak , batas kecepatan , keadaan peralatan dan sebagai nya sangat mempengaruhi juga , karena apapun usaha manusia selalu mengalami batas-batas tertentu dalam menghadapi kejadian-kejadian alam semesta.
- Awak pesawat : Inipun memegang peranan penting . skill,ketelitian , ketekunan dan sifat tidak sembrono (careless) adalah merupakan syarat yang harus dimilikinya disamping team work dan crew coordination yang baik.
Itulah antara lain empat pengaruh pokok yang langsung berhubungan dengan penerbangan pada umum nya dan navigasi pada khusus nya.
Selanjut nya bagaimana cara untuk mengatasi pengaruh tersebut, pada hakekat nya navigasi itu mempunyai empat cabang pengetahuan / cara yang dalam praktek nya satu dan lain nya hampir selalu dipergunakan bersama-sama atau secara tergabung.

Empat macam cara navigasi :
1. Dead reckoning navigation (disingkat DR) adalah pengetahuan navigasi yang mempergunakan cara-cara menentukan posisi setiap waktu dalam penerbangan dengan perhitungan-perhitungan dari posisi , waktu ,arah kecepatan dan angin yang sesungguh nya telah dilampaui.
Jadi DR navigation ini ialah berdasarkan pertimbangan dan perhitungan dari hasil observasi navigasi yang telah didapat terlebih dahulu meliputi posisi,waktu,arah,kecepatan dan angin pada waktu yang baru lalu.
2. Pilotage atau contact navigation : adalah cara bernavigasi dengan mempergunakan / mengikuti langsung tanda-tanda di darat, misal nya dari titik di darat ke titik yang lain yang dapat di lihat / dikenal mata telanjang (visually).
Lebih mudah akan tetapi tetap memerlukan ketelitian dalam membaca peta.
3. Electronic navigation : ialah pengetahuan navigasi yang menggunakan cara menentukan posisi pesawat serta keterangan navigasi lain nya setiap waktu dengan perantara alat-alat electronis, missal nya radio,radar dan sebagai nya.
Dengan cara ini pekerjaan navigasi dapat dipermudah dengan ketepatan dan ketelitian yang lebih sempurna.
4. Celestrial navigation : Pengetahuan navigasi yang mempergunakancara untuk menentukan posisisi pesawat setiap waktu dengan perhitungan-perhitungan berdasar ilmu peredaran benda-benda celestial misalnya bumi,bintang-bintang,planet-planet,matahari,bulan.
Cara ini adalah yang paling sibuk dibanding dengan cara lain. Didalam perhitungan-perhitungan diperlukan beberapa macam tabel lengkap dan up to date,serta ketepatan dan ketelitian pengukuran sebesar-besarnya. Memerlukan waktu agak lama ( untuk mendapatkan satu posisi memerlukan 10 sampai 15 menit), benda-benda celestial yang di maksud harus dapat di lihat dengan nyata tidak tertutup awan , disamping itu keadaan terbang harus mulus tidak tergoncang-goncang.

Jadi pokok nya ada 4 macam cara navigasi yang masing-masing cara pada hakekat nya sesuai keadaan nya tergantung dari prinsip yang dipakai. Perlu diingat bahwa keempat cara tersebut akan memberikan hasil yang besar kalau satu dan lain nya digunakan secara kombinasi tergantung dari keadaan / fasilitas yang ada baik di darat maupun di pesawat itu sendiri.

Beberapa contoh untuk menentukan posisi ialah :
- Secara koordinat: Lintang (latitude) Utara/Selatan dalam derajat dan menit kemudian di susul dengan bujur (longitude) Timur atau Barat dalam derajat dan menit.
- Menyebutkan nama tempat : Apabila tempat yang akan dipergunakan tersebut dikenal oleh umum atau yang bersangkutan , misalnya “X” P Bawean ,Nusabarong , Cirebon dan sebagainya.
- Menyatakan arah dan jarak dari suatu titik / tempat yang mudah dikenal misalnya “X” 045 P.Adam 25 NM artinya posisi “X” diukur dari P.Adam dengan arah 045 dan jarak nya 25 NM.
- Koordinat berhuruf : Sebagai ganti angka derajat dari latitude dan longitude adalah diganti dengan huruf-huruf yang sifat nya dapat dirubah sesuai dengan kepentingan yang bersangkutan, misalnya derajat latitude diganti dengan huruf BC,BD,BE dan seterusnya sedang derajat longitude diganti dengan huruf-huruf lain misalnya PK,PL,PM dan seterusnya. Yang penting huruf-huruf penggganti tersebut sudah harus diketahui oleh yang bersangkutan.
- Arah ( direction ) Adalah posisi suatu titikdari titik lain yang terpisah dengan tidak melihat jaraknya.
Arah dinyatakan secara 2 marta (dimension)atau 3 marta , misalnya kota X letak nya disebelah timur kota Y (secara 2 marta) atau pesawat X dari kita arah nya utara dan 20 derajat dari horizon. Kalau kita menggunakan derajat arah maka hal tersebut tidak berderajat sudut akan tetapi adalah jarak sudut nya atau busur nya.
Sifat arah ini dalam navigasi ada bermacam-macam tergantung dari titik atau garis apa yang dipergunakan sebagai petunjuk / perantaranya.
• Kalau penunjuknya Utara benar (true north) atau geographical north arah tersebut dinamakan “arah benar” (True Direction).
• Kalau penunjuk nya Utara Magnetic disebut “arah magnetis” (Magnetic Direction)
• Kalau arah tersebut sesuai dengan kompas disebut “arah kompas” (Compas Direction).

Istilah “arah “ tersebut berlainan artinya dengan istilah arah pesawat ataupun istilah arah tujuan .
- Heading: adalah arah horizontal kemana “as bujur” pesawat dihadapkan .
Heading terdiri dari :
• Compas heading
• Magnetic heading
• True heading.
- Course adalah arah horizontal sesuatu penerbangan yang direncanakan di peta. Kadang – kadang disebut juga dengan “ Required track” yang artinya sama. Yang harus di ingat bahwa pengaruh angin maka required track atau course ini dalam kenyataan nya tidak selalu sama bahkan sering kali tidak sama dengan “track”arah penerbangan sesungguh nya dengan perantaraan permukaan bumi.
- Bearing adalah horizontal suatu titik di bumi dari titik lain dan diukur mulai derajat 0 searah dengan perputaran jarum jam sampai 360 derajat.