Selasa, 24 Juni 2008

THE AGE OF UNREASON - Realitas Kehidupan Berbangsa

Era globalisasi adalah masa kini dan masa depan Indonesia Baru … Sulit menggambarkan dengan kata-kata yang tepat tentang era yang belum menentu, “ the Age of Unreason”. Yang jelas pergantian abad akan menjadi tonggak dan pelajaran yang sangat mahal bagi generasi kini dan yang akan datang. Peristiwa demi peristiwa telah terjadi, Gembira, sedih , duka nestapa berbaur. Gembira, karena akhirnya kita mendapatkan kesempatan dan belajar untuk berdemokrasi yang memberikan dampak sangat luas bagi kehidupan berpolitik, yang sebenarnya kita belum siap.
Disisi lain kehidupan ekonomi sangat rapuh, tercermin pada kondisi : tidak kuatnya sektor riel kita yang tidak berlandaskan pada resource base dan tidak berpihak kepada skala usaha kecil dan menengah; lebih mengutamakan projek yang bermuatan foreign content dibandingkan local content; Asymetri informasi, monopolistik, sentralistik, ketidakseimbangan keuangan pusat dan daerah memperparah terjadinya ke-gagalan pasar. Harapan dan kenyataan adanya Good governance, supremasi hukum hanyalah impian belaka seakan tak mampu dan ketidakberdayaan telah demikian beratnya sehingga antara das sollen und das sein menjadikan kita utopis belaka. Era globalisasi, era informasi atau apapun namanya , yang paling nyata akan kita hadapi adalah kondisidan permasalahan nasional yang sangat berat, merupakan tantangan dan harapan bagi Indonesia yang berpopulasi lebih dari 200 juta , untuk dapat keluar dari krisis, dengan segala daya , upaya, pengerahan potensi dan keunggulan komparatifnya.
Dunia Iptek dan kebijakan teknologi yang demikian gegap gempita, sekali lagi karena tidak berpijak pada resource base, industri skala kecil dan menengah mengakibatkan sektor riel tidak berdaya. Apalagi sektor non riel yang seharusnya mengutamakan kekuatan etika dan moral di dalam pengelolaan dunia perbankan sama sekali ditinggalkan, yang akibatnya menyebabkan krisis kepercayaan. Ketidakberpihakan kepada ekonomi rakyat, penguasaan asset sumber daya alam dan asset nasional hanya oleh beberapa gelintir orang membuat sulitnya mengukur angka pertumbuhan yang benar-benar riel dan menyebabkan pula penyimpangan terhadap teori ekonomi pembangunan yang di adop dan dibiaskan, sehingga gap yang terjadi adalah poverti/kemiskinan meningkat, kesenjangan pusat dan daerah, meninggalkan banyak pekerjaan rumah dan tanggung jawab moral bagi para saintis, teknolog dan teknokrat, ekonom, sosiolog bahkan praktisi hukum sekalipun.
Dunia politik demikian semaraknya, dengan semangat reformasi, telah pula memberikan dampak sampingan selain akibat pendekatan sentralistik yang telah terkooptasi menyebabkan benih-benih disintegrasi bangsa, bahkan meniup angin dan menabur pecahan hingga bias sinar langit yang terlampau terang sehingga menyilaukan rakyat yang didepannya masih banyak belum dapat dituntaskan, masih banyak yang dibalik semua itu, padahal dan padahal masih belum jelas cara penyelesaiannya.
Sosial dan budaya terjadi krisis moral dan akhlak di semua lapisan masyarakat, lebih menyedihkan lagi generasi muda yang diharapkan sebagai pewaris bangsa terkontaminasi budaya tawuran dan konsumen narkoba. Akibat kemiskinan dan kekurangan gizi yang paling men- cemaskan adalah kita kehilangan satu generasi tanpa daya saing dan daya nalar di era globalisasi yang diharapkan mempunyai daya saing dan keunggulan komparatif.

Tidak ada komentar: