Minggu, 04 Mei 2008

PROCEDURE INTERCEPTION OF CIVIL AIRCRAFT DALAM MENJAGA KEDAULATAN DAN KEAMANAN DI WILAYAH RUANG UDARA INDONESIA

Setiap negara memiliki panduan/aturan dalam melaksanakan penerbangannya. Hal ini dimaksudkan untuk membantu baik bagi pilot dalam membawa pesawatnya maupun operator penerbangan dalam melayani suatu penerbangan. Panduan/aturan penerbangan tersebut terdapat dalam AIP yang dimiliki oleh setiap bandar udara baik sipil maupun militer.
Namun prosedur terhadap pesawat sipil dan militer tentunya ada beberapa hal khusus yang berbeda berkaitan dengan fungsi dan tugas dari pesawat tersebut yaitu untuk pesawat sipil berfungsi sebagai pengangkut massal atau cargo dan pesawat militer khususnya pesawat tempur berfungsi sebagai alat keamanan negara dalam menangani gangguan keamanan di udara untuk menjaga kedaulatan negara.
Berdasarkan topik yang penulis sampaikan dalam tulisan ini yaitu mengenai interception of civil aircraft, pesawat militer mempunyai prosedur khusus dalam penanganannya yang melibatkan pesawat sipil.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas tentunya harus ada kesamaan prosedur antara sipil dan militer tentang interception of civil aircraft sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilaksanakan tanpa adanya kesalahpahaman antara sipil dan militer.
Penegakkan hukum adalah merupakan bagian dari upaya pertahankan kedaulatan negara. Sebagai negara yang berdaulat, pemerintah Indonesia menetapkan seperangkat aturan hukum untuk mengatur, mengendalikan dan menegakkan hukum di wilayah udara yang berada dibawah yuridiksi Indonesia.
Dalam penetapan perangkat hukum tersebut selain berpedoman pada kepentingan nasional bangsa Indonesia, juga memperhatikan kaidah yang diatur dalam hukum internasional.
Institusi yang berwenang sebagai penegak kedaulatan udara adalah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Hal itu tertuang dalam Undang-Undang no. 20 tahun 1982 tentang pokok-pokok pertahanan dan keamanan (hankam), pada pasal 30 ayat 3 disebutkan bahwa TNI-AU bertugas selalu penegak kedaulatan di udara dan mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara nasional.
Tugas TNI-AU selain menangkal gangguan hankam juga mencegah dan menegakkan kedaulatan udara dalam arti menjaga dan mempertahankan agar diseluruh wilayah udara Indoensia tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan kepentingan nasional negara RI.
TNI-Angkatan Udara dalam upaya penegakan kedaulatan wilayah udara RI, implementasinya mengacu pada peraturan-peraturan Hukum Nasional dan Internasional.
a. Pengamatan (Observation) dan pengintaian (Surveillance).
Dalam melaksanakan pengamatan maupun pengintaian perlu memperhatikan kententuan-ketentuan hukum nasional maupun internasional.
b Tindakan pengintaian dengan menggunakan pesawat udara dimana pengintaian tersebut dilakukan sewaktu terbang melintas di wilayah udara nasional negara lain merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum terhadap negara lain yang dilintasi tersebut.
c. Tindakan pengintaian dari udara yang dilakukan dari luar wilayah kedaulatan suatu negara yang diamati, bukan merupakan bentuk pelanggaraan, demikian pula pengintaian melalui satelit melalui ruang angkasa
Terhadap pesawat udara tersebut tidak bisa dilakukan suatu tindakan tertentu namun apabila pesawat pengintai telah melakukan suatu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai ‘niat permusuhan’ (Hostile Intent) maka dapat dilakukan tindakan tertentu sesuai dengan hukum dan prosedur berlaku.
TNI-Angkatan Udara dapat melakukan pengamatan terhadap kapal perang maupun pesawat udara asing yang mencurigakan.
a. Terhadap kapal laut asing yang sedang melakukan pelayaran lintas damai (Innocent Passage) di wilayah perairan RI, dapat dibenarkan dengan cara.
1) Melakukan terbang pembayangan (Shadowing) dari kedua sisi kapal tersebut.
2) Jarak pembayangan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tafsiran oleh kapal asing tersebut. Seolah –olah akan diserang (Simulation to Attack).
3) Tidak melakukan gerakan (manuver), yang bisa ditafsirkan sebagai simulaton to attack.
4) Tidak melakukan terbang melintas diatas kapal tersebut.
b. Terhadap kapal perang asing di wilayah ZEE dan laut bebas:
Pembayangan dapat dibenarkan apabila ada alasan yang kuat yang berkaitan dengan keamanan nasional (National Security)
Adapun prosedur pembayangan (shadowing) dilakukan dengan cara sebagaimana pembayangan terhadap kapal asing yang sedang melakukan pelayaran lintas damai di perairan nasional.
c. Terhadap pesawat militer asing.
Pembayangan terhadap pesawat udara militer asing, baik yang lewat di ruang udara nasional, diatas ZEE maupun di laut bebas, diperbolehkan apabila ada alasan-alasan yang berkaitan dengan Keamanan Nasional (National Security), dengan cara pembayarang (shadowing) dalam jarak yang tidak membahayakan keselamatan penerbangan masing-masing pesawat, serta tidak melakukan gerakan (manuver) yang bisa ditafsirkan sebagai simulation to attack.
Tindakan pesawat militer RI terhadap ancaman dari udara sebagai berikut :
a. Pelanggaran wilayah udara (Aerial Intrusion).
Pesawat terbang asing yang memasuki wilayah udara nasional tanpa ijin disebut sebagai pelanggaran wilayah udara.
Masuknya pesawat udara asing ke wilayah udara nasional tanpa ijin, ada yang disengaja misalnya penerbangan gelap (black flight) untuk maksud-maksud tertentu dan ada pula yang tidak disengaja misalnya tersesat (aircraft in distress).
Pesawat udara militer RI dapat mengambil tindakan tertentu terhadap pesawat udara asing yang melakukan aerial intrusion. Berat atau ringannya tindakan yang akan dilakukan oleh pesawat militer RI tergantung dari prediksi (ramalan) ancaman yang mungkin timbul.
Apabila pelanggaran wilayah udara ini dilakukan oleh pesawat udara sipil, maka tindakan hukum atau intersepsi harus mengacu pada Konvensi Chicago 1944, terutama Article 3 bis.
Apabila pesawat udara pada memasuki wilayah udara nasional Indonesia dalam keadaan tersesat (in distress). Penanganannya didasarkan pada Konvensi Chicago 1944 Article 25 antara lain berupa tindakan reaksi yang dilakukan berdasarkan prosedur operasi yang ditetapkan oleh TNI.
Tahap awal adalah dengan cara “Shadowing” yang merupakan upaya untuk indentifikasi. Dalam fase ini ada kemungkinan untuk menggiring/mengalau pesawat udara musuh (hostile aircraft) untuk keluar dari wilayah RI. Alternatif lain dapat dilakukan intersepsi dan diperintahkan “Force Down” untuk kepentingan investigasi dan proses hukum.
Apabila tahapan-tahapan tersebut tidak dipatuhi oleh pesawat asing tersebut, bahkan justru menunjukkan sikap permusuhan (Hostile Act), tahap akhir dapat dilakukan penghancurann dengan persenjataan.
b. Terhadap Bentuk-Bentuk Ancaman Permusuhan.
Bentuk-bentuk ancaman permusuhan oleh negara lain terhadap negara RI adalah kegiatan yang dapat menjurus pada ancaman bagi kedaulatan negara RI.
Ancaman terhadap kedaulatan negara RI tersebut dapat dilakukan oleh pesawat udara asing, baik yang melakukan penerbangan di wilayah yurisdiksi nasional RI maupun diatas wilayah udara bebas (International Air Space).
Kegiatan pesawat udara asing yang mengancam kedaulatan RI dapat dikategorikan dalam 2 (dua) bentuk yaitu: niat permusuhan (Hostile Intent) dan tindakan permusuhan (Hostile Act).
Kegiatan pihak asing yang dapat dikategorikan sebagai niat permusuhan dari wilayah udara adalah sebagai berikut:
1) Pengamatan dan gangguan yang dilakukan didekat wilayah udara nasional;
2) Pengamatan obyek-obyek vital RI baik yang ada diwilayah teritorial, ZEE dan landas kontinen.
3) Pembayangan (shadowing) terhadap pesawat militer atau kapal perang RI dalam jarak dekat yang tidak memenuhi kentuan “Idetification Safety Range” (ISR);
4) Pelanggaran ketentuan lalu lintas udara di kawasan yang menjadi tanggung jawab RI.
5) Pelanggaran dikawasan Air Defence Indentification Zone (ADIZ) yang didirikan oleh negara RI;
6) Pelanggaran wilayah udara yang disengaja (Black Flight).
Terhadap pesawat udara yang dikategorikan sebagai hostile intent, tindakan alternatif yang dapat dilakukan oleh pesawat militer RI adalah:
a. Melakukan pengamatan (obsevasi) secara visual dengan pesawat udara atau secara eletronika;
b. Melakukan pembayangan apabila pesawat udara asing tersebut penerbangannya menyimpang dari jalur yang sudah ditetapkan dan atau selama diatas wilayah yurisdiksi RI penerbangannya mencurigakan. Shadowing tersebut hanya dapat dilakukan sampai batas ZEE RI.
c. Melakukan penghalauan.
Penghalauan ini dilakukan terhadap pesawat udara sipil/militer yang memasuki wilayah udara RI tanpa ijin, dan atau penerbangnnya telah mengganggu keselamatan obyek-obyek vital RI yang berada dibawahnya;
d. Pemaksaan mendarat.
Terhadap pesawat udara sipil/militer asing yang memasuki wialyah udara nasional RI tanpa ijin, namun masih dalam kategori hostile intent, dalam pengertian pesawat udara asing tesebut tidak mengganggu obyek-obyek vital RI, maka pesawat udara tersebut dapat dipaksa untuk mendarat. Kemudian dilakukan investigasi, dilanjutkan penyelidikan untuk proses hukum selanjutnya.
Penembakan atau penghancuran terhadap pesawat itu tidak boleh dilakukan apabila belum terbukti secara kuat melanggar kedaulatan RI.
Alternatif mana yang akan diambil oleh pesawat militer RI tergantung dengan pertimbangan dan prediksi terhadap dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh pesawat asing yang dikategorikan hostile intent tersebut.
Kegiatan pihak asing yang dapat dikategorikan sebagai tindakan permusuhan (hostile act) adalah tindakan yang menggunakan kekuatan dan atau menggunakan sistem senjata yang nyata-nyata mengancam atau melakukan penyerangan langsung terhadap obyek-obyek yang berada dibawah yurisdiksi RI. Tindakan semacam itu tentunya dilakukan oleh bukan pesawat udara sipil biasa.
Sesuai dengan hak untuk mempertahakan diri (the right of self-deference), pihak asing itu (baik oleh pesawat udara militer maupun kapal perang asing), dapat dilakukan perlawanan dan penghancuran.
Hot pursuit merupakan suatu modus dalam penegakkan hukum. Istilah ini didapati dalam UNCLOS III Article 111. Modus ini mulanya dalam rangka penegakan hukum di wilayah laut terhadap kapal perang asing. Namun demikian dalam upaya pertahanan wilayah udara maka hot pursuit dapat dilakukan oleh pesawat-pesawat udara militer. Menurut UNCLOS III Article 111, yang dapat melakukan hot pursuit adalah; kapal perang dan atau pesawat udara militer, atau kapal dan pesawat udara yang secara jelas oleh pemerintah dimana kapal/ pesawat itu terdaftar diberi tanda-tanda khusus sebagai kapal/pesawat udara dalam Dinas Pemerintah (Government Services) yang memiliki wewenang untuk melakukan hot pursuit.
Pesawat Udara Negara (state aircraft) RI selaku alat pertahanan dan keamanan negara (hankam) dapat melakukan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara maupun di wilayah perairan. Tindakan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara mupun di wilayah perairan.
Tindakan hot pursuit pesawat udara asing telah melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan hak-hak negara RI, termasuk hak-hak negara RI, termasuk hak-hak di wilayah yurisdiksi yaitu di zona-zona laut dan udara. Hot pursuit itu, sesuai dengan hukum internasional dapat dilakukan dari laut teritorial hingga ke laut bebas (hight sea). Hot pursuit harus diberhentikan segera apabila kapal laut asing yang dikejar itu telah memasuki wilayah teritorial negaranya sendiri, atau telah memasuki laut teritorial negara ketiga.
Kiranya tindakan pengejaran (hot pursuit) oleh pesawat militer RI terhadap pesawat udara asing yang melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan kedaulatan RI dapat dilakukan mencapai batas-batas wilayah udara sebagaimanan batas-batas yang diperkenankan terhadap kapal laut asing.
Sebagai perwujudan penegakan kedaulatan di udara, maka setiap oknum yang melakuan pelanggaran atau tidak kejahatan di wilayah yuridiksi suatu negera, diberikan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku di negara dimana pelanggaran itu dilakukan.
Bagi negara RI prosedur pemberian sanksi, jika menyangkut perbuatan pidana akan diproses sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu UU No. 8 tahun 1981 dengan sanksi pidana atau denda tertentu. Sedangkan jika menyangkut persoalan perdata akan diselesaikan dengan Hukum Acara Perdata, dengan pembebanan ganti rugi (Liability) sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Contoh kasus – kasus internasional dalam buku Hukum Udara ( Air Law) seri I, Sofyan Sumari, halaman 44 yaitu
a. Kasus Achille Lauro tahun 1985
Salah satu contoh tindakan intersepsi terhadap pesawat terbang sipil di ruang udara internasional adalah kasus kapal pesiar Italian “Achille Lauro” tahun 1985. Pada tanggal 7 Oktober 1985, 4 orang teroris Palestina membajak kapal pesiar bernama Achille Lauro yang sedang berada di perairan internasional lepas pantai Mesir.
Para teroris tersebut menuntut dibebaskannya orang Palestina yang ditahan oleh Israel. Para teroris telah membunuh seorang warga negara USA dan mengancam akan membunuh para penumpang lainnya apabila tuntutannya tidak dipenuhi.
Setelah dilakukan serangkaian negosiasi dengan melibatkan organisasi pembebasan Palestina (PLO) dan Pemerintah Mesir, serta adanya jaminan melewati Mesir dengan aman, para teroris menyerahkan diri kepada Perwakilan PLO di Mesir.
Pada tanggal 11 Oktober 1985, dengan menumpang pesawat Boeing 737 milik Egypt Air, para teroris berangkat dari Mesir menuju Tunisia. Pesawat Eypt Air itu dintersepsi oleh 4 buah pesawat temput F-14 milik USA ketika berada diatas wilayah perairan internasional dan dipaksa mendarat dipangkalan udara NATO di Sicilia, kemudian para teroris ditangkap. Atas kasus tersebut Pemerintah Mesir memprotes bahwa tindakan USA telah melanggar hukum internasional.
Kasus Achille Lauro itu sendiri telah memunculkan perdebatan dikalangan para yuris tentang legalitas mengintersep pesawat udara sipil di ruang udara international.
b. Insiden pesawat USA EP-3E dengan pesawat China F-8
Pada hari Minggu tanggal 1 April 2001 pesawat jet tempur supersonik Jianjiji-8 (F-8) milik China telah bertabrakan dengan pesawat pengintai Turbo Prop EP-3E Aries II milik USA diwilayah udara bebas diatas laut China Selatan, sekitar 130 sebelah Tenggara Pulau Hainan, atau sekitas 19 km diluar teritorial udara China.
Pada hari itu, pesawat EP-3E lepas landas dari pangkalan udara USA Kadena, Okinawa, Jepang, untuk melaksanakan misi terbang rutin patroli dan pengintaian (surveillance) di wilayah udara internasional diatas laut China selatan.
Disekitar wilayah udara pulau Hanian, pesawat diintersep oleh 2 pesawat temput F-8 China. Dalam intersepsi ini antara pesawat USA dan pesawat China bersenggolan, mengakibatkan seorang Pilot temput China Wang Wei hilang tidak diketemukan.
Bagian hidung dan sayap kiri pesawat USA bersenggolan dengan pesawat temput China mengakibatkan hancurnya baling-baling pesawat sebelah kiri pesawat USA. Akibat kerusakan yang diderita pesawt EP-3E, pesawat jatuh sampai 5000 kaki (1500 meter), namun akhirnya dapat mendarat darurat di pulau Hainan Pesawat dan krunya sebanyak 21 pria dan 3 wanita ditahan 11 hari oleh Pemerintah China.
Kru tersebut dilepaskan oleh China setelah Pemerintah China melakukan inspeksi terhadap pesawat EP-3E, serta setelah USA menyampaikan surat permohonan maaf kepada Pemerintah China. Pesawat F-8 milik China satu diantaranya yang dikemudikan oleh Wang Wei, pecah dan jatuh ke laut, Wang Wei sendiri hilang tidak diketemukan.
1) Versi USA
Menurut versi USA, pesawat F-8 terbang dalam jarak 2 atau 3 kaki (sekitar 90 cm) dari pesawat EP-3E sebelum ekor F-8 menyenggol sayap kiri EP-3E, akibat senggolan ini membuat F-8 membelok ke kanan sehingga menghantam hidung EP-3E. Pemerintah USA mengatakan bahwa insiden itu terjadi disekitar 130 km di luar tertorial negara China (ruang udara bebas)
2) Versi China
Kedua pesawat China F-8 terbang disebelah kiri dari pesawat EP-3E, pesawat yang dikemudikan oleh Wang Wei berada yang paling dekat dengan pesawat EP-3E, dalam jarak kurang lebih 400 m. dalam intersepsi tersebut tiba-tiba pesawat USA membelok kekiri dan menabrak pesawat F-8 yang dikemudikan oleh Wang Wei. Hidung pesawat USA menabrak badan pesawat F-8, sedangkan baling-balingnya menabrak ekor pesawat F-8, mengakibatkan pesawat China tidak terkendali dan jatuh ke laut.
Menurut saksi mata, yaitu Zao Yu, pilot pesawat F-8 lainnya mengatakan bahwa pesawat Wang Wei tidak mungkin menghindar sebab tiba-tiba saja baling-baling sayap sebelah kiri pesawat USA mengenai bagian ekor pesawat yang dkimudikan oleh Wang Wei. Pemerintah China mengatakan bahwa insiden tersebut terjadi di Zona ekonomi 200 mil lepas pantai dari China.
Mencermati apa yang dikemukakan oleh USA maupun China, mereka bermaksud menjelaskan kepada dunia luar, bahwa pihaknya menurut versinya masing-masing tidak melanggar kaidah hukum internasional.
Justifikasi atau alasan pembenaran yang dapat dijadikan dasar hukum internasional untuk melakukan tindakan hukum terhadap pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan di raung udara internasional adalah hak untuk pertahanan diri (the right of Self Defence), sebagaimana dimuat dalam Piagam PBB (UN Charte Article 51)
Article 51 itu menyebutkan
Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individualor collective self-defence if an arment attack occurs againts a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-sefence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authorty and responsibility ot the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security..

Menurut hukum internasional, suatu negara dapat melakukan tindakan hukum dengan alasan “the Right of Self-Defence”, apabila:
a. Teritorialnya, kapal atau pesawat udara berkebangsaan dari negaranya berada dalam ancaman atau diserang:
b. Tindakan terpaksa diambil karena situasi diambil karena situasi sedemikian rupa sehingga tidak ada tindakan alternatif.
c. Tindakan yang diambil tidaklah berlebihan (disproporsional) dibanding dengan ancaman/bahaya yang dihadapi.
Disamping itu ada beberapa justifikasi yang lain, meskipun justifikasi berikut ini kurang kuat, yaitu:
a. Tindakan antisipasi sebagai pertahanan diri terhadap teroris
b. Tindakan balasan disebabkan karena kondisi yang tidak memuaskan atas negara lain yang telah melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban internasional;
c. Intersepsi atau pengalihan arah terhadap pesawat udara yang leintas di wilayah ADIZ disebabkan pesawat tersebut tidak menunjukkan indentitasnya;
d. Pengejaran (hot pursuit) terhadap pesawat udara yang melarikan diri dari wilayah yurisdiksinya;
e. Tindakan yang dipandang perlu untuk mencegah pembajakn
f. Diwilayah internasional yang secara temporer sedang ditetapkan sebagai zona militer, misalnya sedang untuk latihan perang atau uji coba senjata.

Tidak ada komentar: