Minggu, 20 April 2008

WACANA KOMERSIALITAS DAN PRIFATISASI PERGURUAN TINGGI KEDINASAN

Latar Isu
Isu komersialisasi dan privatisasi Pendidikan Tinggi (PT) terutama Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) negeri kini kembali hangat dibicarakan, sebagai respons tuntutan publik. Walaupun sebenarnya masalah tersebut telah berhembus beberapa tahun lalu ketika beberapa PTK menyiasati otonominya dengan berbagai macam cara yang dinilai kontroversial. Beberapa PTK, misalnya, membuka jalur khusus dalam sistem rekruitmen peserta didik yakni jalur khusus dibuka bagi peserta didik yang secara finansial mampu sehingga menjadi perdebatan karena dianggap diskriminatif serta mengurangi jatah calon peserta didik lainnya yang kurang mampu. Ada lagi yang mencoba memanfaatkan aset perguruan tinggi untuk mencari sumber pembiayaan, yang kemudian dituduh hanya memikirkan bisnis daripada mutu pendidikan itu sendiri. Sementara itu diharapkan PTK sebagai ujung tombak kemandirian bangsa. Lalu, bagaimana kita mesti mensikapi situasi ini ?
Dilema Manajemen Pendidikan Tinggi Kedinasan (PTK)
PTK saat ini dalam suasana dilematis, kebijakan pemerintah untuk memberikan otonomi dilakukan setengah hati karena perubahan tidak didukung dengan perundang-undangan yang kondusif. Sementara ini perubahan tidak dilengkapi dengan kebijakan anggaran dan pengelolaan asset yang memadai dan penggunaan sistem penganggaran yang lama membawa implikasi pada terjadinya ketidak harmonisan perubahan program akademik dengan pendukungnya sehingga ditakutkan dapat berdampak pada naiknya biaya pendidikan dan tidak berdampak pada kesejahteraan dosen, pegawai dan stake holders . Keadaan tersebut dapat diperparah, apabila semangat berlebihan untuk melakukan perubahan tidak didukung oleh kapasitas manajemen perubahan, kondisi keuangan dan peraturan pemerintah yang belum kondusif.
Otonomi PTK dan Pembangunan Bangsa
Melihat perjalanan PTK sampai sekarang ini, maka otonomi pendidikan yang kini diwacanakan beberapa PTK terkemuka dan berdampak pada munculnya isu komersialisasi nampaknya perlu redifinisi. Pertama, otonomi dilakukan dengan tetap mengacu pada misi PTK untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga tidak diskriminatif terhadap calon-calon peserta didik. Setiap calon peserta didik memiliki hak yang sama berdasarkan kemampuan akademik untuk memasuki PTK. Pemerintah tetap harus memiliki peran penting dalam pendidikan sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kedua, otonomi mesti lebih dimaknai sebagai keleluasaan dalam pengelolaan keuangan, asset, sumberdaya manusia sehingga PTK dapat mengembangkan kemampuan PT untuk mendesain kurikulum pendidikan, pengembangan riset unggulan yang mampu menghasilkan pendapatan, serta memberi kontribusi terhadap pembangunan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Otonomi ini sekaligus dapat memperluas ruang untuk meningkatkan kompetensi global yang berarti memiliki daya saing terhadap perguruan tinggi terbaik di luar negeri sehingga PT menjadi world class university/ institute. Otonomi juga dapat menjadi pintu bagi PTK untuk terus kreatif dan inovatif dalam menjawab berbagai persoalan bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, daya saing, dan seterusnya.
Agar peran PTK tersebut dapat berjalan maka diperlukan peraturan perundang-undangan yang kuat sesuai dengan tujuan PTK. Adanya fleksibilitas pendanaan menjadi sangat penting, Departemen-Departemen dan Lembaga terkait harus segera membangun sinergi kebijakan untuk mencari terobosan demi kemajuan pendidikan tinggi. Isu komersialisasi pendidikan harusnya dapat ditepis oleh PTK apabila dapat membuktikan perannya dalam mencerdaskan bangsa secara lebih merata serta mampu melakukan transformasi budaya luhur karena kompetensinya sebagai “laboratorium budaya”. Pendidikan Tinggi Kedinasan merupakan salah satu terminal akhir proses pembentukan karakter putra bangsa. Sebagai sebuah “laboratorium”, PTK mesti konsisten yang berarti sepak terjangnya harus memperhatikan dampaknya terhadap kultur akademik dan karakter moral peserta didik nya. Isu komersialisasi saat ini mengisyaratkan sepak terjang PTK telah tereduksi hanya kepada kepentingan ekonomi yang tentu akan melemahkan fungsinya sebagai “laboratorium budaya”.
Namun demikian upaya di atas tersebut bukanlah semata tugas PTK yang bersangkutan, tetapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah dan public sebagai social control. Ada beberapa langkah yang perlu diambil pemerintah. Pertama, aspek legal perlu diselesaikan sehingga penyelenggaraan pendidikan PTK memiliki basis yang kuat dan didukung oleh segenap komponen bangsa. Kedua, block grant anggaran dari pemerintah masih sangat diperlukan PTK untuk membiayai kegiatan operasional pendidikan. Namun demikian persoalannya adalah bahwa ada kesenjangan antara program dan anggaran. Program yang dibuat Depdiknas dan Departemen Teknis terkait dan kebijakan Depkeu tidak nyambung, diharapkan peran pemerintah untuk tidak saja berjuang dalam mewujudkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, tetapi mewujudkan koherensi antara program dan anggaran, serta koordinasi dengan departemen dan lembaga terkait sehingga peningkatan mutu Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) dapat berjalan dengan baik.
Prinsip-prinsip PTK yang berkeadilan, bersifat nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, serta non-diskriminatif masih bersifat normatif dan kurang terdefinisikan dalam substansi aturan secara eksplisit. Padahal aspek tersebut penting untuk menjamin bahwa PTK benar-benar menjalankan misinya sebagai garda terdepan pendidikan pemimpin bangsa yang mampu mengantarkan kemakmuran bagi rakyatnya.

Tidak ada komentar: