“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta pertanggung jawab “
UURI NO 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Sesuai dengan amanat yang digariskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang salah satunya adalah mencapai suatu masyarakat adil dan makmur yang merata baik jasmani maupun rohani maka pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Salah satu bidang yang memberikan kontribusi yang besar adalah pembangunan transportasi yang terdiri dari transportasi darat, laut dan udara sebagai bagian dari Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS).
Pada abad modern ini perkembangan di bidang transportasi udara sangat pesat, hal ini dikarenakan transportasi udara banyak diminati oleh masyarakat umum dimana pengguna sarana transportasi udara menghendaki kecepatan waktu untuk sampai ke tujuan. Tentunya selain faktor kecepatan, faktor keamanan dan keselamatan merupakan prioritas utama dalam menggunakan sarana transportasi udara.
Seiring pula dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, diikuti pula oleh dunia transportasi udara, dari perkembangan teknologi pesawat terbang hingga pada penyediaan jasa kebandarudaraan. Realitas dari kondisi tersebut kemudian mengakibatkan desakan akan perkembangan teknologi industri penerbangan yang dituntut pula untuk dapat menyesuaikan diri dengan tujuan transportasi penerbangan itu sendiri.
Dalam rangka pemenuhan tuntutan-tuntutan tersebut penyediaan sumber dayamanusia pendukung system transportasi nasional bidang penerbangan menjadi suatu hal yang mutlak perlu dilakukan. Penyediaan sumber daya manusia yang unggul dengan sertifikasi kecakapan tingkat nasional maupun internasional merupakan persyaratan penting dalam rangka pembangunan transportasi nasional yang kuat.
Dalam hal penyiapan sumber daya manusia bidang penerbangan terdapat standar internasional dari International Civil Aviation Organization (ICAO) sebagaimana disebutkan dalam Standard and Recommended Practices Annex 1 Personal Licensing maupun standard nasional dari Direktorat Perhubungan Udara Departemen Perhubungan sebagai otoritas penerbangan sipil nasional sebagaimana disebukan dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 142 Certification And Operating Requirements For Training Centers, mewajibkan setiap awak, teknisi, administrasi dan manajemen penerbangan untuk memiliki Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating.
Dalam hal penyiapan sumber daya manusia bidang penerbangan dengan kualifikasi memperoleh Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating tersebut diperlukan bentuk pendidikan dengan karakteristik khusus mengingat dalam perkembangnya, pendidikan nasional di Indonesia per tanggal 8 Juli 2003 telah disahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut mengatur kerangka kebijakan dan panduan garis besar pelaksanaan system pendidikan nasional di Indonesia
Penyiapan sumber daya manusia bidang penerbangan dengan kualifikasi Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating bagi setiap awak, teknisi, administrasi dan manajemen penerbangan di Indonesia selama ini dilaksanakan oleh penyelenggara pendidkan baik pemerintah maupun swasta pada sector pendidikan formal tingkat menengah maupun tinggimaupun pendidikan non formal.
Pada sector pendidikan tinggi terdapat Perguruan Tinggi Negeri di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasioanl dan Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah pembinaan Departemen Perhubungan, maupun Perguruan Tinggi Swasta .
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia merupakan salah satu Perguran Tinggi Kedinasan di bawah pembinaan di bawah pembinaan Departemen Perhubungan memiliki visi melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan lulusan yang diakui baik secara nasional maupun internasional untuk menuju pusat unggulan (centre of excellence) yang berstandar internasional, dan misinya yaitu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta penelitian teknologi terapan dalam bidang penerbangan dalam rangka mencerdaskan bangsa dengan menciptakan sumber daya manusia yang memiliki iman dan taqwa, berkualitas internasional, mampu bersaing, mandiri dan profesional.
Dalam perkembangnnya Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia telah mengalami metamorfosis bentuk dan organisasi selama beberapa kali hingga pada tanggal 10 Maret 2000 telah keluar Keputusan Presiden No 43 tentang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) yang menyatakan bahwa STPI adalah Perguruan Tinggi Kedinasan di lingkungan Departemen Perhubungan yang mempunyai tugas menyelenggarakan program pendidikan profesional Dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan Diploma I sampai IV serta kursus-kursus kecakapan di bidang penerbangan. Sebagai tindak lanjut dari Kepres 43 tahun 2000 tersebut pada tanggal 21 Agustus 2000 telah diterbitkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor 64 tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia. Proses perubahan/ penyesuaian- penyesuaian/ pembenahan menjadi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia yang meliputi kelembagaan (pengisian jabatan dan relokasi kantor) sudah tuntas dilaksanakan sedangkan pembenahan sistem administrasi dan peraturan- peraturan STPI senantiasa dilaksanakan.
Hingga saat ini Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia telah menghasilkan lulusan yang mengisi lebih dari 70 % lapangan kerja yang merupakan awak, teknisi, administrasi dan manajemen bidang penerbangan di Indoneia. Bahkan telah pula meluluskan kelas internasional. Seluruh lulusan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia merupakan personil penerbangan dengan kualifikasi memiliki Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating yang dapat diakui secara nasional maupun internasional.
Sejalan dengan refomasi di bidang pendidikan nasional pasca pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. pada tanggal 8 Juli 2003 muncul wacana publik yang menggugat eksistensi perguruan tinggi kedinasan dengan isu Perguruan Tinggi Kedinasan tidak berhak untuk menyelenggarakan program pendidikan tingkat Diploma dan, atau tingkat Sarjana. Isu ini lebih berkembang lagi dengan munculnya wacana yang mengasumsikan bahwa perguruan tinggi kedinasan hanya diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi. Pendidikan profesi ini jamaknya merupakan pendidikan pasca sarjana atau tungkat spesialis untuk kekhususan penguasaan profesi tertentu.
Isu lain adalah ketidakmampuan pemerintah pusat dalam memenuhi persyaratan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di lain sisi Perguruan Tinggi Kedinasan ternyata memperoleh porsi pembiayaan dengan nilai yang relatif besar mendorong adanya kecenderungan publik untuk berpendapat bahwa pemerintah tidak berlaku adil kepada penyelenggara pendidikan, khususnya terhadap Perguruan Tinggi Negeri dan Swata dalam hal bantuan (subsidi) pemerintah akan pembiayaan operasional pendidikannya..
Berkembangnya wacana publik tersebut layaknya perlu mendapat perhatian yang proporsional sehingga berbagai kepentingan nasional baik pandangan pemerintah pusat, publik pendidikan nasional, kalangan professional penerbangan, masyarakat dan stake holder lainnya dapat terwadahi dalam kerangka acuan yang dapat diterima secara luas.
UURI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Dan Perguruan Tinggi Kedinasan
Bagian Kedelapan UURI Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 29 mengatur tentang Pendidikan Kedinasan. Terdapat 3 ayat, yaitu :
(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselengarakan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan ayat (3) di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari uraian ayat demi ayat jika kita mensikapi dengan kaca mata kuda, seolah-olah wacana publik yang menggugat eksistensi perguruan tinggi kedinasan dengan isu Perguruan Tinggi Kedinasan tidak berhak untuk menyelenggarakan program pendidikan tingkat Diploma dan, atau tingkat Sarjana, serta mengasumsikan bahwa perguruan tinggi kedinasan hanya diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi yang merupakan pendidikan pasca sarjana atau tungkat spesialis untuk kekhususan penguasaan profesi tertentu seolah dapat diterima. Namun ketika kita melihat Pasal 29 ayat (3) Pendidikan kedinasan diselengarakan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, hal tersebut perlu untuk dikaji ulang. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 (11) menyatakan bahwa Pendidikan formal adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang tediri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pasal 14 Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 19 ayat (1) menyatakan Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, spesialis, dan Doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Dari uraian pasal demi pasal serta ayat demi ayat di atas dapat kiranya diarahkan bahwa perguruan tinggi kedinasan berhak pula untuk menyelenggarakan program pendidikan tinggi setingkat dengan program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, sesialis, dan Doktor. Pernyataan ini dapat dijadikan rujukan dalam menggugurkan pandangan publik bahwa Perguruan Tinggi Kedinasan tidak berhak untuk menyelenggarakan program pendidikan tingkat Diploma dan, atau tingkat Sarjana, serta isu perguruan tinggi kedinasan hanya diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi yang merupakan pendidikan pasca sarjana atau tungkat spesialis untuk kekhususan penguasaan profesi tertentu.
Terhadap pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen, dapat disikapi bahwa dalam pandangan praktis dan realistis ternyata di republik ini masih banyak profesi dengan kekhususan tertentu misalnya air traffic control, pengamat cuaca dan gunung berapi dan lain lain, dimana pada profesi ini belum dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta di Indonesia dengan pertimbangan biaya pendidikan yang tinggi, tingginya investasi operasionalisasi serta penyediaan infra dan supra struktur pendidikan, spesifiknya segmen dan peminat peserta didik dan lain lain . Di lain sisi profesi tersebut segaian besar terwadahi oleh pemerintah melalui jalur pekerjaan di pegawai negeri. Sedangkan hanya sebagian kecil saja yang dapat di tampung pada jalur non pegawai negeri/ BUMN/ swasta. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan bagi peserta pendidikan dengan kepeminatan disiplin ilmu pada Perguruan Tinggi Kedinasan pada jalur non pegawai negeri/ BUMN/ swasta tentunya hal yang perlu dipertimbangkan dalam kerangka pikir setiap warga negara adalah sama dan berhak mendapatkan pendidikan, serta unsur pegawai pada jalur non pegawai negeri/ BUMN/ swasta merupakan pula aset negara yang perlu dikembangkan dalam rangka ikut serta mendukung pembangunan nasional berbasis pada penguatan sumber daya manusia. Atas dasar itu ayat ini menjadi ayat yang layak untuk diperdebatkan dalam kerangka akademis maupun praktis.
Mensikapi kecenderungan publik yang berpendapat bahwa pemerintah tidak berlaku adil kepada penyelenggara pendidikan, khususnya terhadap Perguruan Tinggi Negeri dan Swata dalam hal bantuan (subsidi) pemerintah akan pembiayaan operasional pendidikannya, terkait dengan persyaratan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan Perguruan Tinggi Kedinasan ternyata memperoleh porsi pembiayaan dengan nilai yang relatif besar dari departemen maupun lembaga pemerintah non departemen yang membinanya. Isu ini dapat disikapi dengan mengemukakan bagian keepat Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 ayat (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20 % dari Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD).
Dari uraian ayat di atas dapat ditelaah bahwa terdapat posting transaksi yang berbeda antara pendidikan kedinasan dan pendidikan non kedinasan. Rasio anggaran 20 % adalah sangat besar dan akan sangat bermakna dalam membangun system pendidikan nasional kita, ketika dikelola dengan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Bahwa saat ini pemerintah belum mampu memenuhi alokasi minimal tersebut tentu harus disikapi secara arif sebagai bagian dari ketahanan dan kemampuan keuangan negara pasca resesi ekonomi yang masih dalam pemulihan. Anggaran pendidikan kedinasan merupakan tanggung jawab dari departemen maupun lembaga pemerintah non departemen sebagai pembinanya. Dalam hal pembiayaan pendidikan, berdasarkan Pasal 24 ayat (3) menyebutkan bahwa Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaanya dilakuka berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Dari ayat ini, dengan prinsip otonomi yang dimilikinya , pendidikan kedinasan dan pendidikan non kedinasan khususnya perguruan tinggi dapat melakukan kreatifitas pembiayaan dengan tanpa meninggalkan kaidah keilmuan dan akademik sehingga tetap bertahan dan tetap melaksanakan operasional pendidikan dengan lebih baik.
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, Sekarang dan Masa Depan
Atas wacana public pasca pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. pada tanggal 8 Juli 2003, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia tidak harus larut dalam dinamika wacana public tersebut dengan keraguan dalam melakukan positioning dalam rangka penyediaan sumberdaya manusia bidang penerbangan sebagaimana disebutkan dalam visi dan misinya.
Berbagai alasan yang dapat dikemukakan untuk mempertahankan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sehingga tetap dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Keputusan Presiden No 43 tentang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) yang menyatakan bahwa STPI adalah Perguruan Tinggi Kedinasan di lingkungan Departemen Perhubungan yang mempunyai tugas menyelenggarakan program pendidikan profesional Dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan Diploma I sampai IV serta kursus-kursus kecakapan di bidang penerbangan serta Keputusan Menteri Perhubungan nomor 64 tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.
Dengan infra dan supra sruktur serta kelengkapan pendidikan yang dimiliki saat ini adalah hal yang sangat naïf jika muncul wacana peniadaan peran Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia dalam rangka ikut serta menyiapkan sumber daya manusia bidang penerbangan di Indonesia. Kekhususan kepeminatan disiplin ilmu yang sangat dekat dengan bidang profesi penerbangan yang tidak ditemukan di perguruan tinggi lainnya menjadikan posisi penting ini perlu untuk diberikan penekanan khusus.
Sedikitnya terdapat 4 unsur potential customer yang secara mayoritas akan erat berkaitan dengan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia dalam rangka pemanfaat lulusan di pasar kerja yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan untuk unsur Pegawai Negeri Sipil, PT (Persero) Angkasa Pura I dan II dari unsur BUMN, Airliners dan industri penerbangan lainnya.
Publik juga memberikan sorotan tajam terhadap penyelenggaraan program Diploma yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia pasca pengesahan UURI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Wacana public tersebut antara lain adalah perubahan tata organisasi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi Unit Pelaksana Tugas (UPT) setingkat Balai.
Wacana ini adalah suatu kemunduran strategis bila dilakukan dengan tanpa kajian serius yang komprehensif. Penyelenggaraan pendidikan Diploma I sampai IV yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia adalah bentuk pola pembinaan karier dengan model penjenjangan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan tingkatan/ strata kecakapan berdasarkan gradasi sesuai program Diploma yang dilakukan.Pelaksanaan pendidikan dengan rasio pelaksanaan sesuai gradasi Diploma yang tepat akan sangat menguntungkan dalam hal pola pembinaan karier dengan model penjenjangan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam banyak hal pelaksanaan kursus-kursus kecakapan saja tidal memberikan social effect secara langsung kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam hal pola pembinaan karier dengan model penjenjangannya.
Syarat perolehan Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang merepresentasikan International Civil Aviation Organization mensyaratkan kelulusan berdasarkan tingkatan Diploma II untuk tingkat Junior dan Diploma III untuk tingkat Senior dan Diploma IV untuk tingkat Ahli dari lembaga pendidikan dan pelatihan penerbangan. Sekolah Tinggi Penerbnagan Indonesia merupakan salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan penerbangan tersebut. SEbagai contoh, Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : SKEP/172/VII/97 tentang Sertifikat Kecakapan dan Rating Pemandu Lalu Lintas Udara mensyratkan Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Latihan (STTPL) bidang pemanduan lalu lintas udara yang sesuai dengan Sertifikat Kecakapan yang diminta.
PT (Persero) Angkasa Pura I dan II melalui Keputusan Direksinya telah menetapkan persyaratan Diploma Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sebagai syarat kelengkapan dalam promosi jabatan pada job familiy yang ada pada peusahaan tersebut.
Jika perubahan tata organisasi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi Unit Pelaksana Tugas (UPT) setingkat Balai diimplementasikan akan sangat kontraproduktif dengan semangat percepatan penyiapan sumber daya manusia penerbangan tersebut karena perubahan mendasar harus dilakukan yang tentu berimplikasi pada pembiayaan dan investasi baru. Perubahan kultur dan penyesuaian system manajemen dan administrasi serta perangkat lunak berupa peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang bersifat mendasar harus dilakukan.
Dapat dimunculkan beberapa skenario yang dapat dikaji terkait dengan bentuk organisasi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di masa mendatang. Skenario tersebut antara lain adalah :
Satu, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia tetap menjadi perguruan tinggi kedinasan di bawah pembinaan Departemen Perhubungan.
Dua, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi perguruan tinggi negeri di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional
Tiga, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi Unit Pelaksana Tugas (UPT) setingkat Balai di bawah pembinaan Departemen Perhubungan.
Terdapat pertanyaan-pertanyaan terkait dengan kondisi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sekarang dan masa mendatang. Apakah pendidikan bidang penerbangan dengan ciri yang padat investasi (berbiaya mahal) tidak lagi menjadi Perguruan Tinggi Kedinasan ? Jika jawabanya ya, Bagaimana dengan prinsip keadilan social bagi rakyat Indonesia dalam memperoleh kesempatan pendidikan bagi masyarakat strata bawah ? Dengan subsisdi minimalis, asumsi tidak lagi menjadi Perguruan Tinggi Kedinasan, Apakah kita rela membiarkan kedaulatan udara negara Indonesia diawaki oleh penerbang asing dan dipandu oleh air traffic control berkewarganegaraan asing, karena ketiadaan biaya pendidikan ?
Pertanyaan susulan dapat dimunculkan antara lain yaitu : mampukah organisasi baru pengganti Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional melakukan investasi-investasi dan melakukan akselerasi yang dipandang perlu sebagaimana yang telah berjalan selama ini ? Bagaiman mekanisme pengalihstatusan organisasi baru/ cross department ? Sedemikian perlukah (urgent) perubahan organisasi dalam rangka mendukung scenario ini ?
Penutup : menjadi sesuatu yang terlalu dini untuk memutuskan suatu kesimpulan terhadap bagaimana positioning dan bentuk Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di masa datang pasca pengesahan UURI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Adalah penting untuk menyusun wacana dan scenario terhadap perubahan dan perbaikan yang mungkin dan, atau harus terjadi.
UURI Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 29 ayat (4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.Adalah hal yang penting bagi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sebagai perguruan tinggi kedinasan untuk ikut serta dalam dinamika perkembangan system pendidikan nasional. Keikutsertaan dan andil Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sistem Pendidikan Nasional akan memberikan bagaimana bentuk Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.
UURI NO 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Sesuai dengan amanat yang digariskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang salah satunya adalah mencapai suatu masyarakat adil dan makmur yang merata baik jasmani maupun rohani maka pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Salah satu bidang yang memberikan kontribusi yang besar adalah pembangunan transportasi yang terdiri dari transportasi darat, laut dan udara sebagai bagian dari Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS).
Pada abad modern ini perkembangan di bidang transportasi udara sangat pesat, hal ini dikarenakan transportasi udara banyak diminati oleh masyarakat umum dimana pengguna sarana transportasi udara menghendaki kecepatan waktu untuk sampai ke tujuan. Tentunya selain faktor kecepatan, faktor keamanan dan keselamatan merupakan prioritas utama dalam menggunakan sarana transportasi udara.
Seiring pula dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, diikuti pula oleh dunia transportasi udara, dari perkembangan teknologi pesawat terbang hingga pada penyediaan jasa kebandarudaraan. Realitas dari kondisi tersebut kemudian mengakibatkan desakan akan perkembangan teknologi industri penerbangan yang dituntut pula untuk dapat menyesuaikan diri dengan tujuan transportasi penerbangan itu sendiri.
Dalam rangka pemenuhan tuntutan-tuntutan tersebut penyediaan sumber dayamanusia pendukung system transportasi nasional bidang penerbangan menjadi suatu hal yang mutlak perlu dilakukan. Penyediaan sumber daya manusia yang unggul dengan sertifikasi kecakapan tingkat nasional maupun internasional merupakan persyaratan penting dalam rangka pembangunan transportasi nasional yang kuat.
Dalam hal penyiapan sumber daya manusia bidang penerbangan terdapat standar internasional dari International Civil Aviation Organization (ICAO) sebagaimana disebutkan dalam Standard and Recommended Practices Annex 1 Personal Licensing maupun standard nasional dari Direktorat Perhubungan Udara Departemen Perhubungan sebagai otoritas penerbangan sipil nasional sebagaimana disebukan dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 142 Certification And Operating Requirements For Training Centers, mewajibkan setiap awak, teknisi, administrasi dan manajemen penerbangan untuk memiliki Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating.
Dalam hal penyiapan sumber daya manusia bidang penerbangan dengan kualifikasi memperoleh Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating tersebut diperlukan bentuk pendidikan dengan karakteristik khusus mengingat dalam perkembangnya, pendidikan nasional di Indonesia per tanggal 8 Juli 2003 telah disahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut mengatur kerangka kebijakan dan panduan garis besar pelaksanaan system pendidikan nasional di Indonesia
Penyiapan sumber daya manusia bidang penerbangan dengan kualifikasi Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating bagi setiap awak, teknisi, administrasi dan manajemen penerbangan di Indonesia selama ini dilaksanakan oleh penyelenggara pendidkan baik pemerintah maupun swasta pada sector pendidikan formal tingkat menengah maupun tinggimaupun pendidikan non formal.
Pada sector pendidikan tinggi terdapat Perguruan Tinggi Negeri di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasioanl dan Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah pembinaan Departemen Perhubungan, maupun Perguruan Tinggi Swasta .
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia merupakan salah satu Perguran Tinggi Kedinasan di bawah pembinaan di bawah pembinaan Departemen Perhubungan memiliki visi melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan lulusan yang diakui baik secara nasional maupun internasional untuk menuju pusat unggulan (centre of excellence) yang berstandar internasional, dan misinya yaitu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta penelitian teknologi terapan dalam bidang penerbangan dalam rangka mencerdaskan bangsa dengan menciptakan sumber daya manusia yang memiliki iman dan taqwa, berkualitas internasional, mampu bersaing, mandiri dan profesional.
Dalam perkembangnnya Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia telah mengalami metamorfosis bentuk dan organisasi selama beberapa kali hingga pada tanggal 10 Maret 2000 telah keluar Keputusan Presiden No 43 tentang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) yang menyatakan bahwa STPI adalah Perguruan Tinggi Kedinasan di lingkungan Departemen Perhubungan yang mempunyai tugas menyelenggarakan program pendidikan profesional Dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan Diploma I sampai IV serta kursus-kursus kecakapan di bidang penerbangan. Sebagai tindak lanjut dari Kepres 43 tahun 2000 tersebut pada tanggal 21 Agustus 2000 telah diterbitkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor 64 tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia. Proses perubahan/ penyesuaian- penyesuaian/ pembenahan menjadi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia yang meliputi kelembagaan (pengisian jabatan dan relokasi kantor) sudah tuntas dilaksanakan sedangkan pembenahan sistem administrasi dan peraturan- peraturan STPI senantiasa dilaksanakan.
Hingga saat ini Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia telah menghasilkan lulusan yang mengisi lebih dari 70 % lapangan kerja yang merupakan awak, teknisi, administrasi dan manajemen bidang penerbangan di Indoneia. Bahkan telah pula meluluskan kelas internasional. Seluruh lulusan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia merupakan personil penerbangan dengan kualifikasi memiliki Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating yang dapat diakui secara nasional maupun internasional.
Sejalan dengan refomasi di bidang pendidikan nasional pasca pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. pada tanggal 8 Juli 2003 muncul wacana publik yang menggugat eksistensi perguruan tinggi kedinasan dengan isu Perguruan Tinggi Kedinasan tidak berhak untuk menyelenggarakan program pendidikan tingkat Diploma dan, atau tingkat Sarjana. Isu ini lebih berkembang lagi dengan munculnya wacana yang mengasumsikan bahwa perguruan tinggi kedinasan hanya diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi. Pendidikan profesi ini jamaknya merupakan pendidikan pasca sarjana atau tungkat spesialis untuk kekhususan penguasaan profesi tertentu.
Isu lain adalah ketidakmampuan pemerintah pusat dalam memenuhi persyaratan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di lain sisi Perguruan Tinggi Kedinasan ternyata memperoleh porsi pembiayaan dengan nilai yang relatif besar mendorong adanya kecenderungan publik untuk berpendapat bahwa pemerintah tidak berlaku adil kepada penyelenggara pendidikan, khususnya terhadap Perguruan Tinggi Negeri dan Swata dalam hal bantuan (subsidi) pemerintah akan pembiayaan operasional pendidikannya..
Berkembangnya wacana publik tersebut layaknya perlu mendapat perhatian yang proporsional sehingga berbagai kepentingan nasional baik pandangan pemerintah pusat, publik pendidikan nasional, kalangan professional penerbangan, masyarakat dan stake holder lainnya dapat terwadahi dalam kerangka acuan yang dapat diterima secara luas.
UURI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Dan Perguruan Tinggi Kedinasan
Bagian Kedelapan UURI Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 29 mengatur tentang Pendidikan Kedinasan. Terdapat 3 ayat, yaitu :
(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselengarakan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan ayat (3) di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari uraian ayat demi ayat jika kita mensikapi dengan kaca mata kuda, seolah-olah wacana publik yang menggugat eksistensi perguruan tinggi kedinasan dengan isu Perguruan Tinggi Kedinasan tidak berhak untuk menyelenggarakan program pendidikan tingkat Diploma dan, atau tingkat Sarjana, serta mengasumsikan bahwa perguruan tinggi kedinasan hanya diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi yang merupakan pendidikan pasca sarjana atau tungkat spesialis untuk kekhususan penguasaan profesi tertentu seolah dapat diterima. Namun ketika kita melihat Pasal 29 ayat (3) Pendidikan kedinasan diselengarakan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, hal tersebut perlu untuk dikaji ulang. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 (11) menyatakan bahwa Pendidikan formal adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang tediri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pasal 14 Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 19 ayat (1) menyatakan Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, spesialis, dan Doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Dari uraian pasal demi pasal serta ayat demi ayat di atas dapat kiranya diarahkan bahwa perguruan tinggi kedinasan berhak pula untuk menyelenggarakan program pendidikan tinggi setingkat dengan program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, sesialis, dan Doktor. Pernyataan ini dapat dijadikan rujukan dalam menggugurkan pandangan publik bahwa Perguruan Tinggi Kedinasan tidak berhak untuk menyelenggarakan program pendidikan tingkat Diploma dan, atau tingkat Sarjana, serta isu perguruan tinggi kedinasan hanya diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi yang merupakan pendidikan pasca sarjana atau tungkat spesialis untuk kekhususan penguasaan profesi tertentu.
Terhadap pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pelaksanaan kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen, dapat disikapi bahwa dalam pandangan praktis dan realistis ternyata di republik ini masih banyak profesi dengan kekhususan tertentu misalnya air traffic control, pengamat cuaca dan gunung berapi dan lain lain, dimana pada profesi ini belum dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta di Indonesia dengan pertimbangan biaya pendidikan yang tinggi, tingginya investasi operasionalisasi serta penyediaan infra dan supra struktur pendidikan, spesifiknya segmen dan peminat peserta didik dan lain lain . Di lain sisi profesi tersebut segaian besar terwadahi oleh pemerintah melalui jalur pekerjaan di pegawai negeri. Sedangkan hanya sebagian kecil saja yang dapat di tampung pada jalur non pegawai negeri/ BUMN/ swasta. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan bagi peserta pendidikan dengan kepeminatan disiplin ilmu pada Perguruan Tinggi Kedinasan pada jalur non pegawai negeri/ BUMN/ swasta tentunya hal yang perlu dipertimbangkan dalam kerangka pikir setiap warga negara adalah sama dan berhak mendapatkan pendidikan, serta unsur pegawai pada jalur non pegawai negeri/ BUMN/ swasta merupakan pula aset negara yang perlu dikembangkan dalam rangka ikut serta mendukung pembangunan nasional berbasis pada penguatan sumber daya manusia. Atas dasar itu ayat ini menjadi ayat yang layak untuk diperdebatkan dalam kerangka akademis maupun praktis.
Mensikapi kecenderungan publik yang berpendapat bahwa pemerintah tidak berlaku adil kepada penyelenggara pendidikan, khususnya terhadap Perguruan Tinggi Negeri dan Swata dalam hal bantuan (subsidi) pemerintah akan pembiayaan operasional pendidikannya, terkait dengan persyaratan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan Perguruan Tinggi Kedinasan ternyata memperoleh porsi pembiayaan dengan nilai yang relatif besar dari departemen maupun lembaga pemerintah non departemen yang membinanya. Isu ini dapat disikapi dengan mengemukakan bagian keepat Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 ayat (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20 % dari Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD).
Dari uraian ayat di atas dapat ditelaah bahwa terdapat posting transaksi yang berbeda antara pendidikan kedinasan dan pendidikan non kedinasan. Rasio anggaran 20 % adalah sangat besar dan akan sangat bermakna dalam membangun system pendidikan nasional kita, ketika dikelola dengan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Bahwa saat ini pemerintah belum mampu memenuhi alokasi minimal tersebut tentu harus disikapi secara arif sebagai bagian dari ketahanan dan kemampuan keuangan negara pasca resesi ekonomi yang masih dalam pemulihan. Anggaran pendidikan kedinasan merupakan tanggung jawab dari departemen maupun lembaga pemerintah non departemen sebagai pembinanya. Dalam hal pembiayaan pendidikan, berdasarkan Pasal 24 ayat (3) menyebutkan bahwa Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaanya dilakuka berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Dari ayat ini, dengan prinsip otonomi yang dimilikinya , pendidikan kedinasan dan pendidikan non kedinasan khususnya perguruan tinggi dapat melakukan kreatifitas pembiayaan dengan tanpa meninggalkan kaidah keilmuan dan akademik sehingga tetap bertahan dan tetap melaksanakan operasional pendidikan dengan lebih baik.
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, Sekarang dan Masa Depan
Atas wacana public pasca pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. pada tanggal 8 Juli 2003, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia tidak harus larut dalam dinamika wacana public tersebut dengan keraguan dalam melakukan positioning dalam rangka penyediaan sumberdaya manusia bidang penerbangan sebagaimana disebutkan dalam visi dan misinya.
Berbagai alasan yang dapat dikemukakan untuk mempertahankan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sehingga tetap dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Keputusan Presiden No 43 tentang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) yang menyatakan bahwa STPI adalah Perguruan Tinggi Kedinasan di lingkungan Departemen Perhubungan yang mempunyai tugas menyelenggarakan program pendidikan profesional Dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan Diploma I sampai IV serta kursus-kursus kecakapan di bidang penerbangan serta Keputusan Menteri Perhubungan nomor 64 tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.
Dengan infra dan supra sruktur serta kelengkapan pendidikan yang dimiliki saat ini adalah hal yang sangat naïf jika muncul wacana peniadaan peran Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia dalam rangka ikut serta menyiapkan sumber daya manusia bidang penerbangan di Indonesia. Kekhususan kepeminatan disiplin ilmu yang sangat dekat dengan bidang profesi penerbangan yang tidak ditemukan di perguruan tinggi lainnya menjadikan posisi penting ini perlu untuk diberikan penekanan khusus.
Sedikitnya terdapat 4 unsur potential customer yang secara mayoritas akan erat berkaitan dengan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia dalam rangka pemanfaat lulusan di pasar kerja yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan untuk unsur Pegawai Negeri Sipil, PT (Persero) Angkasa Pura I dan II dari unsur BUMN, Airliners dan industri penerbangan lainnya.
Publik juga memberikan sorotan tajam terhadap penyelenggaraan program Diploma yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia pasca pengesahan UURI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Wacana public tersebut antara lain adalah perubahan tata organisasi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi Unit Pelaksana Tugas (UPT) setingkat Balai.
Wacana ini adalah suatu kemunduran strategis bila dilakukan dengan tanpa kajian serius yang komprehensif. Penyelenggaraan pendidikan Diploma I sampai IV yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia adalah bentuk pola pembinaan karier dengan model penjenjangan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan tingkatan/ strata kecakapan berdasarkan gradasi sesuai program Diploma yang dilakukan.Pelaksanaan pendidikan dengan rasio pelaksanaan sesuai gradasi Diploma yang tepat akan sangat menguntungkan dalam hal pola pembinaan karier dengan model penjenjangan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam banyak hal pelaksanaan kursus-kursus kecakapan saja tidal memberikan social effect secara langsung kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam hal pola pembinaan karier dengan model penjenjangannya.
Syarat perolehan Sertifikat Tanda Kecakapan Personil dalam bentuk license dan rating dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang merepresentasikan International Civil Aviation Organization mensyaratkan kelulusan berdasarkan tingkatan Diploma II untuk tingkat Junior dan Diploma III untuk tingkat Senior dan Diploma IV untuk tingkat Ahli dari lembaga pendidikan dan pelatihan penerbangan. Sekolah Tinggi Penerbnagan Indonesia merupakan salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan penerbangan tersebut. SEbagai contoh, Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : SKEP/172/VII/97 tentang Sertifikat Kecakapan dan Rating Pemandu Lalu Lintas Udara mensyratkan Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Latihan (STTPL) bidang pemanduan lalu lintas udara yang sesuai dengan Sertifikat Kecakapan yang diminta.
PT (Persero) Angkasa Pura I dan II melalui Keputusan Direksinya telah menetapkan persyaratan Diploma Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sebagai syarat kelengkapan dalam promosi jabatan pada job familiy yang ada pada peusahaan tersebut.
Jika perubahan tata organisasi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi Unit Pelaksana Tugas (UPT) setingkat Balai diimplementasikan akan sangat kontraproduktif dengan semangat percepatan penyiapan sumber daya manusia penerbangan tersebut karena perubahan mendasar harus dilakukan yang tentu berimplikasi pada pembiayaan dan investasi baru. Perubahan kultur dan penyesuaian system manajemen dan administrasi serta perangkat lunak berupa peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang bersifat mendasar harus dilakukan.
Dapat dimunculkan beberapa skenario yang dapat dikaji terkait dengan bentuk organisasi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di masa mendatang. Skenario tersebut antara lain adalah :
Satu, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia tetap menjadi perguruan tinggi kedinasan di bawah pembinaan Departemen Perhubungan.
Dua, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi perguruan tinggi negeri di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional
Tiga, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia menjadi Unit Pelaksana Tugas (UPT) setingkat Balai di bawah pembinaan Departemen Perhubungan.
Terdapat pertanyaan-pertanyaan terkait dengan kondisi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sekarang dan masa mendatang. Apakah pendidikan bidang penerbangan dengan ciri yang padat investasi (berbiaya mahal) tidak lagi menjadi Perguruan Tinggi Kedinasan ? Jika jawabanya ya, Bagaimana dengan prinsip keadilan social bagi rakyat Indonesia dalam memperoleh kesempatan pendidikan bagi masyarakat strata bawah ? Dengan subsisdi minimalis, asumsi tidak lagi menjadi Perguruan Tinggi Kedinasan, Apakah kita rela membiarkan kedaulatan udara negara Indonesia diawaki oleh penerbang asing dan dipandu oleh air traffic control berkewarganegaraan asing, karena ketiadaan biaya pendidikan ?
Pertanyaan susulan dapat dimunculkan antara lain yaitu : mampukah organisasi baru pengganti Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional melakukan investasi-investasi dan melakukan akselerasi yang dipandang perlu sebagaimana yang telah berjalan selama ini ? Bagaiman mekanisme pengalihstatusan organisasi baru/ cross department ? Sedemikian perlukah (urgent) perubahan organisasi dalam rangka mendukung scenario ini ?
Penutup : menjadi sesuatu yang terlalu dini untuk memutuskan suatu kesimpulan terhadap bagaimana positioning dan bentuk Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di masa datang pasca pengesahan UURI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Adalah penting untuk menyusun wacana dan scenario terhadap perubahan dan perbaikan yang mungkin dan, atau harus terjadi.
UURI Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 29 ayat (4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.Adalah hal yang penting bagi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia sebagai perguruan tinggi kedinasan untuk ikut serta dalam dinamika perkembangan system pendidikan nasional. Keikutsertaan dan andil Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sistem Pendidikan Nasional akan memberikan bagaimana bentuk Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.
1 komentar:
Posting Komentar